Total Pageviews
Friday, September 26, 2008
Pengalaman di kelas inklusif bersama guru
Tepat jam 8.30am saya sudah dikelas, tapi baru ada 4 orang yang hadir. Sambil menunggu Rachel tiba saya berbincang2 dengan siswa yang ada, sambil berkenalan. Sampai 10 menit lewat, jumlah siswa hanya bertambah dua. Saya pikir ‘dimana siswa2 yang lain, ini telat sekali’. Tapi Rachel pun tampak sudah memperkirakannya dan masih belum mau bersiap membuka kelas, dia seperti masih mempersiapkan sesuatu. Setelah 15 menit berlalu, Rachel baru bicara dan meminta anak2 untuk pindah ke IT room – yaitu ruangan computer dimana para siswa biasanya membuat laporan. Dia meninggalkan pesan di pintu kelas untuk siswa2 lainnya yang belum hadir.
Sambil jalan saya bertanya dengan Rachel ada apa dengan kelasnya? Rachel bilang dia strunggle berat dengan kelas ini, karena ternyata ada 4 orang siswa yang memiliki specific learning difficulties. Tapi masalahnya bukan terletak pada keempat siswa itu saja, itu masalah attitude keseluruhan siswa di kelas. Saya cuma bisa menduga2 apa yang dimaksud Rachel. Diantara siswa yang perlu extra perhatian, ada dua laki-laki, yang pertama black dan dyslexic yang juga punya masalah dengan managing/ meeting work deadline – suka terlambat gemar membuat alasan yang dibuat2. Dia juga remaja yang moody dan suka ngambek kalau diledekin kawan2nya. Yang kedua, keturunan Asia selatan yang sering sakit alias tidak hadir – kebetulan dia tidak hadir karena sedang dirawat di rumah sakit karena keluhan chest pains. Satu siswa perempuan, white, memiliki mild asperger dan suka galak dengan siapa saja – terutama kalau merasa diperlakukan tidak adil. Yang terakhir, Asian juga, assessment menyeluruh tentang kondisinya belum komprehensif/ selesai – tapi diperkirakan memiliki kesulitan dalam hal ingatan dan comprehension terutama menerima intruksi di kelas. Pikir saya, wow, ini setengah siswa di kelas punya masalah semua, tak heran kalau gurunya kelihatan distressed sendiri.
Sepuluh menit di ruangan IT, suasana masih riuh dan anak2 belum settle. Rachel benar-benar strunggle membuat anak2 itu duduk dan konsentrasi dengan apa yang akan disampaikannya. Saya berinisiatif berkeliling kelas, menyapa siswa satu-satu, kemudian meminta mereka settle karena kita akan mulai pelajaran. Lumayan efektif tampaknya, kebanyakan anak2 mulai settle meskipun masih ada yang fiddling stuffs around the table (main-main macam2 dimeja), tapi paling tidak mereka duduk di kursi masing2. Mungkin karena baru ketemu saya hari ini, jadi mungkin mereka masih segan. Tetapi ada 2 orang anak perempuan yang duduk dipojok yang terus-terusan bicara dalam logat Brumies - dialek lokal - (dengan suara yang keras) satu sama lain seakan tidak ada orang lain di kelas.
Setelah berkali berbicara setengah berteriak akhirnya siswa disuruh log on computer masing2 dan Rachel minta anak2 menggunakan kesempatan ini untuk menyelesaikan writing up praktek Chromatography mereka minggu lalu. Dia akan come around mengecek laporan siswa satu demi satu.
Rachel kemudian meminta saya meng-handle satu sisi kelas dan dia yang lainnya. Sisi bagian saya termasuk 2 orang anak perempuan yang gaduh itu. Saya diberitahu Rachel bahwa salah satu dari 2 orang anak ini ialah yang memiliki masalah comprehension tadi. Memang sekilas saya lihat attitude kedua anak ini memang sangat kontras dengan kawan2 lainnya di kelas. Selain berbicara sengan suara cukup keras, mereka juga suka memotong kata2 gurunya dan menambahi komentar seenaknya, tapi terlihat seperti tidak punya rasa bersalah begitu. Akhirnya terpaksa karena si guru sering dipotong dan suara pun semakin meninggi. Poor (kasihan) Rachel, meskipun kerap dicuekin disini para guru tidak bisa seenaknya marah2 dan bertingkah laku yang menakut2i (bully) siswa, karena undang2nya sangat keras melindungi siswa. Paling berani, guru hanya mengingatkan siswa berkali2, tidak boleh mencubit apalagi lebih dari itu. Malah ada cerita siswa bisa komplain kalau si guru sedikit saja menyentuh kulit siswa-nya (apalagi lebih dari itu). Tak heran kalau Inggris masih kekurangan guru, yang kekurangannya diisi oleh guru2 imigran, karena guru yang stress oleh bad attitude siswa dikelas/sekolah lebih memilih ganti profesi daripada jadi sakit mental dan sakit/makan hati.
Akhirnya saya mendekati dua anak tersebut, memperkenalkan diri dan bertanya-tanya tentang mereka dengan sopan. Alih2 mendapat respek, mereka justru banyak melontarkan pertanyaan kepada saya dengan penuh selidik dan melempar komentar2 lucu, aneh dan cekikikan berdua. Dengan sabar saya jelaskan bahwa saya disini akan membantu mereka menulis laporan Chemistry, dan kalau mereka mau kerja dan berkonsentrasi penuh mereka akan mendapat nilai yang baik dan membawa mereka masuk ke universitas2 terbaik di UK. Saya sebutkan bahwa saya lulus dari Birmingham University dan uni ini adalah yang paling prestigious di West Midlands dan karena itu masuk kategori uni terkemuka di dunia. Saya sengaja dragging their attention supaya pelan2 bisa diarahkan ke task yang sebenarnya.
Strategi ini pelan2 mulai membuahkan hasil, mereka mulai tertarik mendengarkan saya dan sudah tidak berbicara terlalu keras hingga mengganggu yang siswa yang lain. Saya bilang saya seorang Moslem – karena saya lihat mereka Asian dan salah satunya memakai hijab – dan sedang berpuasa. Mereka senang mendengar ini dan bilang mereka juga puasa. Salah satu dari mereka menebak saya dari Indonesia. Benar kata saya, saya berasal dari the most populous Moslem country in the world. Di Indonesia sana, kata saya, banyak masjid. Hampir tiap 300 – 400 meter (saya menganalogikan jarak tersebut dengan jarak antar bus stop di Inggris), ada mesjid, jadi setiap masuk waktu Shalat terdengar adhan dimana2. Mata mereka terlihat kagum dengan cerita saya ini. Tapi toh tidak menyurutkan kebiasaan berkomentar dan cekikikan. Ya Man!, Ain't it?etc, ...begitu istilah2 yang mereka suka pakai.
“Do you pray 5 times a day, sir? Make sure you do”, mereka tertawa cekikian lagi. Membuat saya manggut2. Saya pikir ini saatnya mengalihkan perhatian ke pelajaran. Akhirnya saya suruh mereka membuka catatan mereka tentang praktek minggu lalu, karena kita akan mulai writing up. Sambil saya ingatkan lagi apa yang mereka telah lakukan saat praktek Chormatography, saya pisahkan tempat duduk kedua anak ini agar mereka bisa berkonsentrasi secara indivual. Sambil membantu mereka membuat laporan, tak lupa saya puji kemauan mereka untuk bekerja keras mengerjakan tugas. Amazingly, kedua anak yang sebelumnya distraktif ini bisa duduk dan serius mengerjakan laporan praktek tersebut. Malah mereka sendiri bilang mereka ingin terus begini agar memperoleh nilai yang bagus.
Tak terasa waktu pelajaran usai, dan akhir pelajaran Rachel mengakui ini yang pertama kali dia merasakan benar-benar mendapat kelas yang terkontrol sejak menangani kelas tersebut.
Kasus kelas Rachel adalah contoh yang sering terjadi dimana saja, dimana guru menghadapi multi kompleks (inclusive, multiple intelligent) masalah di dalam kelas yang membuat mereka strunggle to cope the situasion by themselves. Solusinya memang need other handy people (orang kedua) di kelas. Di Inggris, sejak awal abad 21 ini pemerintah ‘berekperimen’ dengan mengeluarkan undang2 (pendidikan) inklusif baru yang memberi guru ‘bantuan’ yang diperlukan dalam mengajar kelas inklusif seperti asisten guru, guru bantu (teaching assistant) dan atau istilah2 lainnya (learning support assistant, enabler, etc). Tentunya para orang kedua ini bukan yang berlatar belakang guru - tapi telah di training sedemikian rupa agar bisa membantu siswa di kelas.
Friday, September 19, 2008
Guru: The good, the bad and the ugly
Yang pertama tentu, the Good, guru yang bagus. Guru yang bagus ini adalah guru yang benar2 tulus dalam mendidik siswa/i-nya, semangat mengajar dengan penuh cinta dan dedikasi tinggi bak mendidik dan membimbing anak-anaknya sendiri.
Guru seperti ini - sangat langka secara kuantitas - dan sangat tepat apabila disebut pahlawan, karena kehadirannya kerap bisa merubah dan menentukan nasib seseorang di masa depan. Napoleon Bonaparte adalah seseorang yang sangat beruntung memiliki guru yang bagus ini, yang memberikan kekuatan dan kepercayaan pada karakter yang ada dalam dirinya, sehingga dipuncak karirnya ia masih sempat menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam saat bertemu dengan guru masa kecilnya.
Figur guru yang bagus ini biasanya melekat dihati dan pikiran kita, hingga menjadi dewasa dan beranak cucu, hingga tak heran banyak dari kita berharap anak-anak kita akan seberuntung kita yang memiliki guru yang bagus ini.
Jenis guru yang kedua, the Bad, guru yang jelek. Guru disebut jelek semacam ini biasanya dikarenakan memiliki perilaku yang gemar marah, memukul, suka menjelek2kan, mengolok2 atau menakut-nakuti siswa/i-nya, baik secara fisik maupun mental, sehingga yang ada adalah perasaan tidak nyaman, terpaksa dan ketakutan dalam kelas. Guru semacam ini selain tidak disukai juga bisa berakibat fatal bagi masa depan siswa. Ada anak yang sampai dewasanya tidak pernah punya rasa percaya diri, minder bahkan trauma akibat perlakuan dari orang yang seharusnya mendidik dan membimbing mereka dengan kasih sayang di masa lalu.
Scientist Albert Einstein pernah suatu ketika di'ramal'-kan oleh guru kelasnya sebagai orang yang tidak akan menjadi apa-apa saat dewasa nanti. Ternyata yang terjadi sebaliknya, si Einstein bahkan menjadi scientist terkenal yang masih terus dikagumi hingga detik ini. Tak heran sering orang berkilah, 'Aduh nyesel banget dulu aku dulu nggak suka sama pelajaran ini...., soalnya guruku dulu brengsek banget sih!'. Tetapi guru seperti ini masih bisa berubah menjadi lebih baik apabila mendapat bimbingan atau hukuman yang tepat. Karena tak jarang mereka ini juga menjadi korban kekerasaan saat mereka masih kecil atau masih jadi siswa, sehingga ada keinginan untuk balas dendam.
Tipe ketiga ini yang paling berat, the Ugly, guru jahat. Nah ini guru yang bermanis muka didepan, tapi jahat abis belakangannya. Termasuk dalam kategori semacam ini adalah guru yang cabul atau Phidophile - monster pemangsa anak-anak. Ini guru bejat yang berpura-pura baik di depan siswa, tapi sebenarnya mengincar untuk dijadikan korbannya. Guru tipe ini sulit diprediksi dari penampilan luarnya, karena biasanya berperilaku sopan, alim, father/mother figure, padahal serigala berbulu domba. Misalnya saja ada guru yang memperkosa 39 anak muridnya (di China dan dihukum mati) dan kasus2 lainnya seperti ini:
http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/16/14361132/pak.guru.perkosa.murid.di.kompleks.sekolah
http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/10/03310597/guru.ngaji.sodomi.26.murid.tk
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/25/time/144727/idnews/547334/idkanal/10
Termasuk kategori ini mungkin guru yang memperjualbelikan nilai dengan siswa, guru korupsi, guru pengemis - minta2 sumbangan untuk kepentingan sendiri, dan masih banyak lagi. Guru semacam ini sudah diberantas kecuali diberlakukan hukum yang setimpal bagi pelakunya. Untuk itu perlu diberikan screening yang se-ketat2-nya bagi calon guru, seperti bersih catatan kriminal, dsb. Serta perlu ada pengawasan ketat dari sesama korps guru dan masyarakat yang mengetahui perilaku menyimpang atau tak semestinya dari para guru dimana saja.
Mungkin pembaca ingin menambahkan kategori yang lain, silahkan...
Aplikasi bagus buat guru, siswa, mahasiswa Kimia

Hari ini di kelas Year 13, saya mendampingi anak2 belajar satu applikasi yang diperuntukan untuk mendukung write up Chemistry course work. Aplikasi tersebut bernama ACD ChemSketch (ACD = advanced Chemistry development) - suatu aplikasi yang sangat bagus sekali untuk belajar dan mengajar Chemistry terutama untuk tingkat advanced - seperti untuk sekolah menengah/ kejuruan atau perguruan tinggi.

Computer generated program ini sangat membantu guru dan siswa tidak hanya dalam seperti memvisualkan ikatan antar molekul (bonding) elements - bentuk 2D dan 3D, tapi juga bisa menghitung massa/ weight dan bahkan memberi nama polimers atau product baru tersebut. Juga sangat membantu para guru/ siswa ingin memperoleh gambar atau diagram apparatus yang mereka gunakan saat melaksanakan beberapa experiment dasar seperi distillation, dll.
Juga bisa memperoleh label dan hazard banyak zat-zat kimia yang sangat membantu sekali dalam membuat laporan praktek atau untuk membuat soal-soal latihan kimia.
Sebelum mencoba program ini, terbayang ngelimet dan mumetnya kalau mau membuat laporan kimia yang memerlukan diagram dan gambar molekul, bonding dan polimer. Ternyata setelah 5 - 10 menit mencoba, program ini sangat mudah untuk dioperasikan dan anak2 senang bermain-main mencobanya - karena banyak features yang memberi gambar, graphics dan animasi yang disukai oleh siapa saja.
Yang bagusnya lagi, aplikasi program ini gratis dan bisa di download di internet. Jadi kabar bagus dan sangat berguna sekali buat para guru, siswa dan mahasiswa (Chemists) . Selamat mencoba..
Berikut website untuk mendowload free version-nya:
http://www.acdlabs.com/download/chemsk.html
Monday, September 15, 2008
Profesi Guru Naik Daun…..

Trend seperti ituberlangsung hingga 1997/8, sebelum terjadinya krisis keuangan Asia (credit crunch) yang memaksa Indonesia terjerembab ke resesi ekonomi yang sangat parah, dengan inflasi mencapai ratusan persen dan banyak perusahaan yang tutup. Maka economy buble yang dibanggakan (booming) pun pecah (burst) yang memaksa pemerintah turun tangan menalangi para debtors dan akhirnya menutup bank-bank yang krisis likuiditas keuangannya.
Beralihnya perhatian ke sektor pendidikan ini menjadi bukti nyata adanya shift policy atau U-turn dikalangan pembuat kebijakan yang dulunya 'hidup di menara gading'. Reformasi di bidang pendidikan dijadikan salah jalan keluar bagi banyak bangsa-bangsa yang jatuh untuk kembali bangkit dari krisis – terutama dibidang ekonomi - seperti ditunjukan oleh bangsa-bangsa yang dulunya hancur akibat perang dunia (PD), seperti Jepang dan Jerman.

Guru Baru vs Guru Lama

Pertama pada pertemuan awal dengan para murid guru baru biasanya menghabiskan waktu lebih lama (biasanya 10 – 15 menit pertama-nya) berusaha memperkenalkan dirinya kepada murid – baik itu berbicara tentang asal usulnya atau hal lainnya. Guru lama (begitu disebut agar lebih simple) cenderung lebih sedikit berbicara tentang dirinya. Tetapi guru lama cenderung lebih banyak bicara tentang apa yang akan murid lakukan (expect to find out) dalam pelajarannya. Guru baru melakukan ini karena mereka merasa perlu mendapat respect dari para murid yang baru mereka hadapi ini. Sedang para guru lama (biasanya) merasa sudah mendapat recognition atau sudah percaya diri (PD), maka mereka ingin para murid lebih tertarik pada mata pelajaran daripada berbicara tentang dirinya.
Yang kedua, guru baru biasanya tidak bisa menyelesaikan lesson-nya sesuai timing-nya, atau kalau pun selesai tapi biasanya buru-buru karena dikejar waktu (misalnya memberi kesimpulan secara langsung daripada men-summarise kesimpulan2 yang dibuat oleh murid). Sementara guru lama sangat ketat(rigid ) dengan waktu; mereka mempersiapkan diri lebih baik, bahkan kadang menyetel alarm bagi diri sendiri (5 – 10 mins) agar punya kesempatan menutup pelajaran dengan men-sintesa kesimpulan murid terlebih dahulu kemudian memberi kesimpulan umum.
Ketiga, para guru baru biasanya struggle to control class; misalnya membiarkan siswa ramai bicara sendiri atau para murid bekerja sendiri tanpa di-supervisi. Ini bisa disebabkan karena mereka masih memikirkan dan mengira2 hasil akhir dari suatu kegiatan (diskusi atau praktek) sambil mengajar. Sementara guru lama biasanya sudah punya bayangan dari apa yang telah mereka lakukan sebelumnya, mereka bisa lebih menyetir suasana kelas.
Kebiasaan murid-murid baru adalah mereka menghabiskan banyak waktu untuk saling memperhatikan (pakaian, accessories, gadgets, etc) atau menarik perhatian kawan-kawannya. Sebagian lagi lebih kepada mengagumi (atau sebaliknya), daydream fisik ruangan dan fasilitas yang ada di dalam kelas, dll; sehingga konsentrasi mereka pada guru dan pelajaran biasanya sangat mudah terganggu.
Guru baru sering tidak mengantisipasi hal ini dan membiarkan, sehingga mereka nantinya harus bekerja lebih keras untuk membuat murid focus ke pelajaran kembali. Sementara guru lama yang sudah mengantisipasi ini akan terus menerus mengingatkan dan berusaha dragging student’s attention dari hal-hal seperti ini agar suasana kelas tetap terkontrol. Dengan melakukan hal ini, biasanya guru lama yang menegur satu-satu atau sekelompok siswa secara langsung, biasanya berhasil mempertahankan respects dari muridnya, dan tentu kontrol kelas. Sementara guru baru yang cenderung membiarkan (karena biasanya berusaha to win students’ hearts and minds) hasil sebaliknya yang didapatkan, yaitu murid menjadi kurang respect (menghargai). Mereka kadang-kadang harus berbicara dengan nada tinggi untuk mengontrol kelas yang mulai tak terkendali.
Meskipun guru lama cenderung lebih bisa (relatif) lebih mengontrol kelas dengan cara yang sedikit autocratic, sering mereka kurang memahami kebutuhan murid (seperti daya tangkap dalam pelajaran yang tidak merata) – karena lebih mementingkan kontrol kelas. Tidak heran kadang-kadang murid yang duduk dibelakang, atau dipojok, atau yang malu bertanya sering terlewatkan oleh perhatian guru. Untuk itu perlu dibuat keseimbangan antara mengontrol kelas lebih efektif misalnya dengan berkeliling kelas dan langsung mengecek, tanya jawab daya tangkap siswa secara lisan atau tulisan (jika memungkinkan).
Monday, September 08, 2008
Diary - Monday 8 September 2008

Dimulai oleh Principal yang menyampaikan statistics apa saja prestasi college misalnya dari hasil ujian nasional 98% siswa tahun lalu berhasil menuntaskan sekolah (naik dari 97% tahun sebelumnya dan diatas rata2 rate nasional). Dan 100% lulus pada 33 mata pelajaran (naik dari 28 sebelumnya). Ada 111 siswa dari 1500 siswa tahun akhir yang memperoleh nilai A antara 3 - 4 mata pelajaran. 850 siswa berhasil mendapat tempat di university setelah melalui seleksi ketat, panjang dan cukup melelahkan tentu.
Kemudian giliran deputy bag. kurikulum yang mempresentasikan beberapa profil siswa tahun lalu yang berhasil. Misalnya siswa2yang mendapat nilai A disemua mata pelajarannya (A level, beberapa diantaranya menyabet top 5 atau top 10 of the country) dan tembus kuliah di Cambridge, Oxford dan uni2 besar lainnya. Tahun ini profil2 yang ditampilkan adalah 3 orang white (kuliah di Cambridge, Oxford & Manchester) dan 3 orang Asian (kuliah di Aston University). Sayangnya profil dari Blacks dan ethnics lainnya tidak muncul, atau mungkin memang tidak ditemukan yang memenuhi criteria ‘berhasil’ ini. Tentu saja details lebih lengkap prestasi ini juga bisa diakses oleh public di website sekolah.
http://www.solihullsfc.ac.uk/news/latest/seeing-double-%11-twin-exam-success/
http://www.solihullsfc.ac.uk/news/latest/oxbridge-success/
http://www.solihullsfc.ac.uk/news/latest/top-marks-at-advanced-level/
Yang menarik adalah paparan dari head of faculty yang menyampaikan 'Recipe for success' yang menurutnya disusun berdasarkan pengalaman puluhan tahun menjadi staff pengajar di college. Isinya norma2 umum, apa yang harus dilakukan siswa jika ingin sukses, seperti belajar sungguh2 sesuai kemampuan, atur waktu sebaik2nya, dengar arahan dan saran dari guru dan staff pembimbing, selalu kontak bila mengalami kesulitan belajar atau tidak hadir, hadir dan datang tepat waktu (punctual) agar success dalam belajar, tidak bekerja part time lebih dari 9 jam per minggu, dll. Tentu saja resep ini dibuat dari point of view-nya college, yang tentu sangat subjektif sekali. Namun saran sederhana ini terbukti mampu membuat siswa memperoleh hasil yang lebih baik setiap tahunnya.
Kemudian di tutup dengan menonton video clip tentang student council (kira2 samalah dengan OSIS = organisasi siswa intra sekolah), dimana tentu menghimbau anak2 untuk turut serta aktif didalam council sebagai representasi siswa dalam struktur sekolah. Yang menarik yang menjadi ketua tahun ini adalah siswa yang cacat - artinya tidak ada hambatan bagi mereka2 yang ada hambatan secara fisik, selama ada kemauan.
Friday, September 05, 2008
Friday 5 September 2008
Hari ini pelaksanaan induction untuk kelas 12 di mulai. Sejak pagi para guru dan kepsek sibuk menyambut para siswa baru dan lama di dekat ruang tamu (reception) dan membantu memberikan informasi dimana para tutor mereka berada. Dikelas para tutor (guru wali) yang bertanggung jawab selama mereka belajar (2 th) sudah menunggu. Pertemuan dimulai dengan perkenalan singkat, dilanjutkan penjelasan tentang program studi mereka (termasuk nama staff & ruangan2 yang penting untuk diketahui). Kemudian anak2 diajak tour keliling sekolah untuk mengenali dimana mereka akan belajar, dengan siapa saja mereka berhubungan, dan jika mendapat kesulitan kemana mereka harus pergi. Yang terpenting adalah mereka tahu dimana ruang ketua program, r.guru, r.konseling dan karir, dan learning support dept. Tak lupa diperkenalkan fasilitas sekolah: perpus, kantin, sport facilities dan ruang kerja/ computer. Setelah istirahat beberapa menit, tutor kembali menjelaskan tentang misi sekolah, peraturan umum sekolah dan access fasilitas sekolah dll, dengan memancing diskusi antar mereka daripada sekadar 'pemberitahuan' atau membaca pengumumam2.
Di salah satu kelas saya bertemu dengan beberapa siswa dengan learning difficulties. Salah satunya Mas AB, yang mengalami dispraxia dan asperger. Pria jangkung yang cukup asyik untuk ngobrol ini mengambil program Double Award Applied science dan AS Ancient History. Didalam kelas dia perlu support dikarenakan: slow writing, perlu notetaker yang membantu membuatkan catatan dan identifying main points. Dia juga perlu support of enabler in lessons and 1:1 support for 1 hour per week yang membantu organisasi belajarnya seperti keeping an organised folder, filing & dating work, using a diary and remembering deadlines.
Satu hal yang jelas bagi anak dengan dyspraxia seperti AB adalah poor handwriting-nya, selain sulit terbaca juga lamban. AB terlihat kurang suka membuat catatan selama induksi berlangsung. Saya belum tahu dengan AB, tapi tahun lalu saya bertemu dengan siswa dengan dislexia dan dispaxia yang sulit menulis kalau menggunakan pen dan kertas, tapi kalo sudah di depan komputer dan memegang keyboard dengan brilliant bisa membuat karya tulis/ coursework yang selalu bernilai merit atau distinction. Jauh lebih bagus dari anak2 yang dikategorikan 'normal'.
Menurut informasi yang saya temukan di internet: para penderita dispraxia sejak kecil memiliki kesulitan seperti memakai baju sendiri, mengikat tali sepatu, naik sepeda, sulit menggunakan pena dan suka makan/ minum berhambur2an karena kesulitan mengontrol kemampuan motoric dan kordinasi-nya. Penyebab dispraxia sendiri berbagai ragam salah satunya perkembangan sel2 otak yang kurang sempurna pada saat balita atau karena kekurangan oksigen sangat dilahirkan.
Yang membuat suprised untuk tahun ini adalah ratusan siswa yang berlatar belakang disabled dan atau with learning disabilities (naik dari sekitar 90an tahun lalu). Salah seorang guru yang khusus mensupport anak2 ini mengatakan untuk kelas 12 ini saja (yang baru) dia mendapat 6 orang anak, belum lagi yang dari kelas 13 katanya (baru mulai Rabu minggu depan). Dibandingkan 20 tahun yang lalu college ini menjadi more diversity dari sebelumnya yang hanya didominasi white & middle class. Dari seluruh 2500 siswanya, 40% dari ethnic minorities, ada 30 macam bahasa spoken, dan ratusan anak2 berlatar belakang cacat/ with specific learning difficulties.
Beberapa diantaranya adalah allergies, anaphylaxis, asthma, chronic fatigue syndrome atau ME, diabetes, epilepsy, haemophilia, dan masih banyak lagi yang sedih rasanya kalau dituliskan.
Membaca data anak2 cacat yang beraneka ragam itu - sangatlah membukakan hati saya, karena betapa banyak anak2 yang terlihat sehat dan bugar itu ternyata banyak yang memiliki kondisi fisik, mental dan emosional-nya bagi orang awam: tidak normal. Tetapi ternyata mereka adalah bagian dari society/ masyarakat yang secara aktif berinteraksi satu sama lain menjadi suatu bangsa.
Jadi sebenarnya program inklusif dalam pendidikan itu sebenarnya sangatlah baik, baik berupa pembelajaran bagi semua (dalam hal demokrasi, HAM, teloransi, kerjasama, gotong royong, dll) termasuk untuk mempersiapan anak2 untuk hidup, berkembang dan berinteraksi didalam masyarakatyang sebenarnya. Dengan begitu gesekan2 didalam society karena adanya perlakuan rasisme, diskriminasi, anti emansipasi, intolerance, perlakuan bersifat/dasar SARA dan perbedaan social class - yang merupakan penyakit masyarakat - bisa diminimalisir sedemikian rupa.
Notes: Setuju pendidikan inklusif diterapkan di setiap sekolah.
Wednesday/Thusday, 3/4 September 2008
Kesibukan para guru dan staff hari ini kurang lebih sama dengan kemarin, hanya saja siswa pendaftar ulang/ baru sudah berkurang sehingga sudah ada persiapan untuk mempersiapkan penjadwalan dan pembagian kelas. Meskipun ini sifatnya masih sementara, karena 2 minggu setelah sekolah kembali normal, para siswa masih diberikan kesempatan untuk mengubah mata pelajaran yang akan mereka ambil tahun ajaran ini, tentu saja setelah disetujui oleh pihak fakultas dan program studi.
Hari ini saya membaca beberapa karangan para siswa yang dianalis untuk keperluan mengidentifikasi tingkat kesulitan belajar siswa (ESOL, SLDD, SpLD, punctuation, spelling, expression, slow speed writing, etc). Ada beberapa konten yang sangat menarik dari tulisan anak2 ini, karena karangan spontan ini selain kadang2 menunjukan tingkat kepolosan dan kejujuran mereka selain tentu saja tingkat intelegensi mereka. Beberapa tulisan menggambarkan tentang latar belakang keluarga, asal muasal keluaga berasal (dari negara lain), ayah/ibu yang terpisah, jumlah saudara/i dan lingkungan dimana mereka tinggal (kurang aman/bersih/tidak sehat, tetangga yang individualis/ribut, dll).
Ada pula yang memilih juga yang menggambarkan tentang sekolah mereka; ada yang positif, ada tidak yang tidak. Misalnya karena punya pengalaman2 yang berhubungan dengan ketidakadilan yang dialami baik dari yang namanya kepsek, guru dan teman2 mereka. Kebanyakan dari yang negatif ini, menemukan jalan keluar dari kesulitan ini setelah menemukan sahabat/ teman dekat (peers). Ini menunjukan faktor peers sangatlah berpengaruh bagi siswa, selain tentu faktor dorongan/ perhatian orang tua, guru, lingkungan dan lainnya (kesulitan bahasa, belajar, dll).
Ada pula tulisan yang bernada liberal atau yang membawa miris, misalnya pengakuan anak 18 tahun yang memuja setan, menjadi anggota gereja setan dan hobby dan tingkat kreativitasnya di dedikasikan dengan menggambar tubuhnya (tidak jelas apakah yang dimaksud disini adalah tatoo)। (Hii jadi ngeri karena ada berita gimana anggota gereja setan membunuh dan memakan daging para korbannya di Russia)*. Ada juga tentu yang menulis tentang harapan mereka selama menempuh pendidikan di college baru.
Aktivitas mengarang bebas ini sebenarnya sangatlah membantu para guru dan tentu pemerhati anak/ siwa untuk map out kemampuan dan serta jalan pikiran siswa (thinking, reasoning development)। Selain mengamati dari perubahan perilaku (bicara, tindakan, ucapan, gaya berpakaian, life style, dll), banyak hal yang bisa dipelajari dan perlu diketahui untuk keperluan identifikasi masalah dalam belajar, dalam keluarga, dalam pergaulan serta tentu saja ‘to spot’ potensi masalah dalam perkembangan kejiwaan siswa। Jadi ingat beberapa waktu lalu ada seorang mahasiswa di AS yang membunuh kawan2 dan dosen tempat dia belajar dengan darah dingin। Belakangan terungkap, si psikopat ini sebenarnya sudah terdeteksi dari karya tulis dalam satu mata pelajaran yaitu English/ Drama-nya, dimana dia menulis tentang kekerasan dan pembunuhan. Sayang identifikasi awal dari salah seorang pengajar si
mahasiswa kurang mendapat respond dari pihak2 terkait, jika tidak kejadian tragis itu mungkin bisa dicegah...
* Baca: Pembantaian Geng Iblis
http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/16/11521045/ditikam.666.kali.dipanggang.lalu.dimakan
1 & 2 September 2008
Awal ramadhan kali ini yang lebih panjang dari tahun2 sebelumnya. Imsyak jam 4.30 pagi dan buka jam 8 malam. Hari ini di college semua masih melayani pendaftaran siswa baru dan daftar ulang siswa lama. Sejak libur dari 20 Juli – mulai college mulai sibuk lagi sejak pertengahan Agustus. Semua staff terlihat hadir dan sibuk dengan kegiatannya masing2. Para guru mata pelajaran terlihat sibuk mempersiapkan bahan ajarnya masing2, termasuk membuat format absensi & penilaian, lesson plans, bahan pengayaan/ soal atau kuis, aktivitas di dalam dan diluar kelas, dll (dalam files dalam bermacam aplikasi seperti word, excel, power point, dll).
Mereka membuat riset yang sebagian dilakukan dengan mengakses internet (membuat text, gambar, aplikasi, audio & visual aids online) dan pengolahan bahan2 ajar lainnya diambil dari bahan2 yang telah ada didalam college setelah mereka beli hak pakainya. Semua dikerjakan oleh masing2 individu, sesuai tugas dan kewajibannya.
Mereka yang punya tugas tambahan (biasanya staff senior) ada mewawancari calon siswa, menanyakan persyaratan administrasi, mengumpulkan data siswa/ orang tua, (termasuk data kesehatan & disability), serta mengindetifikasi apa kebutuhan dan kelemahan calon siswa terutama mereka yang cacat fisik/emosional/mental dan memerlukan support tambahan.
Siswa juga diminta mengarang dalam waktu beberapa menit yang hasilnya di analisis untuk identifikasi kemampuan bahasa (Inggris) dan kesulitan2 lainnya (e.g. dyslexia, dispraxia, spelling, dll).
Staff administrasi dan staff lainnya juga sibuk, dari mengolah data, menerima dan mengantar keliling college orang tua/wali murid, hingga persiapan kelas dan sekolah. Kepala sekolah pun sibuk turun tangan menyambut siswa, orang tua dan membantu mengorganisasi di lapangan. Justru para wakil kepsek (kurikulum dan resources) yang justru terlihat sibuk hanya di ruangnya sendiri beserta staff. Meskipun sekolah belum mulai officially, kesibukan sangatlah terasa. Tak heran kalo para staff ini sangat menghargai waktu libur mereka – karena beban kerja sudah terukur dan terencana.
Meskipun demikian birokrasi college juga terlihat sangat kental, karena ada saja para staff yang kerjanya agak kurang kelihatan atau hanya menunggu (terutama admin), dikarenakan masalah birokrasi seperti menunggu perintah dan kurang adanya koordinasi/ sinergi antar departemen.
Tuesday 2 September 2008
Masih seperti kemarin, para guru tetap berkutat dengan tugas persiapan bahan mengajarnya. Saat ini belum semua daftar nama siswa yang masuk tersedia, sehingga persiapan masih seputar rencana2 yang akan dibuat, berapa kelas yang mereka punya, berapa siswa per kelasnya, berapa jam mengajar yang akan dimiliki (didalam koridor waktu kerja mereka dalam seminggu – 40 jam/ minggu atau 21 jam untuk yang part timer). Apabila mendadak ada guru yang sakit, pensiun atau pindah saat inilah terjadi perubahan2. Dari yang biasanya mengajar dan bekerja 20 jam/ minggu (part time) menjadi bisa full time dan sebaliknya. Tidak semua puas dengan keputusan akhirnya memang, dan para staff sadar akan hal ini tapi semua tentu berdasarkan kontrak kerja.
Akhir minggu ini rencananya para guru sudah menerima jadwal mengajar sementara. Para guru 'senior' terlihat sibuk mengecek, mengarahkan, membantu para guru baru (tidak harus lebih muda - karena mereka bisa lebih tua dari si 'senior' tapi baru disini) mempersiapkan bahan2 mengajarnya. Tak jarang bahan2 mengajar yang sudah dibuat si guru diutak atik lagi oleh si senior untuk memastikan tidak ada kesalahan atau kekurangan yang terlewatkan. Para guru2 ini biasanya bekerja di staff room yang dilengkapi computer dan akses internet yang terletak sangat sentral dalam college sehingga mudah diakses dari mana2.
Staff personalia sibuk mendata2 para staff baru yang masuk serta mempersiapkan kebutuhan2 mereka seperti lockers, tempat parker, access computer dll. Para staff baru semuanya (tanpa melihat posisi apakah admin, guru, teknisi, dll) mengikuti program induksi wajib bersama2. Para teknisi laboratorium, computer dan hard wares lainnya sibuk dengan persiapan dan pengecekan bahan2 yang akan dipakai. Staff lainnya memeriksa fungsi/memelihara alat2 dan fasilitas sekolah seperti lift, atap, bangunan dll agar benar2 aman saat digunakan.
Yang menarik ada beberapa staff pengajar yang mengungkapkan ketidakpuasan terhadap pemangku manajemen sekolah. Salah satunya adalah seorang guru Matematika dari Mesir yang kebetulan bergelar Master dan dipercaya menjadi koordinator pengajar matematika untuk level intermediate (sejajar kelas 1). Dia telah mengajukan keinginan untuk melanjutkan S3/ doctoral (melalui skema equal opportunities untuk para staff) dan sebelumnya pihak college sudah setuju untuk mendukungnya. Hanya saja setelah mendaftar ternyata oleh universitas diharuskan membayar sekitar £3500 per tahun (sama dengan tuition fee-nya home students). Ternyata terjadi dispute, karena pihak college tidak happy dengan fee sebesar itu (yang harus dibayar oleh college). Padahal si guru sudah mencari kesana kesini jurusan yang diinginkan dan begitu dapat; pihak university juga memberi kelonggaran untuk hanya hadir seminggu sekali tatap muka (artinya tidak terlalu banyak meninggalkan tugas di college).
Kasus kedua, seorang guru senior Biology yang bertanggungjawab terhadap beberapa guru muda dan juga wakil union para guru yang cukup disegani, juga menunjukan ketidakpuasan kepada pihak manajemen, karena merasa banyak permintaan/usulan para staff – yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar, bukan kesejahteraan - yang seharusnya dipenuhi oleh manajemen ternyata tidak diberi.
Penyebab dua kasus ini terjadi sebenarnya adalah masalah ‘kontrol dana’ atau pengeluaran yang sangat ketat oleh manajemen yang dirasakan ‘tidak adil’ atau kurang akurat atau tidak memihak para guru yang dirasakan oleh staff pengajar. Sebagian menyalahkan prioritas college yang dirasakan kurang pas oleh beberapa staff. Misalnya untuk memformulasikan misi (& visi) statement yang baru, pihak manajemen mengeluarkan uang ribuan £ untuk membayar seorang konsultan. Dimata para staff ini hanya buang2 uang karena untuk membuat 1 kalimat sebagai misi sekolah banyak dana yang keluar, sedang mereka tidak dilibatkan dalam formulasinya (konsultasi). Padahal mereka nanti yang harus mensosialisasikan hal ini kepada para siswa.
Sementara itu banyak permintaan dari staff misalnya dana tambahan untuk seperti men-hire staff pengganti bagi staff yang sakit (bisa dengan pengangkatan staff baru atau dari agensi) tidak diberi. Ini tentu saja akanmenjadi tugas dan beban bagi staff lama karena harus mengajar lebih banyak jam dengan gaji tetap dan waktu persiapan yang tentu lebih banyak dari sebelumnya (tambah stress & overloaded work). Ini adalah salah satu suara tuntutan ketidakpuasan staff yang sayangnya tidak terlalu bergema, dan mendapat dukungan dari staff lain (apatis). Ibaratnya banyak para staff yang tiarap atau hanya berani omong dibelakang doang karena banyak usulan2 dari bawah yang membentur dinding birokrasi tanpa kejelasan apa dan mengapa alasan keputusan2 tertentu diambil oleh pihak manajemen. Apakah ini dimungkinkan karena mereka takut tidak diperpanjang kontraknya atau hanya sikap apatis saja? Ini bisa saja bersinergi menjadi satu. Yang jelas terasa adanya resistansi meskipun cenderung masih dibawah permukaan saja.
Friday, August 03, 2007
Pisang, wajib hukumnya!

Kalau malam hari tiba2 kami (termasuk anak2) terbangun dan lapar, pisanglah yang dimakan, bukan biscuit, cookies atau makanan yang lain. Tak heran, kalau sekali pergi ke pasar bisa sampai 2 plastik pisang kami borong, sampai2 tas punggung yang biasa dipakai tak pernah berumur lebih dari 3 – 4 bulan. Maklum sudah jadi longgar tali dan atau lepas kancingnya karena sangking beratnya kalo belanja buah yang satu ini.
Dari sebab bangga akan asal muasal pisang dan kandungan nutrisi yang dikandungnya, kami bangga untuk mengakui kalau pisang adalah buah favorite keluarga kami. Karenanya wajar dong kalau selesai menulis blog ini saya jadi kepengen ke dapur dan memeriksa mangkuk buah kami? Wah jangan2 pisang yang baru saya beli sore kemarin sudah habis dihabiskan isteri saya atau si Akis- anak saya yang paling besar…sorry ya pembaca, saya akhiri dulu nih…..
Sunday, October 01, 2006
Pendidikan Indonesia: Cerita Kegagalan di Zaman Otonomi Daerah

Para pembuat kebijakan kita dahulu sangat gemar untuk ‘berbelanja ide’ di luar negeri. Berbelanja ide seperti ini sangatlah praktis, karena tidak membutuhkan kerja keras seperti penelitian puluhan tahun atau sebangsanya. Modalnya sangat mudah, misalnya cukup dengan studi banding atau ikut seminar ke luar negeri, ide2 pendidikan dengan mudahnya didapat. Entah itu dari apa yang dilihat, didengar dan dibaca disana. Berbelanja ide dengan pendekatan ‘window shopping’ (berbelanja etalase toko) seperti ini sebenarnya sangat berbahaya. Karena kacamata seorang orang asing (tourist) sangatlah tidak setajam kacamata orang local, yang puluhan tahun tinggal dan bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Bagi para tourist semua terasa indah dan sempurna, karena high expectation (harapan tinggi) yang sudah terlanjur terbentuk dibenaknya sebelumnya, sehingga terkadang sudah tidak objektif lagi. Apalagi bila sudah membawa segepok $ di kantong...wah mimpi indah deh.
Penulis sendiri pernah mengantar salah satu ‘peneliti’ dari Depdiknas untuk ‘studi banding’ ke salah satu SD di LN (konon dia sudah menjadi salah satu pejabat setingkat direktur salah satu direktorat Depdiknas sekarang). Ternyata ‘studi banding’ tersebut tidak lebih sebatas hanya bertanya jawab dengan kepala sekolah selama 30 menit (itupun tanpa membuat catatan atau merekam jawaban2 yang diberikan) dan berjalan berkeliling sekolah & kelas2 dan melihat suasana kelas sambil mengambil gambar selama 30 menit. Bisakah waktu +/- 1 - 2 jam yang dihabiskan disekolah tersebut cukup memberi informasi yang berharga bagi si pembuat kebijakan sepulangnya nanti ke Tanah Air? Yang sering terjadi adalah: sepulangnya ke tanah air, tak jarang laporan 'pandangan mata' tersebut bisa jadi kebijakan resmi Departemen nasional.
Tak heran bila ‘ide2 yang dipinjam’ dari luar tersebut sering parsial, tidak lengkap dan hanya kulit2 luarnya saja. Ibarat ingin membuat kue dengan modal hanya secarik kertas resep dan sekeranjang bahan2nya yang beli di supermarket atau pasar. Namun kita tidak pernah benar2 melihat orang membuat kue itu dengan mata sendiri. Kita hanya bereksperimen menggenggam secarik resep sambil berhayal untuk bisa membuat kue dari situ. Apa dan bagaimana kompleksitas suatu program atau kebijakan yang dilakukan oleh negara lain yang kita tiru, sering terlewatkan. Sim salabin, abrakadabra, jadilah dia resep baru. Itulah yang dilakukan oleh para elit di zaman Orde Baru. Tak heran bila kita familiar dengan istilah ‘Ganti Menteri, Ganti Kebijakan’. Kita bereksperimen secara bebas dengan model yang diimport baik dari barat dan dari timur, karena memang strategi Orde Baru sendiri untuk pendidikan sebenarnya tidak ada.
Sejak 1997 Indonesia menjadi ‘pasien’ agen dana Internasional seperti IMF, World Bank dan ADB. Sebagai penerima donor kita harus mau ‘tunduk’ dan menelan obat yang mereka resepkan. Tetapi syaratnya sangat mahal: kita harus merestrukturisasi sistem pemerintahan kita (yang konon) yang tidak efektif - misalnya melalui pemberian otonomi kepada daerah, mengubah praktek negara dari birokrasi otoriter (authoritarian bureaucratic state) menjadi lebih demokrasi dan mengikutsertakan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan, yang lebih penting, kita harus komit dengan program structural adjustment (perubahan structural) yang mereka agendakan. Persoalan apakah yang memberi resep tersebut yakin obatnya akan manjur, kita nggak pernah bertanya lagi ...kita percaya saja (kadang mentah2).
Dampak ketundukan kepada syarat2 agen dana Internasional ini jelas. Kita mulai ‘memprivatisasi’ sistem pendidikan (PT dan sekolah dibebaskan menarik uang kuliah/sekolah langsung), pengurangan public spending (memotong subsidi, menaikan pajak, memprioritaskan pembayaran utang) dan melakukan proyek2 desentralisasi dibawah petunjuk, arahan dan ‘biaya’ agen asing/ Internasional.
Proyek Desentralisasi Pendidikan Depdiknas
Dari hasil ‘belanja ide’ diatas, munculah istilah Manajemen Berbasis Sekolah (School-based Management) diakhir tahun 1990an di Indonesia. Ide ini menjadi sangat populer dikalangan pembuat kebijakan dan masyarakat dikarenakan adanya desakan agen2 proyek pendidikan dari luar negeri ditambah dengan kondisi masyarakat yang memang sudah muak dengan sistem penyelenggaraan pendidikan Orde Baru yang terbukti tidak berhasil (padahal sama2 hasil desain dari luar).
Menurut data ICW (2004) begitu besarnya desakan agen2 proyek dari LN (World Bank, ADB, Inggris, Unesco, Unicef, USAID, Selandia Baru, Belanda, dll) itu kepada pemerintah RI dapat dilihat dari banyaknya tawaran loan (utang) dan grant (hibah) yang nilainya dari ratusan ribu hingga US $ 125 juta. Proyek2 yang dilakukan dibuatlah bermacam2 dari yang namanya Basic Education Project di Jawa Barat, Sulawesi dan NTB, Junior Secondary Education Project di Jawa Timur dan NTT hingga Senior Secondary Education Project, Decentralized Basic Education dan PAKEM dan SBM. Dibiayainya proyek2 desentralisasi pendidikan melalui utang LN ini sayangnya kurang mendapat porsi berita yang layak di media massa. Yang ada justru penyataan Dirjen Depdiknas bahwa pemerintah sendiri akan dilakukannya ujicoba SBM berskala nasional di 1000 sekolah di tanah air (Kompas, 2001).
Dipermukaan pemerintah berusaha memunculkan kesan bahwa MBS adalah satu2nya ‘obat mujarab’ (panacea) untuk buruknya sistem pendidikan Indonesia. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia IV (KONASPI) di Jakarta tahun 2000 bahkan dipergunakan sebagai media sosialisasi SBM oleh pemerintah. Hasilnya hampir semua peserta konvensi setuju dan percaya SBM akan membawa hasil peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia (Kompas, 2000). Tidak ada suara yang bersuara sebaliknya.
Diadakannya proyek2 desentralisasi pendidikan besar2an ini sebenarnya sangat tergesa-gesa dan patut disayangkan. Ini dikarenakan ada beberapa kelemahan atau bahkan kesalahan desainnya. Pertama informasi tentang indikator pendidikan Indonesia yang dimiliki oleh pemerintah sebenarnya tidak akurat dikarenakan keterbatasan kapasitas dan tenaga pengumpulan data yang dimiliki (Boediono dan Adams, 1997). Kedua sebagaimana yang diindikasikan oleh staf menengah Depdiknas yang penulis wawancarai tahun 2002, kebijakan2 Depdiknas sering mengandalkan penggunaan data analisis kuantitatif dan statistik yang dibuat sebagai laporan ABS (asal bapak senang). Tak heran lembaga LSM dan tokoh independent seperti ICW, Gapsi (2003) dan Baswir (2004) meragukan kesungguhan pemerintah untuk menggunakan proyek2 tersebut sebagai usaha memperbaiki keadaan sistem pendidikan. Banyak yang percaya tindakan menerima tawaran proyek2 ini adalah indikasi ‘ketidakberdayaan’ pemerintah melawan tekanan asing.
Adalah aneh, sejak dahulu kita mendengar bahwa ‘bantuan’ LN ke Indonesia dipercaya mengalami kebocoran 20 – 30 % (Djojohadikusumo, 1993; dan Kwin Gian Gie, 2003) karena praktek mark up dan korupsi. Lembaga LN seperti Transperancy Internasional (2000) dari surveynya selalu manjadikan Indonesia jawara korupsi di dunia. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Hutang LN kita dalam 2 tahun melompat dari US $ 51 billions tahun 1998 menjadi US $ 134 billions tahun 2000 atau 83 % GDP (Baird, 2000). Dalam film The New Rulers of the World karya John Pilger (2003) kita akan dibuat gregetan bila mendengar komentar pejabat tinggi IMF dengan entengnya yang menepis fakta bahwa ‘bantuan’ LN di Indonesia banyak yang hilang dikorupsi.
- Pendidikan Indonesia: Cerita Kegagalan di Zaman Otonomi Daerah (2)
- Adalah ironis sekali bagi Indonesia yang dikenal sebagai negara yang kaya raya dengan sumber daya alam tetapi juga dikenal sebagai negara peringkat kelima terbanyak utang luar negeri diantara seluruh negara yang ada di dunia ini. Sialnya lagi trendnya ini bukannya cenderung menurun malah meningkat setiap tahunnya. Misalnya saja bila utang LN pada tahun 1990an tercatat US$ 54 billion atau 2 kali lipat utang tahun 1983. Nilai ini kemudian meningkat drastis menjadi US$ 136 billion tahun 1997, terus menjadi US$ 141 billion tahun 2000. Meskipun sempat turun menjadi US$ 132 billion tahun 2003 dan US$131 billions tahun 2005, tapi yang dilakukan sebenarnya tak lebih dari sekadar tambal sulam hutang: utang lama yang jatuh tempo dibayar dengan hutang yang baru. Konon total utang yang kita miliki saat ini baru akan bisa terbayar 175 tahun ke depan (Detik, 2001). Pertanyan sekarang akankah Indonesia bias bertahun hingga 2176? Menurut laporan lembaga Internasional Jubilee (April) tahun 2006 ini sudah hampir separuh dari 210 juta penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Bandingkan angka ini dengan klaim bahwa jumlah penduduk miskin telah berkurang yang disampaikan oleh presiden SBY baru-baru ini.
- Kembali ke masalah kebijakan ‘reformasi pendidikan’ yang dibiayai oleh utang luar negeri yang besar, seberapa efektif mega proyek2 pendidikan tersebut membuahkan hasil yang diinginkan di masa otonomi daerah sekarang ini? Apakah kita telah melangkah pada era perbaikan yang signifikan atau sebaliknya masih berjalan ditempat atau malah mundur ke belakang? Inilah yang ingin kita diskusikan disini.
- Mengapa harus MBS?
- Asal usul istilah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang ‘naik daun’ di Indonesia sejak akhir 1990an dan menjadi tulang punggung reformasi pendidikan kita paska tumbangnya Orde Baru sebenarnya merupakan bagian dari aplikasi teori manajemen ekonomi yang dipakai oleh perusahaan (intinya orang tua adalah ‘klien’ bagi sekolah). Ide ini sudah dikenal sejak tahun 1970an, tapi mulai ‘mendunia’ di tahun 1980an terutama sejak presiden AS Ronald Reagan dan perdana menteri Inggris Margaret Thatcher menggunakan isu globalisasi sebagai alasan untuk merestrukturisasi (baca: pengurangan) kebijakan subsidi negara kepada sektor pelayanan publik (seperti pendidikan dan kesehatan). Adalah Kanada yang dapat dikatakan negara pelopor ujicoba pemberian ‘otonomi’ di tingkat sekolah. Ini kemudian diikuti oleh negara2 yang berbahasa Inggris lainnya seperti Australia, Inggris Raya, Selandia Baru dan Amerika Serikat (Cadwell, 2005).
- Dalam perkembangannya kemudian ide ini kemudian latah diikuti atau ‘meluas’ di adopsi negara2 di seluruh penjuru dunia, dari Cina hingga Mexico, dari Uganda hingga Russia. Ide MBS sendiri awalnya adalah pendesentralisasian otoritas hingga ke tingkat sekolah (pemberian otoritas dan tanggungjawab untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan hal-hal operasional sekolah kepada sekolah). Namun dalam kenyataan dilapangan setiap negara mengadopsi dan meng-improvisasi ide MBS ini menurut selera mereka masing-masing (Dempster, 2000; Murphy and Beck, 1995). Akibatnya ada sekolah yang diberikan otoritas yang sangat besar, tetapi ada juga yang kecil. Bahkan ada otoritas yang hanya sampai ke tingkat pemerintah daerah saja, tidak turun sampai ke sekolah. Tak heran bila dampak MBS bagi output pendidikan dari satu negara ke negara lain, bahkan antara satu sekolah ke sekolah lain di satu negara bisa sangat berbeda layaknya bumi dan langit.
- Dibanyak negara keputusan mereka mengadopsi model MBS lebih banyak dikarenakan alasan yang berbau politis (oleh partai yang berkuasa untuk mendapat banyak suara dari publik) ketimbangan didasari oleh alasan yang benar2 murni untuk memberdayakan sekolah atau masyarakat pada umumnya. Misalnya saja para menteri pendidikan di Australia (1987), Inggris (1988), Selandia Baru (1993) dan Skotlandia (1997) yang berasal dari partai yang berkuasa, menggunakan slogan2 politis seperti: sistem (pendidikan) akan menjadi efektif dan efisien jika sekolah dapat mengkontrol kualitas pendidikan yang mereka sendiri; dan (MBS adalah) … kerangka baru yang akan meningkatkan standar (pendidikan), alternatif pilihan (sekolah) yang lebih luas bagi orang tua dan menjadikan bangsa kita menjadi lebih terpelajar; serta kualitas sekolah akan menjadi lebih baik jika sekolah diberikan otoritas untuk membuat prioritas dan rencana (sekolah) sendiri demi merespon kebutuhan murid dan aspirasi orangtua.
- Dari sumber2 yang terkumpul dari riset kasus di beberapa negara maju yang telah mereformasi sistem pendidikannya terlebih dahulu diketahui bahwa salah satu sumber utama pendorong pendesentralisasian pendidikan mereka bersumber dari arena politik, yakni manakala para pembuat kebijakan politik menelurkan undang2 pendidikan baru yang secara simbolis memberikan otonomi pendidikan kepada daerah dan sekolah. Beberapa peneliti pendukung MBS seperti Levavic (1995), Wohlstetter (1995), dan Ellie & Fouts (1994) secara teoritis terang-terangan mendukung MBS karena paling tidak ada beberapa sebab utama, misalnya tercapainya efektivitas sumber daya sekolah (resources), peningkatan proses belajar dan mengajar di sekolah dan membuat sekolah menjadi responsif (akan kebutuhan para murid/ siswanya) serta memberikan alternatif pilihan bagi orang tua dan publik (untuk memilih sekolah2 yang bagus sekehendaknya).
- Namun dalam kenyataan di lapangan, beberapa peneliti lainnya seperti Anderson & Dixon (1993) justru menyimpulkan hasil sebaliknya yakni bahwa MBS justru berakibat lebih mengetatnya kontrol terhadap sistem pendidikan oleh pemerintah pusat dengan mengatasnamakan kepentingan nasional. Misalnya melalui pemberlakuan (kembali dan lebih ketat): kurikulum nasional, ujian nasional, standar kompetensi nasional, pengauditan kurikulum dan standarisasi tenaga kependidikan. Selanjutnya, kritikus pendidikan semacam Micheal Fullan (1993) dan Leithwood & Menzeis (1998) bahkan sebaliknya mengecam optimisme berlebihan para pembuat kebijakan pendidikan di banyak negara tentang efektifitas MBS disebabkan tidak adanya hubungan baik langsung maupun tidak langsung dampak MBS terhadap siswa/ murid. Dengan kata lain lebih besar retorika (teori) akan dampak positif MBS terhadap hasil belajar siswa daripada kenyataannya dilapangan.
- Penelitian tahun 2001 oleh Smyth malah dengan tegas mengkritik kebijakan penerapan MBS yang sering diawali dengan ‘bujukan finansial’ kepada sekolah2 untuk menerapkannya (ingat dengan kebijakan BOMM atau Bantuan Operasional Manajemen Mutu untuk sekolah-sekolah di Indonesia) yang biasanya kemudian ditarik (baca: dihapus) tiba-tiba sehingga sekolah harus (kelimpungan) mencari sendiri dana penggantinya. Smyth juga menyimpulkan bahwa MBS lebih menguntungkan bagi sekolah yang lebih baik sumber dayanya (secara finansial dan tenaga pengajar) daripada sekolah yang ‘lemah’. Dengan kata lain sekolah bagus tetap bagus, tetapi yang buruk akan tetap buruk atau malah cenderung memburuk.
- Dari diskusi diatas jelas terlihat bahwa dibalik manfaat teoritis MBS yang cenderung bersifat retorika tersembunyi kenyataan bahwa penerapan MBS di lapangan justru dapat membawa dampak sebaliknya. Ini karena kenyataan implementasi dilapangan sering jauh dari harapan yang diinginkan sebelumnya. Malah ada kecenderungan bahwa MBS secara relatif tidak berdampak jauh lebih positif dibandingkan dengan dari model manajemen sebelumnya.
- Kenyataan di negara-negara maju ini ternyata juga terbukti di Indonesia. Tak lama setelah ‘proyek coba-coba’ pemberlakuan MBS dengan dana yang tak sedikit dibeberapa kota sejak tahun 1999, banyak teori akan dampak MBS yang dipercaya akan terjadi oleh pemerintah yang tak jalan dilapangan. Misalnya saja retorika MBS akan membawa otonomi bagi sekolah, seperti amanah Propenas tahun 2000 (bahwa MBS di Indonesia dikembangkan untuk meningkatkan kemandirian sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan) dan Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas (bahwa MBS akan diberikan kewenangan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengelola dan memberdayakan semua sumber pendidikan yang ada di lingkungan sekolah dan masyarakat). Yang terjadi adalah kewenangan ini diserobot oleh banyak pemerintah daerah yang justru enggan mendelegasikan otoritas kepada sekolah (Nurkolis, 2003), bahkan ada daerah yang justru ‘mengurangi’ kewenangan sekolah dari sebelumnya.
- Jika Indra Jati Sidi, kepala Direktorat Dikdasmen saat itu (Kompas 2001) percaya bahwa dengan MBS sekolah bisa mandiri dan memilih sendiri kepala sekolah masing-masing, pada kenyataanya praktek demokratis ini sangat jarang dan tidak terdengar lagi sejak proyek-proyek MBS dari pusat berakhir tahun 2003. Jika pada awal-awal proyek MBS, wewenang sekolah sangat besar misalnya dengan diberikan otoritas untuk menentukan sendiri kelulusan siswanya dengan adanya penghapusan Ebtanas (evaluasi tahap akhir nasional) dan pemberlakuan UAS (ujian akhir sekolah) di tahun 2001, namun sejak tahun 2003 kebijakan yang sesuai dengan jiwa dan semangat otonomi sekolah tersebut ditarik kembali dan diganti dengan model ujian nasional baru (UAN) yang menegaskan kembali model kontrol sentralis terhadap sekolah-sekolah persis seperti di masa lalu. Dari sedikit contoh tersebut diatas, tak salah bila pesimisme masyarakat akan segera dirasakannya dampak positif MBS seperti diharapkan sebelumnya akan meningkat. Pertanyaannya sekarang, dimana salahnya?
(Sudah dikutip oleh Koran Berita MITRA OTONOMI edisi 1 - 10, 11 - 20, 21 - 30 September 2006)
Tuesday, March 28, 2006
'Spring' dan 'Summer' di B'ham

'Spring' dan 'Summer'
Jika musim semi tiba – biasanya ditandai oleh tibanya Easter festive season, kota Birmingham pun menjadi ‘blooming’ segar penuh dengan warna warni oleh bunga musim semi. Tidak saja taman2 kotanya yang semarak dengan aneka warna floral, hampir disetiap pojok dan pagar jalan turut semarak tak ketinggalan. Pemandangan yang kontras sekali mengingat 3 - 4 bulan sebelumnya di tempat yang sama pohon2 mengersang ditinggalkan daun2 dan hewan2 sahabatnya. Selaras dengan datangnya kicauan burung2; di empat penjuru kota dari Sutton Park di Utara - Timur, Lickley Hill Country Park di Selatan Barat, hingga Kings Heath Park dan Canon Hill Park di tengahnya, bertransformasi mejadi panaroma alam yang sangat indah. Semerbak aroma seakan berseru: it’s a great day out … menyapa penduduk kota untuk bersuka cita menyambut datangnya musim baru. Lampu2 jalan yang benderang selama musim dingin pun berganti dengan aroma kecerahan yang dibawa oleh spring floral nan asri. Geliat kota yang lamban dan murung selama itu pun berganti speed, lebih hidup dan lebih ceria. The spring is (finally) here…
Bila semi menjadi summer, taman yang dulunya luas menjadi sempit oleh pendatang yang berdesak menyongsong full sunlight yang memanjangkan siang hingga 16 jam. Dari bayi, remaja hingga nenek kakek, dari yang modis hingga yang dekil, semua bak berkompetisi untuk berebut tempat dan kesempatan untuk menikmati sinar yang menghangatkan kulit dan memanjakan perasaan. Tak heran jika taman2 kota bak berubah manjadi surga eden sebagaimana yang sering digambarkan oleh iklan travel di koran2 dan internet. Aktivitas para pengunjung musiman ini bermacam2 dari bermain sepeda, jogging, berjalan santai, hingga hanya sekadar berjemur mencari keringat berolahraga (tennis, cricket, football, dll).
Salah satu event yang menarik di taman ini adalah diadakannya lomba mencari cacing! Dipetak tanah yang ditentukan para peserta berlomba mengumpulkan cacing sebanyak2 dengan cara mengetuk2 dan menggoyang2 lapisan tanah berumput dengan sekop kecil atau sepotong besi (tentu saja tanpa perlu harus menggali tanahnya hehehe). Dalam hitungan menit, para peserta berusaha keras ‘mengganggu’ para cacing didalam tanah tersebut agar ‘terpaksa’ muncul ke atas. Peserta yang paling banyak mengumpulkan cacing dan atau berhasil menangkap cacing yang paling berat dan besar ditetapkan menjadi pemenang kontes.
Bila anda suka ke parks, inilah pilihan anda bisa berjalan2 bersama keluarga menikmati alam. Park favourite keluarga kami adalah Canon Hill di dekat Edgbaston cricket ground dan University of Birmingham yang terkenal itu. Sambil menikmati angsa dan bebek yang berkejaran di pinggir kolam, anda bisa melempar segenggam nuts atau bread ke tengahnya. Biasanya sambil menikmati sensasi sinar matahari menyentuh kulit, saya biasa duduk di tepi kolam sambil melamun sambil melempar pandangan keseliling. Birmingham parks memang tidak seindah dan aestetik Roman garden yang penuh batu bertulis sisa bangunan bangsa Romawi di Chester (kami kunjungi di tahun 2001). Tapi tentu saja tak kalah ramainya dengan Luxembourg parks di Paris (kami kunjungi di 2005).
Well, cara lain menikmati summer di Birmingham cara kami adalah naik boat - mencari angin dan berjemur sambil menikmati pemandangan disepanjang canal. Lahir dan dibesarkan ditepi sungai Mahakam di timur pulau Borneo membentuk saya sangat menyukai wisata air daripada yang lainnya. Meskipun disini hanya bisa menemukan anak2 sungai yang relatif kecil dibanding sungai, paling tidak tiga perempat rindu kampung halaman bisa terobati. Canal Birmingham mungkin tidak seromantis Venice di Italy atau sekomersil dan sesibuk canal di Amsterdam dimana kita seakan dihantar melewati ratusan jembatan sekali jalan. Disini kami bisa menimati pemandangan kota Birmingham melalui air tanpa distorsi suara bising lalu lalang boat seperti yang kami alami di Amsterdam (2005). Percakapan dan derai tawa bersama keluarga pun terasa jadi nikmat apalagi bila diselingi minum teh hangat dan makan biscuit.
