Total Pageviews

Friday, September 26, 2008

Pengalaman di kelas inklusif bersama guru

Kemarin saya diminta untuk membantu Rachel – guru Chemistry - di kelas Year 12-nya. Dari seorang guru Biologi sebelumnya saya mendengar bahwa kelas tersebut dikategorikan ‘sulit untuk diajar’. Saya pikir ini mungkin karena kelas ini memiliki beberapa anak- anak yang memiliki specific learning difficulties. Maka pagi2 10 menit sebelum kelas mulai, saya bersiap-siap dan datang ke kelas tersebut. Saya sibuk menebak-nebak kira-kira apa yang bisa saya lakukan dikelas tersebut. Saya sudah mengenal Rachel sebelumnya. Dia guru Chemistry yang cukup berpengalaman, baik dan ramah, bertutur kata yang runut, lembut dan jelas. Juga punya empathy yang tinggi dengan siswa2nya. Kalau dia sampai meminta bantuan di kelas, saya pikir pasti ada sesuatu yang tidak biasa dengan kelasnya.

Tepat jam 8.30am saya sudah dikelas, tapi baru ada 4 orang yang hadir. Sambil menunggu Rachel tiba saya berbincang2 dengan siswa yang ada, sambil berkenalan. Sampai 10 menit lewat, jumlah siswa hanya bertambah dua. Saya pikir ‘dimana siswa2 yang lain, ini telat sekali’. Tapi Rachel pun tampak sudah memperkirakannya dan masih belum mau bersiap membuka kelas, dia seperti masih mempersiapkan sesuatu. Setelah 15 menit berlalu, Rachel baru bicara dan meminta anak2 untuk pindah ke IT room – yaitu ruangan computer dimana para siswa biasanya membuat laporan. Dia meninggalkan pesan di pintu kelas untuk siswa2 lainnya yang belum hadir.

Sambil jalan saya bertanya dengan Rachel ada apa dengan kelasnya? Rachel bilang dia strunggle berat dengan kelas ini, karena ternyata ada 4 orang siswa yang memiliki specific learning difficulties. Tapi masalahnya bukan terletak pada keempat siswa itu saja, itu masalah attitude keseluruhan siswa di kelas. Saya cuma bisa menduga2 apa yang dimaksud Rachel. Diantara siswa yang perlu extra perhatian, ada dua laki-laki, yang pertama black dan dyslexic yang juga punya masalah dengan managing/ meeting work deadline – suka terlambat gemar membuat alasan yang dibuat2. Dia juga remaja yang moody dan suka ngambek kalau diledekin kawan2nya. Yang kedua, keturunan Asia selatan yang sering sakit alias tidak hadir – kebetulan dia tidak hadir karena sedang dirawat di rumah sakit karena keluhan chest pains. Satu siswa perempuan, white, memiliki mild asperger dan suka galak dengan siapa saja – terutama kalau merasa diperlakukan tidak adil. Yang terakhir, Asian juga, assessment menyeluruh tentang kondisinya belum komprehensif/ selesai – tapi diperkirakan memiliki kesulitan dalam hal ingatan dan comprehension terutama menerima intruksi di kelas. Pikir saya, wow, ini setengah siswa di kelas punya masalah semua, tak heran kalau gurunya kelihatan distressed sendiri.

Sepuluh menit di ruangan IT, suasana masih riuh dan anak2 belum settle. Rachel benar-benar strunggle membuat anak2 itu duduk dan konsentrasi dengan apa yang akan disampaikannya. Saya berinisiatif berkeliling kelas, menyapa siswa satu-satu, kemudian meminta mereka settle karena kita akan mulai pelajaran. Lumayan efektif tampaknya, kebanyakan anak2 mulai settle meskipun masih ada yang fiddling stuffs around the table (main-main macam2 dimeja), tapi paling tidak mereka duduk di kursi masing2. Mungkin karena baru ketemu saya hari ini, jadi mungkin mereka masih segan. Tetapi ada 2 orang anak perempuan yang duduk dipojok yang terus-terusan bicara dalam logat Brumies - dialek lokal - (dengan suara yang keras) satu sama lain seakan tidak ada orang lain di kelas.

Setelah berkali berbicara setengah berteriak akhirnya siswa disuruh log on computer masing2 dan Rachel minta anak2 menggunakan kesempatan ini untuk menyelesaikan writing up praktek Chromatography mereka minggu lalu. Dia akan come around mengecek laporan siswa satu demi satu.

Rachel kemudian meminta saya meng-handle satu sisi kelas dan dia yang lainnya. Sisi bagian saya termasuk 2 orang anak perempuan yang gaduh itu. Saya diberitahu Rachel bahwa salah satu dari 2 orang anak ini ialah yang memiliki masalah comprehension tadi. Memang sekilas saya lihat attitude kedua anak ini memang sangat kontras dengan kawan2 lainnya di kelas. Selain berbicara sengan suara cukup keras, mereka juga suka memotong kata2 gurunya dan menambahi komentar seenaknya, tapi terlihat seperti tidak punya rasa bersalah begitu. Akhirnya terpaksa karena si guru sering dipotong dan suara pun semakin meninggi. Poor (kasihan) Rachel, meskipun kerap dicuekin disini para guru tidak bisa seenaknya marah2 dan bertingkah laku yang menakut2i (bully) siswa, karena undang2nya sangat keras melindungi siswa. Paling berani, guru hanya mengingatkan siswa berkali2, tidak boleh mencubit apalagi lebih dari itu. Malah ada cerita siswa bisa komplain kalau si guru sedikit saja menyentuh kulit siswa-nya (apalagi lebih dari itu). Tak heran kalau Inggris masih kekurangan guru, yang kekurangannya diisi oleh guru2 imigran, karena guru yang stress oleh bad attitude siswa dikelas/sekolah lebih memilih ganti profesi daripada jadi sakit mental dan sakit/makan hati.

Akhirnya saya mendekati dua anak tersebut, memperkenalkan diri dan bertanya-tanya tentang mereka dengan sopan. Alih2 mendapat respek, mereka justru banyak melontarkan pertanyaan kepada saya dengan penuh selidik dan melempar komentar2 lucu, aneh dan cekikikan berdua. Dengan sabar saya jelaskan bahwa saya disini akan membantu mereka menulis laporan Chemistry, dan kalau mereka mau kerja dan berkonsentrasi penuh mereka akan mendapat nilai yang baik dan membawa mereka masuk ke universitas2 terbaik di UK. Saya sebutkan bahwa saya lulus dari Birmingham University dan uni ini adalah yang paling prestigious di West Midlands dan karena itu masuk kategori uni terkemuka di dunia. Saya sengaja dragging their attention supaya pelan2 bisa diarahkan ke task yang sebenarnya.

Strategi ini pelan2 mulai membuahkan hasil, mereka mulai tertarik mendengarkan saya dan sudah tidak berbicara terlalu keras hingga mengganggu yang siswa yang lain. Saya bilang saya seorang Moslem – karena saya lihat mereka Asian dan salah satunya memakai hijab – dan sedang berpuasa. Mereka senang mendengar ini dan bilang mereka juga puasa. Salah satu dari mereka menebak saya dari Indonesia. Benar kata saya, saya berasal dari the most populous Moslem country in the world. Di Indonesia sana, kata saya, banyak masjid. Hampir tiap 300 – 400 meter (saya menganalogikan jarak tersebut dengan jarak antar bus stop di Inggris), ada mesjid, jadi setiap masuk waktu Shalat terdengar adhan dimana2. Mata mereka terlihat kagum dengan cerita saya ini. Tapi toh tidak menyurutkan kebiasaan berkomentar dan cekikikan. Ya Man!, Ain't it?etc, ...begitu istilah2 yang mereka suka pakai.

Do you pray 5 times a day, sir? Make sure you do”, mereka tertawa cekikian lagi. Membuat saya manggut2. Saya pikir ini saatnya mengalihkan perhatian ke pelajaran. Akhirnya saya suruh mereka membuka catatan mereka tentang praktek minggu lalu, karena kita akan mulai writing up. Sambil saya ingatkan lagi apa yang mereka telah lakukan saat praktek Chormatography, saya pisahkan tempat duduk kedua anak ini agar mereka bisa berkonsentrasi secara indivual. Sambil membantu mereka membuat laporan, tak lupa saya puji kemauan mereka untuk bekerja keras mengerjakan tugas. Amazingly, kedua anak yang sebelumnya distraktif ini bisa duduk dan serius mengerjakan laporan praktek tersebut. Malah mereka sendiri bilang mereka ingin terus begini agar memperoleh nilai yang bagus.


Tak terasa waktu pelajaran usai, dan akhir pelajaran Rachel mengakui ini yang pertama kali dia merasakan benar-benar mendapat kelas yang terkontrol sejak menangani kelas tersebut.
Kasus kelas Rachel adalah contoh yang sering terjadi dimana saja, dimana guru menghadapi multi kompleks (inclusive, multiple intelligent) masalah di dalam kelas yang membuat mereka strunggle to cope the situasion by themselves. Solusinya memang need other handy people (orang kedua) di kelas. Di Inggris, sejak awal abad 21 ini pemerintah ‘berekperimen’ dengan mengeluarkan undang2 (pendidikan) inklusif baru yang memberi guru ‘bantuan’ yang diperlukan dalam mengajar kelas inklusif seperti asisten guru, guru bantu (teaching assistant) dan atau istilah2 lainnya (learning support assistant, enabler, etc). Tentunya para orang kedua ini bukan yang berlatar belakang guru - tapi telah di training sedemikian rupa agar bisa membantu siswa di kelas.

No comments: