Total Pageviews

Thursday, March 23, 2006

Tinggal di Aston

Bisa menulis banyak tentang hal2 yang dialami selama di LN merupakan sesuatu saya idamkan sejak lama. Kalau saat ini itu menjadi sangat susah terjadi, barangkali karena irama hidup dan kesibukan yang semakin meningkat saat ini dibandingkan dulu.

Waktu untuk menulis 'hampir' tidak ada
Waktu untuk menulis menjadi salah satu scarcity dalam hidup saat ini. Menjadi sesuatu yang saat precious untuk ditemukan dan dinikmati. Kebetulan saya bukan jenis orang yang bergelimang dengan waktu. Pertama, waktu habis oleh money making (kerja) plus minus waktu yang terbuang sebagai commuter. Bayangkan kerja 8 jam sehari ditambah 4 jam habis di jalan (naik bus) untuk back and forth. Pergi pagi jam 7 – kalo winter kadang2 sebelum matahari muncul – dan pulang jam 6 – juga kadang2 setelah matahari terbenam. Hanya saat summer rutinitas ini terasa sedikit berubah.

Yang kedua, waktu untuk kelurga. Mon to Fri sepulang kerja adalah waktu yang ‘harus digunakan’ bersama keluarga. Terutamanya, dinner, nonton TV bareng, bermain2 bersama si Akis. Setelah jam 9 malam dan si Akis tidur, barulah sedikit ada waktu mengobrol dengan isteri tentang news hari itu. Menginjak jam 10 malam, rasa kantuk dan capek mulai pile up dan bedtime memanggil. Hanya weekends, yang ‘benar2 ada sedikit waktu luang’. Sedikit luang, karena itu pun harus dipakai untuk kegiatan bersama keluarga lagi. Terutama shopping dan hiburan. Kadang2 kami juga meluang waktu untuk bermain2 di Villa Park atau berenang di small pool.

Tinggal di Aston

Aston Hall

Kami tinggal di daerah yang bernama Aston. Nama ini saat terkenal di Inggris. Bukan saja karena rocker Black Sabbath Ozzy Osbourne pernah lahir dan grew up disana, atau menjadi home bagi stadion megah dan terbesar Aston Villa Park di Inggris Tengah. Tapi juga infamous karena daerah ini memiliki stereotype sebagai daerah yang kumuh dan penuh kejahatan. Mungkin persepsi kita akan sama kalau mendengar kata Brooklyn di Amerika. Terbayang daerah yang penuh dengan gangsters, drug dealers dan dar der dor dsb.

Sebenarnya stereotype ini tidak sepenuhnya betul. Memang, dulu waktu saya pertama2 datang, saya sempat berpandangan yang sama. Alasannya karena di daerah yang di dominasi oleh penduduk dari Asia Selatan ini terlihat lebih kotor di bandingkan dengan daerah yang kebanyakan di huni oleh orang2 'White'. Selama tinggal disini juga, rumah saya pernah sekali kemasukan maling, saat isteri dan anak saya sedang berada di kamar atas, dan terjadi 3 kali perampokan yang jelas2 korbannya adalah orang Indonesia yang tinggal di Aston.

Seorang kawan yang memiliki mobil dan by the law harus mendaftarkan insurance terpaksa tidak jadi mendaftarkan karena berdomisinya di Aston. Ini karena insurance fee untuk orang yang tinggal di Aston ini termahal di Birmingham, dan saat itu Birmingham (th 2000) yang termahal di UK. Sehingga kalau dikalkulasi, berarti daerah Aston yang dikagorikan ‘paling tidak aman’di UK.

Pandangan stereotype saya tentang Aston ini pelan2 mulai berubah sejak beberapa tahun yang lalu. Ini dikarenakan ada perubahan yang terjadi. Ternyata sebelum tahun 2001, counsellor atau anggota DPRD di daerah Aston diwakili oleh partai Labour. Tetapi sejak partai Liberal Demokrat menang di daerah ini, terlihat perubahan yang banyak. Kemenangan partai baru membawa angin segar bagi Aston.

Uang mulai mengalir di daerah ini, yang salah satunya di pakai memperbanyak polisi patroli dan perbaikan fasilitas jalan dan umum. Pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan masyarakat di buka. Anak2 muda dan wanita yang biasanya menganggur didekati, di beri pendidikan dan pelatihan gratis. Diberi kemudahan dan insentif untuk berusaha kepada mereka yang mau berwirausaha. Hasilnya memang cukup mencengangkan, dalam 5 tahun, Aston benar2 telah berbenah. Jalan2 mulai sering disapu hingga bersih, mobil2 yang diparkir tidak teratur mulai ditertibkan, polisisi masyarakat berpatroli sepanjang waktu, para penjual drug mulai menyingkir, hingga total result: kejahatan menurun drastis.

No comments: