Total Pageviews

Friday, September 26, 2008

Pengalaman di kelas inklusif bersama guru

Kemarin saya diminta untuk membantu Rachel – guru Chemistry - di kelas Year 12-nya. Dari seorang guru Biologi sebelumnya saya mendengar bahwa kelas tersebut dikategorikan ‘sulit untuk diajar’. Saya pikir ini mungkin karena kelas ini memiliki beberapa anak- anak yang memiliki specific learning difficulties. Maka pagi2 10 menit sebelum kelas mulai, saya bersiap-siap dan datang ke kelas tersebut. Saya sibuk menebak-nebak kira-kira apa yang bisa saya lakukan dikelas tersebut. Saya sudah mengenal Rachel sebelumnya. Dia guru Chemistry yang cukup berpengalaman, baik dan ramah, bertutur kata yang runut, lembut dan jelas. Juga punya empathy yang tinggi dengan siswa2nya. Kalau dia sampai meminta bantuan di kelas, saya pikir pasti ada sesuatu yang tidak biasa dengan kelasnya.

Tepat jam 8.30am saya sudah dikelas, tapi baru ada 4 orang yang hadir. Sambil menunggu Rachel tiba saya berbincang2 dengan siswa yang ada, sambil berkenalan. Sampai 10 menit lewat, jumlah siswa hanya bertambah dua. Saya pikir ‘dimana siswa2 yang lain, ini telat sekali’. Tapi Rachel pun tampak sudah memperkirakannya dan masih belum mau bersiap membuka kelas, dia seperti masih mempersiapkan sesuatu. Setelah 15 menit berlalu, Rachel baru bicara dan meminta anak2 untuk pindah ke IT room – yaitu ruangan computer dimana para siswa biasanya membuat laporan. Dia meninggalkan pesan di pintu kelas untuk siswa2 lainnya yang belum hadir.

Sambil jalan saya bertanya dengan Rachel ada apa dengan kelasnya? Rachel bilang dia strunggle berat dengan kelas ini, karena ternyata ada 4 orang siswa yang memiliki specific learning difficulties. Tapi masalahnya bukan terletak pada keempat siswa itu saja, itu masalah attitude keseluruhan siswa di kelas. Saya cuma bisa menduga2 apa yang dimaksud Rachel. Diantara siswa yang perlu extra perhatian, ada dua laki-laki, yang pertama black dan dyslexic yang juga punya masalah dengan managing/ meeting work deadline – suka terlambat gemar membuat alasan yang dibuat2. Dia juga remaja yang moody dan suka ngambek kalau diledekin kawan2nya. Yang kedua, keturunan Asia selatan yang sering sakit alias tidak hadir – kebetulan dia tidak hadir karena sedang dirawat di rumah sakit karena keluhan chest pains. Satu siswa perempuan, white, memiliki mild asperger dan suka galak dengan siapa saja – terutama kalau merasa diperlakukan tidak adil. Yang terakhir, Asian juga, assessment menyeluruh tentang kondisinya belum komprehensif/ selesai – tapi diperkirakan memiliki kesulitan dalam hal ingatan dan comprehension terutama menerima intruksi di kelas. Pikir saya, wow, ini setengah siswa di kelas punya masalah semua, tak heran kalau gurunya kelihatan distressed sendiri.

Sepuluh menit di ruangan IT, suasana masih riuh dan anak2 belum settle. Rachel benar-benar strunggle membuat anak2 itu duduk dan konsentrasi dengan apa yang akan disampaikannya. Saya berinisiatif berkeliling kelas, menyapa siswa satu-satu, kemudian meminta mereka settle karena kita akan mulai pelajaran. Lumayan efektif tampaknya, kebanyakan anak2 mulai settle meskipun masih ada yang fiddling stuffs around the table (main-main macam2 dimeja), tapi paling tidak mereka duduk di kursi masing2. Mungkin karena baru ketemu saya hari ini, jadi mungkin mereka masih segan. Tetapi ada 2 orang anak perempuan yang duduk dipojok yang terus-terusan bicara dalam logat Brumies - dialek lokal - (dengan suara yang keras) satu sama lain seakan tidak ada orang lain di kelas.

Setelah berkali berbicara setengah berteriak akhirnya siswa disuruh log on computer masing2 dan Rachel minta anak2 menggunakan kesempatan ini untuk menyelesaikan writing up praktek Chromatography mereka minggu lalu. Dia akan come around mengecek laporan siswa satu demi satu.

Rachel kemudian meminta saya meng-handle satu sisi kelas dan dia yang lainnya. Sisi bagian saya termasuk 2 orang anak perempuan yang gaduh itu. Saya diberitahu Rachel bahwa salah satu dari 2 orang anak ini ialah yang memiliki masalah comprehension tadi. Memang sekilas saya lihat attitude kedua anak ini memang sangat kontras dengan kawan2 lainnya di kelas. Selain berbicara sengan suara cukup keras, mereka juga suka memotong kata2 gurunya dan menambahi komentar seenaknya, tapi terlihat seperti tidak punya rasa bersalah begitu. Akhirnya terpaksa karena si guru sering dipotong dan suara pun semakin meninggi. Poor (kasihan) Rachel, meskipun kerap dicuekin disini para guru tidak bisa seenaknya marah2 dan bertingkah laku yang menakut2i (bully) siswa, karena undang2nya sangat keras melindungi siswa. Paling berani, guru hanya mengingatkan siswa berkali2, tidak boleh mencubit apalagi lebih dari itu. Malah ada cerita siswa bisa komplain kalau si guru sedikit saja menyentuh kulit siswa-nya (apalagi lebih dari itu). Tak heran kalau Inggris masih kekurangan guru, yang kekurangannya diisi oleh guru2 imigran, karena guru yang stress oleh bad attitude siswa dikelas/sekolah lebih memilih ganti profesi daripada jadi sakit mental dan sakit/makan hati.

Akhirnya saya mendekati dua anak tersebut, memperkenalkan diri dan bertanya-tanya tentang mereka dengan sopan. Alih2 mendapat respek, mereka justru banyak melontarkan pertanyaan kepada saya dengan penuh selidik dan melempar komentar2 lucu, aneh dan cekikikan berdua. Dengan sabar saya jelaskan bahwa saya disini akan membantu mereka menulis laporan Chemistry, dan kalau mereka mau kerja dan berkonsentrasi penuh mereka akan mendapat nilai yang baik dan membawa mereka masuk ke universitas2 terbaik di UK. Saya sebutkan bahwa saya lulus dari Birmingham University dan uni ini adalah yang paling prestigious di West Midlands dan karena itu masuk kategori uni terkemuka di dunia. Saya sengaja dragging their attention supaya pelan2 bisa diarahkan ke task yang sebenarnya.

Strategi ini pelan2 mulai membuahkan hasil, mereka mulai tertarik mendengarkan saya dan sudah tidak berbicara terlalu keras hingga mengganggu yang siswa yang lain. Saya bilang saya seorang Moslem – karena saya lihat mereka Asian dan salah satunya memakai hijab – dan sedang berpuasa. Mereka senang mendengar ini dan bilang mereka juga puasa. Salah satu dari mereka menebak saya dari Indonesia. Benar kata saya, saya berasal dari the most populous Moslem country in the world. Di Indonesia sana, kata saya, banyak masjid. Hampir tiap 300 – 400 meter (saya menganalogikan jarak tersebut dengan jarak antar bus stop di Inggris), ada mesjid, jadi setiap masuk waktu Shalat terdengar adhan dimana2. Mata mereka terlihat kagum dengan cerita saya ini. Tapi toh tidak menyurutkan kebiasaan berkomentar dan cekikikan. Ya Man!, Ain't it?etc, ...begitu istilah2 yang mereka suka pakai.

Do you pray 5 times a day, sir? Make sure you do”, mereka tertawa cekikian lagi. Membuat saya manggut2. Saya pikir ini saatnya mengalihkan perhatian ke pelajaran. Akhirnya saya suruh mereka membuka catatan mereka tentang praktek minggu lalu, karena kita akan mulai writing up. Sambil saya ingatkan lagi apa yang mereka telah lakukan saat praktek Chormatography, saya pisahkan tempat duduk kedua anak ini agar mereka bisa berkonsentrasi secara indivual. Sambil membantu mereka membuat laporan, tak lupa saya puji kemauan mereka untuk bekerja keras mengerjakan tugas. Amazingly, kedua anak yang sebelumnya distraktif ini bisa duduk dan serius mengerjakan laporan praktek tersebut. Malah mereka sendiri bilang mereka ingin terus begini agar memperoleh nilai yang bagus.


Tak terasa waktu pelajaran usai, dan akhir pelajaran Rachel mengakui ini yang pertama kali dia merasakan benar-benar mendapat kelas yang terkontrol sejak menangani kelas tersebut.
Kasus kelas Rachel adalah contoh yang sering terjadi dimana saja, dimana guru menghadapi multi kompleks (inclusive, multiple intelligent) masalah di dalam kelas yang membuat mereka strunggle to cope the situasion by themselves. Solusinya memang need other handy people (orang kedua) di kelas. Di Inggris, sejak awal abad 21 ini pemerintah ‘berekperimen’ dengan mengeluarkan undang2 (pendidikan) inklusif baru yang memberi guru ‘bantuan’ yang diperlukan dalam mengajar kelas inklusif seperti asisten guru, guru bantu (teaching assistant) dan atau istilah2 lainnya (learning support assistant, enabler, etc). Tentunya para orang kedua ini bukan yang berlatar belakang guru - tapi telah di training sedemikian rupa agar bisa membantu siswa di kelas.

Friday, September 19, 2008

Guru: The good, the bad and the ugly


Seperti judul sebuah film legendaris, setidaknya ada tiga jenis guru yang kita tahu.

Yang pertama tentu, the Good, guru yang bagus. Guru yang bagus ini adalah guru yang benar2 tulus dalam mendidik siswa/i-nya, semangat mengajar dengan penuh cinta dan dedikasi tinggi bak mendidik dan membimbing anak-anaknya sendiri.

Guru seperti ini - sangat langka secara kuantitas - dan sangat tepat apabila disebut pahlawan, karena kehadirannya kerap bisa merubah dan menentukan nasib seseorang di masa depan. Napoleon Bonaparte adalah seseorang yang sangat beruntung memiliki guru yang bagus ini, yang memberikan kekuatan dan kepercayaan pada karakter yang ada dalam dirinya, sehingga dipuncak karirnya ia masih sempat menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam saat bertemu dengan guru masa kecilnya.

Figur guru yang bagus ini biasanya melekat dihati dan pikiran kita, hingga menjadi dewasa dan beranak cucu, hingga tak heran banyak dari kita berharap anak-anak kita akan seberuntung kita yang memiliki guru yang bagus ini.

Jenis guru yang kedua, the Bad, guru yang jelek. Guru disebut jelek semacam ini biasanya dikarenakan memiliki perilaku yang gemar marah, memukul, suka menjelek2kan, mengolok2 atau menakut-nakuti siswa/i-nya, baik secara fisik maupun mental, sehingga yang ada adalah perasaan tidak nyaman, terpaksa dan ketakutan dalam kelas. Guru semacam ini selain tidak disukai juga bisa berakibat fatal bagi masa depan siswa. Ada anak yang sampai dewasanya tidak pernah punya rasa percaya diri, minder bahkan trauma akibat perlakuan dari orang yang seharusnya mendidik dan membimbing mereka dengan kasih sayang di masa lalu.

Scientist Albert Einstein pernah suatu ketika di'ramal'-kan oleh guru kelasnya sebagai orang yang tidak akan menjadi apa-apa saat dewasa nanti. Ternyata yang terjadi sebaliknya, si Einstein bahkan menjadi scientist terkenal yang masih terus dikagumi hingga detik ini. Tak heran sering orang berkilah, 'Aduh nyesel banget dulu aku dulu nggak suka sama pelajaran ini...., soalnya guruku dulu brengsek banget sih!'. Tetapi guru seperti ini masih bisa berubah menjadi lebih baik apabila mendapat bimbingan atau hukuman yang tepat. Karena tak jarang mereka ini juga menjadi korban kekerasaan saat mereka masih kecil atau masih jadi siswa, sehingga ada keinginan untuk balas dendam.

Tipe ketiga ini yang paling berat, the Ugly, guru jahat. Nah ini guru yang bermanis muka didepan, tapi jahat abis belakangannya. Termasuk dalam kategori semacam ini adalah guru yang cabul atau Phidophile - monster pemangsa anak-anak. Ini guru bejat yang berpura-pura baik di depan siswa, tapi sebenarnya mengincar untuk dijadikan korbannya. Guru tipe ini sulit diprediksi dari penampilan luarnya, karena biasanya berperilaku sopan, alim, father/mother figure, padahal serigala berbulu domba. Misalnya saja ada guru yang memperkosa 39 anak muridnya (di China dan dihukum mati) dan kasus2 lainnya seperti ini:
http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/16/14361132/pak.guru.perkosa.murid.di.kompleks.sekolah
http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/10/03310597/guru.ngaji.sodomi.26.murid.tk
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/25/time/144727/idnews/547334/idkanal/10

Termasuk kategori ini mungkin guru yang memperjualbelikan nilai dengan siswa, guru korupsi, guru pengemis - minta2 sumbangan untuk kepentingan sendiri, dan masih banyak lagi. Guru semacam ini sudah diberantas kecuali diberlakukan hukum yang setimpal bagi pelakunya. Untuk itu perlu diberikan screening yang se-ketat2-nya bagi calon guru, seperti bersih catatan kriminal, dsb. Serta perlu ada pengawasan ketat dari sesama korps guru dan masyarakat yang mengetahui perilaku menyimpang atau tak semestinya dari para guru dimana saja.

Mungkin pembaca ingin menambahkan kategori yang lain, silahkan...

Aplikasi bagus buat guru, siswa, mahasiswa Kimia



Hari ini di kelas Year 13, saya mendampingi anak2 belajar satu applikasi yang diperuntukan untuk mendukung write up Chemistry course work. Aplikasi tersebut bernama ACD ChemSketch (ACD = advanced Chemistry development) - suatu aplikasi yang sangat bagus sekali untuk belajar dan mengajar Chemistry terutama untuk tingkat advanced - seperti untuk sekolah menengah/ kejuruan atau perguruan tinggi.



Computer generated program ini sangat membantu guru dan siswa tidak hanya dalam seperti memvisualkan ikatan antar molekul (bonding) elements - bentuk 2D dan 3D, tapi juga bisa menghitung massa/ weight dan bahkan memberi nama polimers atau product baru tersebut. Juga sangat membantu para guru/ siswa ingin memperoleh gambar atau diagram apparatus yang mereka gunakan saat melaksanakan beberapa experiment dasar seperi distillation, dll.

Juga bisa memperoleh label dan hazard banyak zat-zat kimia yang sangat membantu sekali dalam membuat laporan praktek atau untuk membuat soal-soal latihan kimia.

Sebelum mencoba program ini, terbayang ngelimet dan mumetnya kalau mau membuat laporan kimia yang memerlukan diagram dan gambar molekul, bonding dan polimer. Ternyata setelah 5 - 10 menit mencoba, program ini sangat mudah untuk dioperasikan dan anak2 senang bermain-main mencobanya - karena banyak features yang memberi gambar, graphics dan animasi yang disukai oleh siapa saja.

Yang bagusnya lagi, aplikasi program ini gratis dan bisa di download di internet. Jadi kabar bagus dan sangat berguna sekali buat para guru, siswa dan mahasiswa (Chemists) . Selamat mencoba..

Berikut website untuk mendowload free version-nya:
http://www.acdlabs.com/download/chemsk.html

Monday, September 15, 2008

Profesi Guru Naik Daun…..


Beberapa tahun yang lalu, ketika Orde baru masih berkuasa, di masyarakat berkembang kesan yang sangat kuat kalau guru adalah profesi bagi mereka yang susah hidup, tidak 'menjanjikan' dll sbg, dan karenanya menjadi kurang diminati oleh para pemuda/i. Banyak yang memandang sebelah mata, apalagi pada saat Orde Baru masih dipuncak kesuksesannya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang stabil, sehingga kita di kenal salah satu Asian Tigers.

Tak heran saat itu, anak-anak yang 'pintar' banyak yang menghindari jurusan yang mengarah ke profesi guru, demikian juga di perguruan tingginya. Salah satu jurusan yang saat itu dianggap 'keren' atau menjanjikan ialah jurusan Perbankan terutama bagi yang bercita-cita berkerja di Bank dan mau banyak uang. Maka jadilah jurusan pendidikan di fakultas pendidikan diisi oleh mereka-mereka yang dikategorikan ‘gagal’ di jurusan lain atau mereka yang bercita-cita tidak lebih tinggi dibandingkan hanya menjadi Pak dan Bu guru di sekolah.

Trend seperti ituberlangsung hingga 1997/8, sebelum terjadinya krisis keuangan Asia (credit crunch) yang memaksa Indonesia terjerembab ke resesi ekonomi yang sangat parah, dengan inflasi mencapai ratusan persen dan banyak perusahaan yang tutup. Maka economy buble yang dibanggakan (booming) pun pecah (burst) yang memaksa pemerintah turun tangan menalangi para debtors dan akhirnya menutup bank-bank yang krisis likuiditas keuangannya.


Ditengah situasi ekonomi sulit dan pengangguran yang meningkat tajam, ternyata angin segar bertiup ke arah lain. Satu-satunya profesi yang tahan di terpa krisis adalah profesi di pendidikan dan kesehatan. Para guru yang sebelumnya terpinggirkan mulai memetik hasilnya. Pemerintah Habibie menaikan gaji dan tunjungan mereka jauh dibandingkan sebelum Orde Baru berkuasa. Zaman reformasi mencatat setiap tahun gaji dan remuneration para guru dan dosen di tingkatkan paling sedikit 15 % untuk mengimbangi tingginya inflasi.

Beralihnya perhatian ke sektor pendidikan ini menjadi bukti nyata adanya shift policy atau U-turn dikalangan pembuat kebijakan yang dulunya 'hidup di menara gading'. Reformasi di bidang pendidikan dijadikan salah jalan keluar bagi banyak bangsa-bangsa yang jatuh untuk kembali bangkit dari krisis – terutama dibidang ekonomi - seperti ditunjukan oleh bangsa-bangsa yang dulunya hancur akibat perang dunia (PD), seperti Jepang dan Jerman.



Di masa krisis moneter dan ledakan pengangguran tersebut, kita justru melihat banyak tenaga kerja yang di-PHK (sacked) terutama yang sarjana 'hijrah', beralih profesi menjadi guru bantu atau guru kontrak disekolah-sekolah. Kebutuhan akan guru yang sebelumnya tidak pernah terpenuhi berbalik menjadi rebutan bagi mereka yang dulunya memandang sebelah mata. Formasi pengangkatan guru/ PNS diperebutkan banyak pelamar, termasuk guru kontrak sekalipun. Profesi guru dipandang penyelamat ekonomi bagi banyak orang, banyak universitas yang menutup banyak program studinya karena tidak ada peminat/mahasiswanya.



Naik daunnya profesi guru, sudah jelas membuat orang tidak malu2 lagi mengaku ingin menjadi guru. Meskipun demikian harapan bahwa guru menjadi profesi professional masih jauh dari harapan. Setelah pemerintah 'berencana' menjalankan amandemen baru UUD 45 dan UU Sisdiknas, yang mewajibkannya pemerintah pusat dan daerah untuk menyisihkan 20 % anggaran untuk pendidikan - diluar gaji pegawai - pada tahun 2009 nanti, mereka yang berseragam guru semakin percaya diri. Namun dibalik kabar baik itu, tersembunyi banyak tantangan yang sangat berat. Bukankah semakin tinggi pohon semakin kencang tiupan angin menimpanya?



Naik-daun-nya profesi guru menyimpan bom waktu (time bomb) yang jika tidak diantisipasi oleh para guru maka akan menjadi bumerang dan pada gilirannya akan menjadi anti klimaks yang menghantarkan profesi itu kembali ke zaman sebelumnya. Para guru bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa di masa lalu, karena jasanya sudah mulai dihargai dan dibayar tinggi oleh negara dan masyarakat. Jika para guru tidak berusaha mencapai profesi yang professional, berprestasi dan mampu mengimbangi tuntutan masyarakat yang semakin kritis dan perkembangan zaman yang pesat, maka dua hal yang terakhir ini akan menelannya. Naiknya gaji harus diimbangi dengan semakin berkualitasnya produk akhir (end product). Para guru harus siap bekerja lebih keras agar mereka menghasilkan generasi yang lebih baik dari generasi mereka sendiri.



Masa bulan madu biasanya pendek, setelah tahun 2009 - mungkin tahun keemasan para guru, sudah menanti masa-masa berat. Ekonomi rakyat kita yang belum pulih paska krisis Asia akan semakin bertambah dengan ekonomi dunia yang mengarah pada resesi yang paling parah sejak 1930an. Disitu menunggu pekerjaan maha berat, mampukah para guru menuntun bangsa kita melewati masa-masa sulit itu dengan baik?



Time will tell....

Guru Baru vs Guru Lama


Apa perbedaan antara guru baru dan yang berpengalaman dalam membawa mata pelajaran pada awal pertemuan? Ternyata dari hasil pengamatan saya bertahun-tahun diperoleh hasil berikut:

Pertama pada pertemuan awal dengan para murid guru baru biasanya menghabiskan waktu lebih lama (biasanya 10 – 15 menit pertama-nya) berusaha memperkenalkan dirinya kepada murid – baik itu berbicara tentang asal usulnya atau hal lainnya. Guru lama (begitu disebut agar lebih simple) cenderung lebih sedikit berbicara tentang dirinya. Tetapi guru lama cenderung lebih banyak bicara tentang apa yang akan murid lakukan (expect to find out) dalam pelajarannya. Guru baru melakukan ini karena mereka merasa perlu mendapat respect dari para murid yang baru mereka hadapi ini. Sedang para guru lama (biasanya) merasa sudah mendapat recognition atau sudah percaya diri (PD), maka mereka ingin para murid lebih tertarik pada mata pelajaran daripada berbicara tentang dirinya.

Yang kedua, guru baru biasanya tidak bisa menyelesaikan lesson-nya sesuai timing-nya, atau kalau pun selesai tapi biasanya buru-buru karena dikejar waktu (misalnya memberi kesimpulan secara langsung daripada men-summarise kesimpulan2 yang dibuat oleh murid). Sementara guru lama sangat ketat(rigid ) dengan waktu; mereka mempersiapkan diri lebih baik, bahkan kadang menyetel alarm bagi diri sendiri (5 – 10 mins) agar punya kesempatan menutup pelajaran dengan men-sintesa kesimpulan murid terlebih dahulu kemudian memberi kesimpulan umum.

Ketiga, para guru baru biasanya struggle to control class; misalnya membiarkan siswa ramai bicara sendiri atau para murid bekerja sendiri tanpa di-supervisi. Ini bisa disebabkan karena mereka masih memikirkan dan mengira2 hasil akhir dari suatu kegiatan (diskusi atau praktek) sambil mengajar. Sementara guru lama biasanya sudah punya bayangan dari apa yang telah mereka lakukan sebelumnya, mereka bisa lebih menyetir suasana kelas.

Kebiasaan murid-murid baru adalah mereka menghabiskan banyak waktu untuk saling memperhatikan (pakaian, accessories, gadgets, etc) atau menarik perhatian kawan-kawannya. Sebagian lagi lebih kepada mengagumi (atau sebaliknya), daydream fisik ruangan dan fasilitas yang ada di dalam kelas, dll; sehingga konsentrasi mereka pada guru dan pelajaran biasanya sangat mudah terganggu.

Guru baru sering tidak mengantisipasi hal ini dan membiarkan, sehingga mereka nantinya harus bekerja lebih keras untuk membuat murid focus ke pelajaran kembali. Sementara guru lama yang sudah mengantisipasi ini akan terus menerus mengingatkan dan berusaha dragging student’s attention dari hal-hal seperti ini agar suasana kelas tetap terkontrol. Dengan melakukan hal ini, biasanya guru lama yang menegur satu-satu atau sekelompok siswa secara langsung, biasanya berhasil mempertahankan respects dari muridnya, dan tentu kontrol kelas. Sementara guru baru yang cenderung membiarkan (karena biasanya berusaha to win students’ hearts and minds) hasil sebaliknya yang didapatkan, yaitu murid menjadi kurang respect (menghargai). Mereka kadang-kadang harus berbicara dengan nada tinggi untuk mengontrol kelas yang mulai tak terkendali.

Meskipun guru lama cenderung lebih bisa (relatif) lebih mengontrol kelas dengan cara yang sedikit autocratic, sering mereka kurang memahami kebutuhan murid (seperti daya tangkap dalam pelajaran yang tidak merata) – karena lebih mementingkan kontrol kelas. Tidak heran kadang-kadang murid yang duduk dibelakang, atau dipojok, atau yang malu bertanya sering terlewatkan oleh perhatian guru. Untuk itu perlu dibuat keseimbangan antara mengontrol kelas lebih efektif misalnya dengan berkeliling kelas dan langsung mengecek, tanya jawab daya tangkap siswa secara lisan atau tulisan (jika memungkinkan).
Kecenderungan prilaku guru baru dikelas diatas perlu dipelajari oleh mereka yang baru pertama kalinya mengajar - seperti mahasiswa calon guru - agar masalah-masalah yang mungkin terjadi pada permulaan mengajar dan pertemuan-pertemuan seterusnya bisa diantisipasi dengan baik.

Monday, September 08, 2008

Diary - Monday 8 September 2008

Hari ini anak2 Year 12 mengahadiri acara Principalship Talk. Disini the Principal dan dua orang deputy-nya, Curriculum dan Resources beserta Head & Deputy of Faculty tertentu memberikan sedikit gambaran tentang college dan prestasi2nya. Ini adalah kelima kalinya saya ikut hadir diacara tahunan menyambut siswa baru ini, dan hampir tidak ada format baru atau sesuatu yang berubah dari acara ini.

Dimulai oleh Principal yang menyampaikan statistics apa saja prestasi college misalnya dari hasil ujian nasional 98% siswa tahun lalu berhasil menuntaskan sekolah (naik dari 97% tahun sebelumnya dan diatas rata2 rate nasional). Dan 100% lulus pada 33 mata pelajaran (naik dari 28 sebelumnya). Ada 111 siswa dari 1500 siswa tahun akhir yang memperoleh nilai A antara 3 - 4 mata pelajaran. 850 siswa berhasil mendapat tempat di university setelah melalui seleksi ketat, panjang dan cukup melelahkan tentu.

Kemudian giliran deputy bag. kurikulum yang mempresentasikan beberapa profil siswa tahun lalu yang berhasil. Misalnya siswa2yang mendapat nilai A disemua mata pelajarannya (A level, beberapa diantaranya menyabet top 5 atau top 10 of the country) dan tembus kuliah di Cambridge, Oxford dan uni2 besar lainnya. Tahun ini profil2 yang ditampilkan adalah 3 orang white (kuliah di Cambridge, Oxford & Manchester) dan 3 orang Asian (kuliah di Aston University). Sayangnya profil dari Blacks dan ethnics lainnya tidak muncul, atau mungkin memang tidak ditemukan yang memenuhi criteria ‘berhasil’ ini. Tentu saja details lebih lengkap prestasi ini juga bisa diakses oleh public di website sekolah.

http://www.solihullsfc.ac.uk/news/latest/seeing-double-%11-twin-exam-success/
http://www.solihullsfc.ac.uk/news/latest/oxbridge-success/
http://www.solihullsfc.ac.uk/news/latest/top-marks-at-advanced-level/

Yang menarik adalah paparan dari head of faculty yang menyampaikan 'Recipe for success' yang menurutnya disusun berdasarkan pengalaman puluhan tahun menjadi staff pengajar di college. Isinya norma2 umum, apa yang harus dilakukan siswa jika ingin sukses, seperti belajar sungguh2 sesuai kemampuan, atur waktu sebaik2nya, dengar arahan dan saran dari guru dan staff pembimbing, selalu kontak bila mengalami kesulitan belajar atau tidak hadir, hadir dan datang tepat waktu (punctual) agar success dalam belajar, tidak bekerja part time lebih dari 9 jam per minggu, dll. Tentu saja resep ini dibuat dari point of view-nya college, yang tentu sangat subjektif sekali. Namun saran sederhana ini terbukti mampu membuat siswa memperoleh hasil yang lebih baik setiap tahunnya.

Kemudian di tutup dengan menonton video clip tentang student council (kira2 samalah dengan OSIS = organisasi siswa intra sekolah), dimana tentu menghimbau anak2 untuk turut serta aktif didalam council sebagai representasi siswa dalam struktur sekolah. Yang menarik yang menjadi ketua tahun ini adalah siswa yang cacat - artinya tidak ada hambatan bagi mereka2 yang ada hambatan secara fisik, selama ada kemauan.

Friday, September 05, 2008

Friday 5 September 2008

Friday 5 September 2008

Hari ini pelaksanaan induction untuk kelas 12 di mulai. Sejak pagi para guru dan kepsek sibuk menyambut para siswa baru dan lama di dekat ruang tamu (reception) dan membantu memberikan informasi dimana para tutor mereka berada. Dikelas para tutor (guru wali) yang bertanggung jawab selama mereka belajar (2 th) sudah menunggu. Pertemuan dimulai dengan perkenalan singkat, dilanjutkan penjelasan tentang program studi mereka (termasuk nama staff & ruangan2 yang penting untuk diketahui). Kemudian anak2 diajak tour keliling sekolah untuk mengenali dimana mereka akan belajar, dengan siapa saja mereka berhubungan, dan jika mendapat kesulitan kemana mereka harus pergi. Yang terpenting adalah mereka tahu dimana ruang ketua program, r.guru, r.konseling dan karir, dan learning support dept. Tak lupa diperkenalkan fasilitas sekolah: perpus, kantin, sport facilities dan ruang kerja/ computer. Setelah istirahat beberapa menit, tutor kembali menjelaskan tentang misi sekolah, peraturan umum sekolah dan access fasilitas sekolah dll, dengan memancing diskusi antar mereka daripada sekadar 'pemberitahuan' atau membaca pengumumam2.

Di salah satu kelas saya bertemu dengan beberapa siswa dengan learning difficulties. Salah satunya Mas AB, yang mengalami dispraxia dan asperger. Pria jangkung yang cukup asyik untuk ngobrol ini mengambil program Double Award Applied science dan AS Ancient History. Didalam kelas dia perlu support dikarenakan: slow writing, perlu notetaker yang membantu membuatkan catatan dan identifying main points. Dia juga perlu support of enabler in lessons and 1:1 support for 1 hour per week yang membantu organisasi belajarnya seperti keeping an organised folder, filing & dating work, using a diary and remembering deadlines.

Satu hal yang jelas bagi anak dengan dyspraxia seperti AB adalah poor handwriting-nya, selain sulit terbaca juga lamban. AB terlihat kurang suka membuat catatan selama induksi berlangsung. Saya belum tahu dengan AB, tapi tahun lalu saya bertemu dengan siswa dengan dislexia dan dispaxia yang sulit menulis kalau menggunakan pen dan kertas, tapi kalo sudah di depan komputer dan memegang keyboard dengan brilliant bisa membuat karya tulis/ coursework yang selalu bernilai merit atau distinction. Jauh lebih bagus dari anak2 yang dikategorikan 'normal'.

Menurut informasi yang saya temukan di internet: para penderita dispraxia sejak kecil memiliki kesulitan seperti memakai baju sendiri, mengikat tali sepatu, naik sepeda, sulit menggunakan pena dan suka makan/ minum berhambur2an karena kesulitan mengontrol kemampuan motoric dan kordinasi-nya. Penyebab dispraxia sendiri berbagai ragam salah satunya perkembangan sel2 otak yang kurang sempurna pada saat balita atau karena kekurangan oksigen sangat dilahirkan.

Yang membuat suprised untuk tahun ini adalah ratusan siswa yang berlatar belakang disabled dan atau with learning disabilities (naik dari sekitar 90an tahun lalu). Salah seorang guru yang khusus mensupport anak2 ini mengatakan untuk kelas 12 ini saja (yang baru) dia mendapat 6 orang anak, belum lagi yang dari kelas 13 katanya (baru mulai Rabu minggu depan). Dibandingkan 20 tahun yang lalu college ini menjadi more diversity dari sebelumnya yang hanya didominasi white & middle class. Dari seluruh 2500 siswanya, 40% dari ethnic minorities, ada 30 macam bahasa spoken, dan ratusan anak2 berlatar belakang cacat/ with specific learning difficulties.

Beberapa diantaranya adalah allergies, anaphylaxis, asthma, chronic fatigue syndrome atau ME, diabetes, epilepsy, haemophilia, dan masih banyak lagi yang sedih rasanya kalau dituliskan.

Membaca data anak2 cacat yang beraneka ragam itu - sangatlah membukakan hati saya, karena betapa banyak anak2 yang terlihat sehat dan bugar itu ternyata banyak yang memiliki kondisi fisik, mental dan emosional-nya bagi orang awam: tidak normal. Tetapi ternyata mereka adalah bagian dari society/ masyarakat yang secara aktif berinteraksi satu sama lain menjadi suatu bangsa.

Jadi sebenarnya program inklusif dalam pendidikan itu sebenarnya sangatlah baik, baik berupa pembelajaran bagi semua (dalam hal demokrasi, HAM, teloransi, kerjasama, gotong royong, dll) termasuk untuk mempersiapan anak2 untuk hidup, berkembang dan berinteraksi didalam masyarakatyang sebenarnya. Dengan begitu gesekan2 didalam society karena adanya perlakuan rasisme, diskriminasi, anti emansipasi, intolerance, perlakuan bersifat/dasar SARA dan perbedaan social class - yang merupakan penyakit masyarakat - bisa diminimalisir sedemikian rupa.

Notes: Setuju pendidikan inklusif diterapkan di setiap sekolah.

Wednesday/Thusday, 3/4 September 2008

Wednesday/Thusday, 3/4 September 2008

Kesibukan para guru dan staff hari ini kurang lebih sama dengan kemarin, hanya saja siswa pendaftar ulang/ baru sudah berkurang sehingga sudah ada persiapan untuk mempersiapkan penjadwalan dan pembagian kelas. Meskipun ini sifatnya masih sementara, karena 2 minggu setelah sekolah kembali normal, para siswa masih diberikan kesempatan untuk mengubah mata pelajaran yang akan mereka ambil tahun ajaran ini, tentu saja setelah disetujui oleh pihak fakultas dan program studi.

Hari ini saya membaca beberapa karangan para siswa yang dianalis untuk keperluan mengidentifikasi tingkat kesulitan belajar siswa (ESOL, SLDD, SpLD, punctuation, spelling, expression, slow speed writing, etc). Ada beberapa konten yang sangat menarik dari tulisan anak2 ini, karena karangan spontan ini selain kadang2 menunjukan tingkat kepolosan dan kejujuran mereka selain tentu saja tingkat intelegensi mereka. Beberapa tulisan menggambarkan tentang latar belakang keluarga, asal muasal keluaga berasal (dari negara lain), ayah/ibu yang terpisah, jumlah saudara/i dan lingkungan dimana mereka tinggal (kurang aman/bersih/tidak sehat, tetangga yang individualis/ribut, dll).

Ada pula yang memilih juga yang menggambarkan tentang sekolah mereka; ada yang positif, ada tidak yang tidak. Misalnya karena punya pengalaman2 yang berhubungan dengan ketidakadilan yang dialami baik dari yang namanya kepsek, guru dan teman2 mereka. Kebanyakan dari yang negatif ini, menemukan jalan keluar dari kesulitan ini setelah menemukan sahabat/ teman dekat (peers). Ini menunjukan faktor peers sangatlah berpengaruh bagi siswa, selain tentu faktor dorongan/ perhatian orang tua, guru, lingkungan dan lainnya (kesulitan bahasa, belajar, dll).

Ada pula tulisan yang bernada liberal atau yang membawa miris, misalnya pengakuan anak 18 tahun yang memuja setan, menjadi anggota gereja setan dan hobby dan tingkat kreativitasnya di dedikasikan dengan menggambar tubuhnya (tidak jelas apakah yang dimaksud disini adalah tatoo)। (Hii jadi ngeri karena ada berita gimana anggota gereja setan membunuh dan memakan daging para korbannya di Russia)*. Ada juga tentu yang menulis tentang harapan mereka selama menempuh pendidikan di college baru.

Aktivitas mengarang bebas ini sebenarnya sangatlah membantu para guru dan tentu pemerhati anak/ siwa untuk map out kemampuan dan serta jalan pikiran siswa (thinking, reasoning development)। Selain mengamati dari perubahan perilaku (bicara, tindakan, ucapan, gaya berpakaian, life style, dll), banyak hal yang bisa dipelajari dan perlu diketahui untuk keperluan identifikasi masalah dalam belajar, dalam keluarga, dalam pergaulan serta tentu saja ‘to spot’ potensi masalah dalam perkembangan kejiwaan siswa। Jadi ingat beberapa waktu lalu ada seorang mahasiswa di AS yang membunuh kawan2 dan dosen tempat dia belajar dengan darah dingin। Belakangan terungkap, si psikopat ini sebenarnya sudah terdeteksi dari karya tulis dalam satu mata pelajaran yaitu English/ Drama-nya, dimana dia menulis tentang kekerasan dan pembunuhan. Sayang identifikasi awal dari salah seorang pengajar si
mahasiswa kurang mendapat respond dari pihak2 terkait, jika tidak kejadian tragis itu mungkin bisa dicegah...

* Baca: Pembantaian Geng Iblis
http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/16/11521045/ditikam.666.kali.dipanggang.lalu.dimakan

1 & 2 September 2008

Monday 1 September 2008
Awal ramadhan kali ini yang lebih panjang dari tahun2 sebelumnya. Imsyak jam 4.30 pagi dan buka jam 8 malam. Hari ini di college semua masih melayani pendaftaran siswa baru dan daftar ulang siswa lama. Sejak libur dari 20 Juli – mulai college mulai sibuk lagi sejak pertengahan Agustus. Semua staff terlihat hadir dan sibuk dengan kegiatannya masing2. Para guru mata pelajaran terlihat sibuk mempersiapkan bahan ajarnya masing2, termasuk membuat format absensi & penilaian, lesson plans, bahan pengayaan/ soal atau kuis, aktivitas di dalam dan diluar kelas, dll (dalam files dalam bermacam aplikasi seperti word, excel, power point, dll).

Mereka membuat riset yang sebagian dilakukan dengan mengakses internet (membuat text, gambar, aplikasi, audio & visual aids online) dan pengolahan bahan2 ajar lainnya diambil dari bahan2 yang telah ada didalam college setelah mereka beli hak pakainya. Semua dikerjakan oleh masing2 individu, sesuai tugas dan kewajibannya.

Mereka yang punya tugas tambahan (biasanya staff senior) ada mewawancari calon siswa, menanyakan persyaratan administrasi, mengumpulkan data siswa/ orang tua, (termasuk data kesehatan & disability), serta mengindetifikasi apa kebutuhan dan kelemahan calon siswa terutama mereka yang cacat fisik/emosional/mental dan memerlukan support tambahan.

Siswa juga diminta mengarang dalam waktu beberapa menit yang hasilnya di analisis untuk identifikasi kemampuan bahasa (Inggris) dan kesulitan2 lainnya (e.g. dyslexia, dispraxia, spelling, dll).

Staff administrasi dan staff lainnya juga sibuk, dari mengolah data, menerima dan mengantar keliling college orang tua/wali murid, hingga persiapan kelas dan sekolah. Kepala sekolah pun sibuk turun tangan menyambut siswa, orang tua dan membantu mengorganisasi di lapangan. Justru para wakil kepsek (kurikulum dan resources) yang justru terlihat sibuk hanya di ruangnya sendiri beserta staff. Meskipun sekolah belum mulai officially, kesibukan sangatlah terasa. Tak heran kalo para staff ini sangat menghargai waktu libur mereka – karena beban kerja sudah terukur dan terencana.

