Total Pageviews

Tuesday, October 14, 2008

Membuat Kurikulum Kelas yang Modern - Creating modern class curriculum



Banyak siswa tampak kurang menikmati proses belajar mengajar disekolah, yang kalau di runut2 ke belakang dapat bersumber dari beban/ isi kurikulum dibuat dengan konsentrasi atau mengakomodir dari segi politis saja (bias politis) – dalam arti hanya mengejar target/ kemauan/ keinginan yang ditentukan oleh segelintir politisi atau pejabat tertentu saja (Ministry of National Education/ Depdiknas).

Sebenarnya adalah tugas seorang pendidik atau guru (educators) untuk membuat dan mengembangkan kurikulum nasional menjadi kurikulum kelas yang modern. Ini dapat dilakukan dengan mengakomodasi hal-hal sebagai berikut:
· Perubahan-perubahan social, ekonomi, kultural, politis yang sedang berkembang di tengah masyarakat terkini;
· Perubahan/ perkembangan teknologi dan komunikasi yang sangat pesat, yang tentunya memberi dampak baru pada lingkungan belajar (anak) dan bahkan dapat me-redefinisi istilah ‘belajar’ itu sendiri;
· Dimensi global yang mempengaruhi gerak hidup setiap kita, termasuk cara belajar dan bekerja; · Agenda-agenda kebijakan publik yang mendesak: tingkat korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, perubahan iklim dunia (climate change), pengelolaan lingkungan yang lebih baik, penghematan konsumsi energi dan investasi perolehan bahan bakar/ energi yang ramah lingkungan (environment friendly fuels), antisipasi krisis keuangan global (krisis moneter/ekonomi, resesi dunia), dll.

Nah dalam melakukan pengembangan ke arah kurikulum kelas yang modern tersebut, guru yang bijak juga harus memperhatikan segi pandang siswa, misalnya:

· Bagaimana (menurut cara pandang siswa) mereka harus belajar 40 jam pelajaran/minggu atau bahkan lebih (mungkin sangat berat buat anak belasan tahun yang masih dalam masa pertumbungan fisik, emosional, kematangan berfikirnya, apalagi yang juga harus membantu/ bekerja ekonomi orang tua). Bayangkan orang dewasa yang bekerja 40+ jam/minggu saja sudah lelah bila pulang ke rumah setiap harinya, apalagi ini siswa yang masih dalam proses pertumbuhan.

· Harus menghadapi lebih dari 12 guru setiap minggunya. Artinya mereka harus siap menghadapi 12 karakter yang berbeda background dan pendekatan. Bayangkan kalau anda menghadapi lebih dari 1 orang boss di tempat kerja, tidakkah ini bisa mengarah pada 'split personality', untuk mengakomodir perbedaan2 karakter dan hal2 lainnya tersebut.

· Kurang/ tidak adanya tingkat berkelanjutan dalam belajar (tidak kontinyu) sehingga mereka bingung dengan apa yang diajarkan gurunya (misalnya tahun ini pakai buku A, besok buku B; tahun ini ada materi baru tentang X, kemudian hilang tahun berikutnya dan kemudian muncul lagi di tahun ketiga).

· Kurang/ tidak adanya keselarasan dalam belajar, dalam arti tumpang tindih isi dan pembahasan antar mata pelajaran. Tidak jarang guru A mendefiniskan X sebagai 'ayam', sedang guru B mendefiniskan X sebagai 'angsa', terbayang tidak begitu kompleks-nya otak siswa berusaha untuk mengolah/ mengerti definisi2 yang berbeda terhadap satu objek yang sama, tidak jarang mis-information yang diterima dapat mengarah para mis-intrepretation oleh siswa.

· Membuat siswa menjadi bingung atau tidak mengerti, apa sebenarnya kompetensi yang diharapkan oleh kurikulum dari cara dan hasil belajar mereka. Cara mengajar guru yang terlalu memakai bahasa 'langit' (yang susah untuk di-analogi-kan dalam bahasa yang dipahami oleh siswa), kadang2 membuat siswa bingung karena tidak sesuai dengan apa yang mereka lihat dan terapkan sehari2. Belum lagi perbedaan interpretasi guru terhadap suatu pokok bahasan yang sama dari kurikulum nasional yang sama.

Reaksi yang sering terjadi adalah, siswa sering bilang ‘Oh saya suka mata pelajaran ini’, ‘Saya benci deh sama pelajaran itu', ‘Belajar tentang X ini bagus sekali ya, tapi kalo yang itu jelek’, ‘Guru yang ini enak ya, bagus mengajarnya, yang itu jelek’, dll, dsb. Dengan begitu yang terjadi adalah para siswa tidak memiliki pandangan positif pada kurikulum nasional.

Mengahadapi tantangan abad ke 21 ini, adalah penting bagi guru untuk membuat, mengembangkan dan mengajar kurikulum yang relevan dengan zaman dan kebutuhan masyarakat, dapat dimengerti dan dirasakan manfaatnya secara langsung oleh siswa (making sense) dan yang menekankan dan mengakomodir perkembangan diri dan kemampuan siswa masing2 (personal growth).

Untuk itu para pendidik yang bijak dituntut untuk mempu:
1. mendidik siswa bagaimana cara belajar - berbagi pengalaman antar siswa bagaimana cara belajar yang efektif akan sangat membantu;
2. mempersiapkan/ mengajar para guru bagaimana cara mengajar yang efektif - again sharing will be more effective;
3. mengadaptasi/ penyesuaikan cara mengajar guru di dalam kelas demi peningkatkan daya/ kemampuan belajar siswa;
4. menggunakan kapasitas belajar siswa secara efektif (agar guru tahu kemampuan masing2 individu siswa, dia harus bicara hati ke hati atau kenal dekat dengan masing2 siswanya);
5. membudayakan adanya dialog antar guru dan siswa agar tercipta saling pengertian satu sama lain.

Para pengajar/ guru selanjutnya bekerja sebagai satu team diharapkan mampu bekerja dan merepresentasikan semua ide2 yang terlampir didalam kurikulum nasional, mampu mengajar 'beyond the box' (melampaui batasan2 konvensional, kreatif dan idealis), mampu memahami/mengerti apa yang telah sedang dan akan dipelajari oleh siswa, mampu mendisain suatu sistem belajar dengan target terjadinya peningkatan pengetahuan dan keterampilan siswa secara menyeluruh dan mendelegasikan sebanyak mungkin proses belajar kepada siswa (kesuksesan team dapat diukur bila semua tanggung jawab belajar telah diserahkan kepada siswa, artinya bukan tanggungjawab guru/ team pengajarnya).

Sehingga yang terjadi adalah: sekolah punya jadwal pelajaran, tapi mata2 pelajaran itu 'invisible' (belajar tidak terbatas pada nama/mata pelajaran, semua aktivitas di dalam kelas dan sekolah adalah menjadi proses belajar - bahkan dalam waktu jam istirahat pun bisa manjadi aktivitas belajar bagi siswa), sekolah menintegrasi semua pengalaman, model, cara belajar yang mereka tahu/ lakukan menjadi satu kesatuan/ tujuan (yang mengarah pada hilangnya batasan2 dalam belajar, misalnya belajar belajar menggunakan rumus matematika tertentu dalam membahas ekonomi bisnis atau menerapkan table unsur Kimia saat membahas struktur/ properties suatu bahan baku model desian grafis, dll), peningkatan keterampilan/ pengetahuan menjadi fokus pelajaran (dengan aktivitas apa saja sepanjang siswa menjadi lebih tahu & trampil dari sebelumnya, maka sejati siswa telah 'belajar' sesuatu), dan kurikulum hanya dibuat untuk membantu siswa mengerti apa yang sedang mereka pelajari.

Wednesday, October 08, 2008

Coping with late students


We all wish that we could get all our students to arrive on time, but at least we can have strategies to minimise the disruption.

Strategy 1.
A teacher observed always had a 5-10 minute warm-up/re-cap activity at the start of every lesson, usually in pairs or small groups. Late arrivals were directed to a separate table where a special activity would be waiting for them, with instructions. Discussions about lateness were then initiated by teacher at a time chosen by her, when it did not disrupt the class.

Strategy 2.
In this case, students who arrived later than 4-5 minutes into lesson knew that they would be responsible for the final plenary summary session at the end of the lesson, i.e. they would have to summarise main points of the lesson for the rest of the class. This tended to have the effect of making students keen to arrive on time next lesson.

Strategy 3.
A variant on 1 & 2: late arrivals had to sit in a particular place/table; when the warm-up or first activity of the class was over, the late arrivals had to produce a re-cap of the previous lesson. Again, as with the previous techniques, the regularity of this meant that it became a well-drilled routine and gave a discipline to the class, absorbing late-comers relatively easily.

Strategy 1 & 3 also penalise late students by taking from them the choice of where or with whom they sit for the lesson; they stayed on the ‘late table’.

Clearly useful though these techniques may be, 2 things need to be borne in mind:
Ø it could be argued that it legitimises lateness by accommodating it;
Ø teachers need to use their discretion in deciding whether students can always be blamed for their lateness; this may vary depending on time of day; you may wish to be sensitive to particular student problems.

What is International Baccalaureate (IB)?

The International Baccalaureate Diploma was introduced in the 1960s, in response to concerns about the narrowness of A levels and the need for a qualification that met the needs of a global society. It was designed as a pre university course for highly motivated students and the qualification reflects the European tradition of post 16 students retaining a breadth of subjects to their studies.

There are 1500 schools and colleges offering the IB in over 110 countries; currently the UK and the USA are experiencing the fastest growth in the qualification.

At the centre of the IB are three core elements:

Theory of Knowledge: which explores the nature of knowledge and our ways of knowing. Students complete an essay and a presentation.
CAS: where students undertake 150 hours of Creative, Action and Service activities. The activities should both develop new skills and abilities in the students and provide benefits to the local and international community
The extended essay: where students write a 4000 word research based essay from one of their IB subjects

To achieve the full Diploma students have to pass these three core elements in addition to the following 6 subjects:
1) Home Language, this includes language and literature; 2) a second language; 3) Individuals and Society; 4) Science; 5) Maths; 6) An Arts subjects or a second subject from groups 2, 3 or 4.

Students take three of the subjects at higher level (broadly equivalent to A level) and three at standard (broadly equivalent to AS level). The course is linear with exams being taken in May of the second year.

The IB is recognised by universities in most countries of the world and in June 2006 the IB was formally included in the UCAS tariff. The minimum IB pass mark of 24 gives the equivalent UCAS points of 3.5 grade A “A” levels. The maximum IB points of 45 equates to 6.5. “A” levels at grade A.

Wednesday, October 01, 2008

Masalah yang mungkin dihadapi guru RSBI: Bahasa Inggris



Pengalaman dari berbagai sekolah yang menerapkan RSBI, beberapa sekolah sudah mencoba menempatkan:

1. Guru bidang studi dengan didampingi oleh dosen dalam mengajar siswa di kelas (yang Bilingual). Sebagai bagian dari sharing atau coaching model pendekatan ini sebenarnya cukup baik, namun apabila tidak dikelola dengan baik akan ada masalah yang akan timbul, diantaranya konflik antar guru dan dosen. Ini bisa disebabkan karena guru merasa risih (wibawa turun didepan siswa) dengan kehadiran dosen di dalam kelas. Solusi yang mungkin diterapkan adalah guru dan dosen menyusun tujuan kegiatan ini bersama-sama (sebagai bagian dari good practice sharing – belajar dari pengalaman yang berhasil/baik), membuat kesepakatan mengenai model and pendekatan yang akan dipakai, kemudian dapat menentukan specific action seperti misalnya menyusun jadwal mengajar dimana masing-masing pihak bergantian mengajar siswa dan proses remedial dan perbaikan dilakukan setelahnya. (Saat guru mengajar, dosen hadir di kelas sebagai partisipan aktif dan non aktif. Aktif dalam arti dosen bisa membantu mengelola kelas dengan guru sebagai fasilitator utama dan non aktif artinya membuat ‘catatan2 dan apresiasi’ (untuk itu bisa dibuat kriteria yang disepakati) akan kegiatan belajar mengajar yang dibawa oleh guru untuk kemudian diberikan masukan2 atau remedial untuk perbaikan ke depan. Juga akan sangat baik lagi apabila si dosen dapat langsung mengajar dan guru berperan sebagai partisipan dikelas sehingga guru dapat langsung menyerap cara pengajaran yang diterapkan.

2. Guru bidang studi mengajar didampingi penterjemah. Yang sering terjadi dilapangan adalah dimana guru mengajar dalam bahasa Indonesia dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh seorang penterjemah. Model ini sebenarnya berpotensi kurang efektif, karena dapat menimbulkan de-motivation atau guru kurang termotivasi untuk mencoba berbahasa Inggris (meskipun sering salah atau banyak kekurangan) karena sudah ada yang menterjemahkan. Yang berkembang adalah proses guru ingin serba benar, padahal bila guru membuat kesalahan masih terbuka kesempatan untuk memperbaikinya. Dan ini pada gilirannya bisa membawa perbaikan yang permanen dari praktek mengajar si guru. Dari segi pembelajaran, akan lebih baik bila guru salah dulu, kemudian bisa memperbaikinya, daripada tidak pernah salah tapi tidak tahu yang benar itu seperti apa karena dibantu oleh orang lain. Secara teori memang masih memungkinkan kalau guru bisa pula belajar cara pengucapan yang baik dari penterjemah, tapi pada prakteknya lebih sering terjadi guru terlenakan dan proses belajar tidak seperti yang diharapkan. Akibat tergantung terlalu banyak dengan penterjemah ini siswa juga kurang termotivasi dalam dalam belajar karena melihat gurunya - mungkin - terus2an dibantu/ berlindung dibalik penterjemah. Ketidakefektifan model ini juga dikarenakan waktu yang diperlukan dalam mengajar menjadi lebih banyak (time consuming) karena menggunakan komunikasi dua arah yang tidak langsung (non direct two-way of communication).

3. Guru bidang studi dikursuskan di lembaga kursus bahasa Inggris di luar jam mengajar (untuk peningkatan vocabulary dan perbaikan pronounciation-nya). Dari hasil pengamatan dan wawancara kepada guru masalah yang timbul adalah adanya lembaga kursus bahasa yang kurang memahami keperluan guru/kurikulum, sehingganya misalnya mereka hanya lebih menekankan pada ‘general speaking lesson’ daripada mengarahkan guru untuk mengajar dan menggunakan istilah-istilah yang banyak dipergunakan dalam mata pelajaran tertentu secara tepat. (Mereka khan hanya diharapkan meningkatkan tingkat komunikasi berbahasa Inggris para guru, tidak lebih). Solusi yang dapat diambil adalah mengharuskan lembaga bahasa Inggris yang akan dipilih agar mengakomodasi keperluan guru dan kurikulum mata pelajaran secara nyata (baca didalam kelas), agar hasil training atau kursus (yang biasanya singkat) ini dapat mencapai atau mendekati tujuan yang diinginkan. Ini mungkin dapat berakibat sekolah akan sulit untuk menemukan lembaga kursus bahasa yang dapat memenuhi kriteria seperti ini, namun kita memang perlu mencari program yang hasilnya akan lebih efektif bagi guru.

4. Guru didampingi native speakers dalam mengajar. Masalahnya adalah bagaimana kita mendapatkan native speakers yang mengerti terminology yang banyak digunakan dalam mata pelajaran tertentu. Ini dapat diatasi dengan membuat memberikan induksi (induction) kepada native speakers, seperti pengenalan singkat (brief introduction) mengenai mata pelajaran dan kurikulum yang mereka akan ajarkan berikut istilah2 khusus (terminology) yang mereka harus pahami. Selain itu yang perlu diantisipasi adalah kemungkinan guru menjadi ‘minder’ dengan kehadiran native speakers di dalam kelasnya. Ini harus dijembatani dengan adanya hubungan kerja yang baik antara guru dan native speakers.

Yang belum banyak dicoba mungkin adalah membentuk kemitraan antara sekolah dengan pihak ke-3 – para praktisi baik di swasta maupun pemerintahan - termasuk orang tua, yang memiliki kemampuan (knowledge and skills) mengajar dalam bahasa Inggris, dan memintanya mendukung program sekolah. Istilahnya untuk menjadi guest speakers atau pengajar tamu. Ini dapat dilakukan dengan meminta para ahli atau orang tua yang bisa mengajar satu mata pelajaran dan topik pembahasan tertentu di dalam kelas. Memang ada pula kekhawatiran dari pihak sekolah/ guru jika respek siswa kepada mereka akan kurang – terutama bila ada guest speakers yang ternyata sangat bagus atau menjadi favourite siswa. Tetapi ini sebenarnya tidak seharusnya menjadi faktor penghambat kemajuan apabila semua pihak bisa bekerja sama. Siswa harus menjadi tujuan sentral/ utama suksesnya program ini, dan sekolah tidak bisa memonopoli pendekatan untuk mencapai tujuan tersebut hanya karena kepentingan yang sepihak saja.

RSBI adalah tantangan - Why RSBI? Why now?

Saya memutuskan ikut menjadi anggota penulisan buku tentang Rintisan sekolah bertaraf Internasional atau RSBI. Sebelumnya memutuskan ikut saya mencoba mengutak utik dampak turut serta dalam penulisan ini. Betapa tidak RSBI menjadi semacam isu panas yang lagi hangat dan kerap dibicarakan di tengah masyarakat.

Dibeberapa milis pendidikan yang saya pantau, pro dan kontra terhadap program RSBI sudah sangat sengit bahkan ekstrim. Sebagai peneliti yang terkadang harus mengkritisi kebijakan program kerja pemerintah di sektor pendidikan, adalah dilema kalau saya hanya turut mencela program RSBI ini, tanpa membicarakan kelebihan/kekurangan dan memberikan alternatif2 solusinya. Sangat mudah dan aman sebenarnya kalau saya hanya turut mengkritik saja, karena toh sudah cukup banyak suara negative dari masyarakat yang bisa dijadikan acuan. Lumayan, kalau hanya bisa jadi ‘penyanyi’ di seminar2 dan menyajikan fakta2 sepihak saja.

Tapi saya memilih tidak ingin ikut2an arus yang menentang. Karena masih banyak sebenarnya sisi baiknya yang seharusnya harus diberi appresiasi secara positif. Itu kalau mau pendidikan kita tetap bergerak maju, meskipun mungkin sedikit, tapi khan lebih baik daripada tidak. Alasan saya adalah kondisi dan standard pendidikan Nasional kita memang kompleksnya, berbeda-beda alias tidak sama. Karenanya tidak ada 1 resep manjur yang cocok buat semua penyakit. Justru beragam innovasi dan terobosan yang berbeda tujuan dan pendekatannya perlu kita coba, untuk melihat mana yang cocok dan mana yang tidak. Kalau perkara akan menimbulkan kebingungan, ketidaksiapan dan resistansi dari elemen2 yang berbeda di masyarakat – itulah seni atau tantangan yang perlu ditaklukan dan dicari jalan keluar.

Saya yakin adaptasi terhadap tantangan dari luar/lingkungan (baca teknologi) adalah jalan terbaik untuk mengejar ketinggalan daripada sekadar hanya menolaknya, tapi tergilas. RSBi sekalipun tidak sempurna dan mungkin hanya mewarnai sekolam daripada sebegitu luasnya laut Indonesia tetap harus tetap dipandang sebagai terobosan yang perlu dianatara stagnansi innovasi pendidikan nasional saat ini. Siapa tahu dari sekolam bibit ini, bisa muncul hasil yang dapat membawa keunggulan bagi keseluruhan bangsa? Walahu alam, lebih baik berusaha daripada tidak (dan tergilas).

Why Sekolah Bertaraf Internasional? Why now?
Di Asia sendiri sekarang terjadi peningkatan trend dimana permintaan akan sekolah yang menggunakan bahasa Inggris (bilingual) dirasakan terus meningkat. Kecenderungan ini tidak hanya ditemui pada negara-negara bekas jajahan Inggris seperti India, Malaysia, dan Singapura, tapi juga di negara2 yang berekonomi kuat seperti Jepang, Thailand, Taiwan dan China. Para orang tua dan pemerintah mempunya alasan tersendiri mengapa 'demand' ini menjadi trend. Salah satunya adalah tantangan dunia global dan persaingan ekonomi yang semakin keras, membuat mereka berpikir salah satu cara menguasai ilmu dan teknologi secara cepat dan mempersiapkan generasi yang siap bersaing secara global adalah dengan menguasai bahasa (English) dan teknologi dari Barat.

Di tahun 2008 di Thailand, misalnya, tercatat lebih dari 100 sekolah bilingual atau bertaraf Internasional telah berdiri. Sementara Taiwan memiliki sedikitnya selusin sekolah bilingual, beberapa diantaranya sudah berdiri sejak 20 tahun lalu. Sementara di Korea, ribuan siswa sekolah dasar hingga menengah tingginya mengikuti program bahasa Inggris, beberapa diantaranya setingkat native speakers. Ditiga negara diatas yang dikategorikan ‘new economies’ di Asia, trend orang tua mengirim anak2nya ke sekolah berbahasa Inggris sangat meningkat tajam, sementara itu negara-negara yang sudah lama memberlakukan ‘bilingual’ seperti Singapura, Phillipina dan Hongkong (China) justru menunjukan trend penurunan (Good, 2005).

Tahun 2003, pemerintah Thailand merevisi undang2 mengenai kurikulumnya yang mendorong setiap anak untuk bisa belajar dalam bahasa dan memakai kurikulum apa saja. Pemerintahnya juga meluncurkan program dengan target minimal ada sekolah bilingual atau bertaraf Internasional di setiap provinsinya.

Di Taiwan para siswa sekolah hanya setengah hari kemudian mengikuti program pendalaman bahasa Inggris setelah jam sekolah usai.

Pengalaman yang berbeda justru terjadi di negara2 berbahasa Inggris seperti Britania Raya (UK) dan Amerika Serikat. Di Britania Raya, misalnya, sekolah-sekolah bilingual diperkenalkan justru untuk mengajarkan bahasa lain selain Inggris (English plus). Sekolah yang berpartisipasi program bilingual tersebut memperoleh kelebihan-kelebihan (benefit) daripada sekolah biasa yang hanya diajar dalam 1 bahasa saja (English) (Independent, 2006; BBC, 2008), khususnya dalam hasil ujian nasional. Adapun jenis bahasa-bahasa yang diajarkan sekolah-sekolah bilingual tersebut adalah bermacam-macam misalnya Perancis, Portugis, China, Bengali, Italia, Urdu, Polandia, dll. Di UK setidaknya ada hampir 1 juta anak yang berbahasa selain English di rumah mereka masing2. Pengalaman dari beberapa sekolah, awalnya memang terjadi kesulitan daya serap dan prestasi bagi siswa yang diajar dalam bahasa asing, namun kemudian hal ini pelan-pelan bia diatasi dan malah mendapat kelebihan-kelebihan lainnya, misalnya pengajaran kurikulum yang lebih innovatif dan menarik dari sebelumnya (BBC, 2006).