Thursday, March 23, 2006
Tinggal di Aston

Waktu untuk menulis 'hampir' tidak ada
Waktu untuk menulis menjadi salah satu scarcity dalam hidup saat ini. Menjadi sesuatu yang saat precious untuk ditemukan dan dinikmati. Kebetulan saya bukan jenis orang yang bergelimang dengan waktu. Pertama, waktu habis oleh money making (kerja) plus minus waktu yang terbuang sebagai commuter. Bayangkan kerja 8 jam sehari ditambah 4 jam habis di jalan (naik bus) untuk back and forth. Pergi pagi jam 7 – kalo winter kadang2 sebelum matahari muncul – dan pulang jam 6 – juga kadang2 setelah matahari terbenam. Hanya saat summer rutinitas ini terasa sedikit berubah.
Yang kedua, waktu untuk kelurga. Mon to Fri sepulang kerja adalah waktu yang ‘harus digunakan’ bersama keluarga. Terutamanya, dinner, nonton TV bareng, bermain2 bersama si Akis. Setelah jam 9 malam dan si Akis tidur, barulah sedikit ada waktu mengobrol dengan isteri tentang news hari itu. Menginjak jam 10 malam, rasa kantuk dan capek mulai pile up dan bedtime memanggil. Hanya weekends, yang ‘benar2 ada sedikit waktu luang’. Sedikit luang, karena itu pun harus dipakai untuk kegiatan bersama keluarga lagi. Terutama shopping dan hiburan. Kadang2 kami juga meluang waktu untuk bermain2 di Villa Park atau berenang di small pool.
Tinggal di Aston

Kami tinggal di daerah yang bernama Aston. Nama ini saat terkenal di Inggris. Bukan saja karena rocker Black Sabbath Ozzy Osbourne pernah lahir dan grew up disana, atau menjadi home bagi stadion megah dan terbesar Aston Villa Park di Inggris Tengah. Tapi juga infamous karena daerah ini memiliki stereotype sebagai daerah yang kumuh dan penuh kejahatan. Mungkin persepsi kita akan sama kalau mendengar kata Brooklyn di Amerika. Terbayang daerah yang penuh dengan gangsters, drug dealers dan dar der dor dsb.
Sebenarnya stereotype ini tidak sepenuhnya betul. Memang, dulu waktu saya pertama2 datang, saya sempat berpandangan yang sama. Alasannya karena di daerah yang di dominasi oleh penduduk dari Asia Selatan ini terlihat lebih kotor di bandingkan dengan daerah yang kebanyakan di huni oleh orang2 'White'. Selama tinggal disini juga, rumah saya pernah sekali kemasukan maling, saat isteri dan anak saya sedang berada di kamar atas, dan terjadi 3 kali perampokan yang jelas2 korbannya adalah orang Indonesia yang tinggal di Aston.
Seorang kawan yang memiliki mobil dan by the law harus mendaftarkan insurance terpaksa tidak jadi mendaftarkan karena berdomisinya di Aston. Ini karena insurance fee untuk orang yang tinggal di Aston ini termahal di Birmingham, dan saat itu Birmingham (th 2000) yang termahal di UK. Sehingga kalau dikalkulasi, berarti daerah Aston yang dikagorikan ‘paling tidak aman’di UK.
Pandangan stereotype saya tentang Aston ini pelan2 mulai berubah sejak beberapa tahun yang lalu. Ini dikarenakan ada perubahan yang terjadi. Ternyata sebelum tahun 2001, counsellor atau anggota DPRD di daerah Aston diwakili oleh partai Labour. Tetapi sejak partai Liberal Demokrat menang di daerah ini, terlihat perubahan yang banyak. Kemenangan partai baru membawa angin segar bagi Aston.
Uang mulai mengalir di daerah ini, yang salah satunya di pakai memperbanyak polisi patroli dan perbaikan fasilitas jalan dan umum. Pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan masyarakat di buka. Anak2 muda dan wanita yang biasanya menganggur didekati, di beri pendidikan dan pelatihan gratis. Diberi kemudahan dan insentif untuk berusaha kepada mereka yang mau berwirausaha. Hasilnya memang cukup mencengangkan, dalam 5 tahun, Aston benar2 telah berbenah. Jalan2 mulai sering disapu hingga bersih, mobil2 yang diparkir tidak teratur mulai ditertibkan, polisisi masyarakat berpatroli sepanjang waktu, para penjual drug mulai menyingkir, hingga total result: kejahatan menurun drastis.
Tuesday, January 17, 2006
Indonesia's Contexts

The Economic Context
Indonesia’s GDP is increasing from 156.0 US$ Billion in 1993 to 173.0 US$ Billion in 2002 to 208.3 US$ Billion in 2003. However, Indonesia’s budget for education is quite low, that is around five percent of the National Budget and Expenditure. This is not only because it suffered economic crisis since 1997, but the rational is rather political (even before the crisis, it had been always low). For example, to ‘keep their people happy’, the government subsidised its fuel oil prices (up to September 2005).
With the recent high oil prices, the ‘policy’ appeared to have become disastrous, i.e. seeing Rp 130 trillion (US$13.2 billion, assuming exchange rate of $1 equals to Rp 9000) of the national budget or almost a third of the total spent on fuel oil subsidy (Antara, 2005). Meanwhile, the government and the House of Representatives had only allocated Rp 26.5 trillion for education (in 2005), despite National Constitution and Educational Law requiring a minimum 20 per cent (or at least Rp 56 trillion) of national and regional budgets and expenditure for education.
Meanwhile, Indonesia is also known as the country with the fifth highest external debt outstanding showing no slowing down. For instance, it increased from 136,088 US$ Million in 1997 to 141,695 US$ Million in 2000 to 132.763 US$ Million in 2003. If total debt/GDP is calculated, it shows data of 33.6 % in 1993, 76.5 % in 2002 and 64.5 % in 2003 respectively (World Bank, 2004b). Furthermore, the annual debt payments are around $0.9 billion or Rp 131 trillion (Jubilee, 2005).
In 2003, a third of Indonesia’s 2004 expenditure goes to debt payments (The Jakarta Post, 13th December 2003) while in 2004, that increased to 52 per cent of Indonesian total revenue (worth Rp 219.4 trillions) (WLHI, 2004). Indonesia has been indebted to IMF since 1997 with no significant progress ever since. In the light of the preceding data, it may seem impossible for Indonesia to pay more attention to its educational sector and other public services.
The Political Context
Indonesia formerly had an authoritarian and bureaucratic political system. Its modern political government and institutions still owe much to both Dutch and ‘traditional Javanese’ influence. Java’s traditions were adopted and enforced as the Indonesian traditions, values and cultures because of their numerical domination in Indonesian politics. Both President Soekarno and Soeharto addressed the problem of unity - since it is a multi racial, multi-religious and multi-cultural country- by adopting an authoritarian system that lasted for 40 years (eight years and 32 years under each rule respectively’) (Wanadi, 2002). King (1982) states that the previous bureaucratic authoritarian regime was characterized by a high degree of corporatism. Instead of individual patron-client ties, various groups within the state as well as in society were collectively tied to the leaders of the state.
Furthermore, Pratikno (no date) adds that a highly centralised political structure had been developed in the name of national integration, political stability and economic development. Although unity and diversity (Bhinneka Tunggal Ika) was a dominant political slogan during that time, political arrangement had given no room for the emergence of competing powers outside Jakarta. Therefore, ‘local power was seen as a threat, subject to central government repression’ (p.3).
However, since 1998 Indonesia moved to more ‘democratic’ transition with the introduction of free press for the first time, decentralisation of authorities to lower governments since 2001, and having three presidents in four years as well as conducting the first direct presidential election in 2004. Although rapid change took place, the former practice and paradigm were not easy to transform. For instance, during the era of ‘dictatorship’, the education system was used as a political machine by the Golkar (Golongan Karya, Functionalist Group) Party. Thirty two years of authoritarian regime organised teachers and civil servants to support the Golkar Party’s bureaucratic government.
However, after the commencement of decentralisation since 2001, political parties – such as the ruling party PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Indonesian Democrat Party of Struggle) – still tried to use teachers and civil servants for their political end by, for example, using school meetings for their campaign of 2004 General Election (Pikiran Rakyat, 2003). This phenomenon above raises a key question: as the change of political landscape took place, has cultural transformation also taken place or has the same practice remained?
The Cultural Context
Looking at its huge cultural diversity, i.e. from Aceh in the West to Papua in East, the modern Indonesia could be described as a very diverse country. However, since 45 per cent of its population is Javanese (WIZ, 2005) and with Soeharto’s Javanese cultural underpinnings of 32-year New Order, consequently Indonesia has been masked by Javanese cultural domination. Soeharto used his own interpretation of Javanese culture – based largely obedience characteristics such as respect for seniors, conformity to hierarchical authority and avoidance of confrontation – to strengthen his bureaucratic and authoritarian regime.
Under circumstances like this, it is not surprising if it is hard for democracy to flourish.
The national education laws always were aimed to develop Indonesian citizens to be complete persons – religious, intelligent, healthy, democratic, independent, responsible, etc.
The National Education is aimed at elevating the intellectual life of the nation and to develop the complete Indonesian person, i.e. one who is devout and God fearing, with high morality, possessing knowledge and skill, who is physically and mentally healthy, who is of stable personality, independent and has a deep sense of responsibility towards the society and nation (Act or Law No 2, 1989).
….they become persons imbued with human values who are faithful and pious to one and only God; who possess morals and noble character; who are healthy, knowledgeable, competent, creative, independent; and as citizens, are democratic and responsible (Act No 20, Year 2003).
However, in reality, those ‘too idealistic’ goals were never achieved. In fact, Indonesia is known to be one of the most corrupt countries (Transparency International, 2002a, 2002b, 2005) with poor human rights record in the world (Human Right Watch, 2004).
Educational Resources Context
Ministry of National Education (MONE, locally known as Depdiknas) has limitations of expenditure on school facilities and maintenance, learning resources and human resources. For example, data showed that in 2000 the condition of primary school buildings throughout Indonesia was deteriorating, since 58 % of them were damaged, 23 % and 26 % of them were severe and minor respectively.
In 1999, the General Director of Primary and Secondary education, Indra Djati Sidi, also suggested that 65 % of all school buildings in Indonesia were damaged (Kompas, 2003a). Furthermore, MONE limitations also saw most learning resources from the centre ended up in warehouses of LEAs (district/local education authority, locally known as Disdik) or PEAs (provincial education authority, locally known as Disdikprov) due to lack of funding to distribute them to schools (Kompas, 2001). Unsurprisingly, only two per cent from almost 200,000 primary schools had sufficient library collections and learning resources (Kompas, 2000a).