Meskipun demikian birokrasi college juga terlihat sangat kental, karena ada saja para staff yang kerjanya agak kurang kelihatan atau hanya menunggu (terutama admin), dikarenakan masalah birokrasi seperti menunggu perintah dan kurang adanya koordinasi/ sinergi antar departemen.

Tuesday 2 September 2008
Masih seperti kemarin, para guru tetap berkutat dengan tugas persiapan bahan mengajarnya. Saat ini belum semua daftar nama siswa yang masuk tersedia, sehingga persiapan masih seputar rencana2 yang akan dibuat, berapa kelas yang mereka punya, berapa siswa per kelasnya, berapa jam mengajar yang akan dimiliki (didalam koridor waktu kerja mereka dalam seminggu – 40 jam/ minggu atau 21 jam untuk yang part timer). Apabila mendadak ada guru yang sakit, pensiun atau pindah saat inilah terjadi perubahan2. Dari yang biasanya mengajar dan bekerja 20 jam/ minggu (part time) menjadi bisa full time dan sebaliknya. Tidak semua puas dengan keputusan akhirnya memang, dan para staff sadar akan hal ini tapi semua tentu berdasarkan kontrak kerja.

Akhir minggu ini rencananya para guru sudah menerima jadwal mengajar sementara. Para guru 'senior' terlihat sibuk mengecek, mengarahkan, membantu para guru baru (tidak harus lebih muda - karena mereka bisa lebih tua dari si 'senior' tapi baru disini) mempersiapkan bahan2 mengajarnya. Tak jarang bahan2 mengajar yang sudah dibuat si guru diutak atik lagi oleh si senior untuk memastikan tidak ada kesalahan atau kekurangan yang terlewatkan. Para guru2 ini biasanya bekerja di staff room yang dilengkapi computer dan akses internet yang terletak sangat sentral dalam college sehingga mudah diakses dari mana2.

Staff personalia sibuk mendata2 para staff baru yang masuk serta mempersiapkan kebutuhan2 mereka seperti lockers, tempat parker, access computer dll. Para staff baru semuanya (tanpa melihat posisi apakah admin, guru, teknisi, dll) mengikuti program induksi wajib bersama2. Para teknisi laboratorium, computer dan hard wares lainnya sibuk dengan persiapan dan pengecekan bahan2 yang akan dipakai. Staff lainnya memeriksa fungsi/memelihara alat2 dan fasilitas sekolah seperti lift, atap, bangunan dll agar benar2 aman saat digunakan.

Yang menarik ada beberapa staff pengajar yang mengungkapkan ketidakpuasan terhadap pemangku manajemen sekolah. Salah satunya adalah seorang guru Matematika dari Mesir yang kebetulan bergelar Master dan dipercaya menjadi koordinator pengajar matematika untuk level intermediate (sejajar kelas 1). Dia telah mengajukan keinginan untuk melanjutkan S3/ doctoral (melalui skema equal opportunities untuk para staff) dan sebelumnya pihak college sudah setuju untuk mendukungnya. Hanya saja setelah mendaftar ternyata oleh universitas diharuskan membayar sekitar £3500 per tahun (sama dengan tuition fee-nya home students). Ternyata terjadi dispute, karena pihak college tidak happy dengan fee sebesar itu (yang harus dibayar oleh college). Padahal si guru sudah mencari kesana kesini jurusan yang diinginkan dan begitu dapat; pihak university juga memberi kelonggaran untuk hanya hadir seminggu sekali tatap muka (artinya tidak terlalu banyak meninggalkan tugas di college).

Kasus kedua, seorang guru senior Biology yang bertanggungjawab terhadap beberapa guru muda dan juga wakil union para guru yang cukup disegani, juga menunjukan ketidakpuasan kepada pihak manajemen, karena merasa banyak permintaan/usulan para staff – yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar, bukan kesejahteraan - yang seharusnya dipenuhi oleh manajemen ternyata tidak diberi.

Penyebab dua kasus ini terjadi sebenarnya adalah masalah ‘kontrol dana’ atau pengeluaran yang sangat ketat oleh manajemen yang dirasakan ‘tidak adil’ atau kurang akurat atau tidak memihak para guru yang dirasakan oleh staff pengajar. Sebagian menyalahkan prioritas college yang dirasakan kurang pas oleh beberapa staff. Misalnya untuk memformulasikan misi (& visi) statement yang baru, pihak manajemen mengeluarkan uang ribuan £ untuk membayar seorang konsultan. Dimata para staff ini hanya buang2 uang karena untuk membuat 1 kalimat sebagai misi sekolah banyak dana yang keluar, sedang mereka tidak dilibatkan dalam formulasinya (konsultasi). Padahal mereka nanti yang harus mensosialisasikan hal ini kepada para siswa.

Sementara itu banyak permintaan dari staff misalnya dana tambahan untuk seperti men-hire staff pengganti bagi staff yang sakit (bisa dengan pengangkatan staff baru atau dari agensi) tidak diberi. Ini tentu saja akanmenjadi tugas dan beban bagi staff lama karena harus mengajar lebih banyak jam dengan gaji tetap dan waktu persiapan yang tentu lebih banyak dari sebelumnya (tambah stress & overloaded work). Ini adalah salah satu suara tuntutan ketidakpuasan staff yang sayangnya tidak terlalu bergema, dan mendapat dukungan dari staff lain (apatis). Ibaratnya banyak para staff yang tiarap atau hanya berani omong dibelakang doang karena banyak usulan2 dari bawah yang membentur dinding birokrasi tanpa kejelasan apa dan mengapa alasan keputusan2 tertentu diambil oleh pihak manajemen. Apakah ini dimungkinkan karena mereka takut tidak diperpanjang kontraknya atau hanya sikap apatis saja? Ini bisa saja bersinergi menjadi satu. Yang jelas terasa adanya resistansi meskipun cenderung masih dibawah permukaan saja.