As a result of decentralisation the MONE authority’s provision of textbooks was delegated to regional governments since 2003 (Sidi, 2003), however, the distribution of textbook block grants to schools was hampered by corruption (ICW, 2005). Essentially, that meant most pupils have to buy books on their own, mostly from their schools. Schools sold books because they received incentives from book publishers (Gunawan, 2002; Kompas, 2004a). According to the 2001 Annual Report of Special Rapporteur on the Right to Education (ARSRRE), Indonesia students suffer greatly from a lack of qualified and committed teachers.
It reported that ‘today teaching is a low-paid and low-prestige profession’, showing eighty per cent of teachers have parallel jobs, a situation which is facilitated by the teaching time of 2.5 days and 15 weekly hours (Human Right Features, 2003). Furthermore, Kompas (2002a) found that teachers’ wages were also affected by various cuts, making their ‘take home pay’ actually lower than expected.
Monday, January 09, 2006
Indonesia Demographic Context

Indonesia is the biggest archipelago country in the world, consisting of 17,508 islands and nearly 6,000 of them are inhabited. It is prone to a variety of natural disasters, such as earthquake, volcanic eruptions and flood. It is also the fourth most populous country after China, India, and the United States (231,328,092 million in 2002). This former Dutch, European and Japanese colony has recently more than 400 regencies (rural districts) and municipalities (autonomous cities), 32 provinces, and 350 ethic groups.
Its educational system has to manage 43 million pupils, 2.6 million teachers, and 260,000 schools across the country (ICoE, 2004). It recently experienced rural – urban migration as the country’s agriculture-based economy moved to late industrialisation with side effects like overcrowded schools and over supplied teachers in urban areas and multi-graded classes in rural areas.
Furthermore, Indonesia completed universal six-year basic education (USYBE) in 1984, and self-committed to universal nine-year basic education (UNYBE) programme since 1994. Initially, the UNYBE had proved to be successful in increasing the number of primary and lower secondary school students (from 36.44 million in 1994 to 39 million in 1997). However, it decreased slowly since 1998, as Indonesia faced prolonged economic crisis, saw the drop out rate soar from two per cent before the crisis to six per cent after the crisis began (Dursin, 2001). Of 25 million primary school pupils enrolled, only 72.12 % of them finished and continued to lower secondary schools and while 670,000 of them were drop-outs (MONE’s 2000/2001 data cited in Hidayatullah, 2001).
This high drop out rate is due to a wide range of problems, ranging from inability to pay school and parental participation fees, to gender bias to conflicts and natural disasters. Data shows significant gender gaps in school dropout rates at primary and lower and upper secondary schools. According to Asian Economic News (2003) girls are more likely to drop out of school than boys for many reasons – from bans by parents to continue their studies to give a better chance to the boys, to early marriages due to conservative views that girls will land in the kitchen anyway. Not surprisingly, nearly 20% of women are illiterate compared with less than 10% of men. Data taken from ten provinces by the Department of Social Affairs also showed that of dropout children above, 41,000 of them became street children (Hidayatullah, 2001).
The recent quality of education is declining due to its former centralised management system and recent economic crisis. A Political and Economic Risk Consultancy (PERC) in 2001 placed Indonesia second to last out of the twelve Asian countries surveyed, below Vietnam. In the United Nations Development Programme (UNDP)’s 2004 Report on Human Development Index, in terms of life expectancy, educational attainment and adjusted real income, Indonesia was also ranked at 111 out of 177 countries surveyed; below other ASEAN countries such as Singapore (25), Brunei (33), Malaysia (59), Thailand (76), Philippines (83), but above indo-Chinese countries (ICoE, 2004).
Saturday, January 07, 2006
Teacher Education in Indonesia

In the Indonesian teacher education is provided by teacher institutions (teacher colleges or universities) and their in-service training is conducted by teacher training centres – locally known as BPG (Balai Pelatihan Guru, Teacher Training Centres) or PPPG (Pusat Pengembangan Penataran Guru, Teacher Training and Development Centre) (Note: recently it is known as Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan or LPMP).
Teacher education is also seen as a formal educational process which is intended to ensure that the behaviour of prospective teachers matched those of “effective” teachers. Therefore, rigorous entry requirements are one key to ensuring that teachers have the knowledge and skills to help their students meet high standards (McAllister, 2003). However, it is difficult to achieve, especially, if the system has a shortage of teachers. During rapid educational expansion in the 1970-1980s many Indonesian primary and lower secondary prospective teachers were taught only in specialist lower and upper secondary schools (locally known as SPG or Sekolah Pendidikan Guru, Secondary School of Teachers). In this period, about ten thousand new classrooms were opened every year, and the government along with development agencies such as the World Bank established SPGs throughout the country in order to fulfil the need (Nielsen, 2003).
Furthermore, teacher education and training not only are classified as among the crucial determinants of school effectiveness and student achievement (Fuller, 1986) but also are perceived as central in any process of educational change (Davies, 2002). The literature also indicates that robust teacher preparation could help developing teachers’ understanding of learning philosophies, theories and principles, which, in turn, affects their pedagogical practice and students’ learning (Alexander et al, 1996; Gage, 1985). However, the effectiveness of this ‘teacher preparation’ in supporting teachers coping with work and reform process depends on its design and delivery (Schweisfurth, 2002: 32). If the design and delivery were ill initiated, the goals are certainly unachievable.
For instance, at the end of the expansion period of 1970-80s, MOEC’s official study on teacher competence showed that only 45 percent of a random sample of SPG-trained teachers could pass the science test given to the primary school completers (MOEC, 1990). In addition, the teachers were also found unable to use science equipment properly by claiming that they were not trained to do so and had no sufficient time to do experiments (Jiyono, 1986). Another study also found that teaching methods were seriously flawed, asserting that the average teacher failed to employ basic pedagogical tools such as clarifying learning objectives, explaining new concepts clearly, giving examples, stimulating thinking through appropriate questioning, and providing feedback on test results (Djalil, 1988).
"The World Bank Basic Education Study: Indonesia" concluded its section on teacher preparation with the following gloomy assessment:
"Pre-service training has relied upon inappropriate lecture methods and has provided insufficient opportunities for students to practice teaching skills. Despite tremendous efforts in recent years to improve SPG curricula and materials, pre-service teacher training is isolated from the realities of primary classrooms and teacher trainers are usually not themselves trained in primary methods". (World Bank, 1989 quoted in Nielsen, 2003)
Literature on teacher professionalism, for instance Goodson and Cole (1994: 88), suggest that one’s professional identity is influenced by factors and conditions inside and outside the teachers. Furthermore, in order to make the teachers become professional, Goodlad et al., (1990) suggest that it is important to have three criteria: (1) possessing a large degree of talent and skill; (2) using a body of knowledge that support their work; and (3) having the autonomy to make decisions that marry skills with knowledge.
However, it seems that many Indonesian teachers could hardly be ‘categorised’ as professional since they inherited personal, institutional and policy related problems, because (1) many prospective teachers entered the profession not because they possessed talent and skills of teaching, but rather were ‘forced’ by personal and financial conditions, such as inability to enter their expected majors in university or failed to find good jobs in the market, (2) many teacher institutions (SPG in the past, IKIP/universities and BPG/PPPG at the present) were operating in poor quality; and (3) teachers had superficial autonomy and struggled to balance between targets and their actual capacity to do their job. Therefore, the argument that professional teachers must be effective in their jobs (Stodolsky and Grossman, 2000) cannot be realised if the inherited problems above are not alleviated.
Furthermore, after a long period concentrating on expansion rather than quality, in the 1990s, the Indonesian government finally ‘committed itself’ to emphasizing the quality of teachers’ professional development, for example, by phasing out its SPG programmes for prospective primary teachers and replacing them with a two-year post-secondary diploma programme (Diploma II) and increasing the secondary teacher education standard to bachelor degree. During this period, hundreds of thousands of both practising and prospective teachers had to study in teacher colleges and universities to get their ‘professionalism’ improved and to get their certificates for the teaching profession.
However, the movement was rather focussed on the improving the teachers’ qualifications, not the quality (Nielsen, 2003). Many believed that the government’s efforts to improve teacher education (and training) were designed and delivered rather to achieve ‘project-oriented’ goals than genuinely to improve their knowledge and skills (Mawardi, 2004). The ‘project oriented programme’ locally is perceived negative by the Indonesian since it refers to creating a perfunctorily programme which prioritised on quantitative targets, such as getting the project done as quick as possible, without considering the quality of it, such as lack of control measurement.
In addition, this practice was worsened by the lack of administrative capacity to handle large scale reforms in the centre, which left a small number of senior administrators initiating, implementing and supervising the huge numbers of projects; it was almost impossible for them to ensure the quality control of their projects. In fact, hundreds of thousands of teachers were actually going through an upgrading course that had been acknowledged to be poor in quality (Nielsen, 2003). The result of this was not that surprising. For example, MONE’s official study in five provinces, for instance, showed that only 42.71 percent of a random sample of secondary teachers could pass the competence test (MONE, 2001b). These results showed the effectiveness of the teacher preparation was far from expected since its design and delivery were poor and not genuinely made to improve their knowledge and skills.
Since decentralization began in 2001, the central government’s policy regarding teacher education and training remained unchanged.
In 2002, a new model of teacher in-service training was launched ‘emphasising’ the teachers’ quality. The so called competence-based integrated training programme focused on combining a wide range of knowledge and skills needed by teachers to achieve the teacher competence into single, integrated training. Slamet (2002), one of the programme’s designers, suggested that this model would be more effective and efficient than those in the past which were regarded as partial and isolated in order to form an intact teachers’ competence. However, little is known about whether this training model has succeeded to achieve its goals.
During decentralization, there was also a tendency that local governments did not prioritize teachers’ education and professional development in their education related policies. This could be traced from the perception that there were only a small number of partnership programmes, aimed at professional development, among schools, higher education institutions and other appropriate entities, since decentralisation (Supriyoko, 2002b). Supriyoko suggests that recent low educational quality relates to the teachers’ insufficient opportunities to follow further qualification programme, training, seminars and workshops. Unsurprisingly, during decentralisation, data suggests that teachers’ unqualified and under trained cases remained high. MONE recent data showed that from 137,069 pre-school teachers, only 12,929 of them or 9.43 per cent were qualified to teach. Similarly, qualified teachers were only 50.67 per cent out of 625,710 primary teachers, 64.08 per cent out of 299,105 lower secondary teachers, and 63.02 per cent out of 377.673 upper secondary teachers (Suyanto, 2004).
Meanwhile, at the institution level, LEA and school’s bureaucratic and authoritarian system also hindered the teachers’ professional development. For instance, in my own personal experience it was not uncommon to find cases such as many practicing teachers who taught for many years without having a single training since recruitment, while some had different types of training because of bribing the LEA’s officials to get included the programme. Some the head teachers also had prevented some teachers to follow the programme due to ‘fear of rivalry’ for their leadership position at schools.