Total Pageviews

Wednesday, October 01, 2008

Masalah yang mungkin dihadapi guru RSBI: Bahasa Inggris



Pengalaman dari berbagai sekolah yang menerapkan RSBI, beberapa sekolah sudah mencoba menempatkan:

1. Guru bidang studi dengan didampingi oleh dosen dalam mengajar siswa di kelas (yang Bilingual). Sebagai bagian dari sharing atau coaching model pendekatan ini sebenarnya cukup baik, namun apabila tidak dikelola dengan baik akan ada masalah yang akan timbul, diantaranya konflik antar guru dan dosen. Ini bisa disebabkan karena guru merasa risih (wibawa turun didepan siswa) dengan kehadiran dosen di dalam kelas. Solusi yang mungkin diterapkan adalah guru dan dosen menyusun tujuan kegiatan ini bersama-sama (sebagai bagian dari good practice sharing – belajar dari pengalaman yang berhasil/baik), membuat kesepakatan mengenai model and pendekatan yang akan dipakai, kemudian dapat menentukan specific action seperti misalnya menyusun jadwal mengajar dimana masing-masing pihak bergantian mengajar siswa dan proses remedial dan perbaikan dilakukan setelahnya. (Saat guru mengajar, dosen hadir di kelas sebagai partisipan aktif dan non aktif. Aktif dalam arti dosen bisa membantu mengelola kelas dengan guru sebagai fasilitator utama dan non aktif artinya membuat ‘catatan2 dan apresiasi’ (untuk itu bisa dibuat kriteria yang disepakati) akan kegiatan belajar mengajar yang dibawa oleh guru untuk kemudian diberikan masukan2 atau remedial untuk perbaikan ke depan. Juga akan sangat baik lagi apabila si dosen dapat langsung mengajar dan guru berperan sebagai partisipan dikelas sehingga guru dapat langsung menyerap cara pengajaran yang diterapkan.

2. Guru bidang studi mengajar didampingi penterjemah. Yang sering terjadi dilapangan adalah dimana guru mengajar dalam bahasa Indonesia dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh seorang penterjemah. Model ini sebenarnya berpotensi kurang efektif, karena dapat menimbulkan de-motivation atau guru kurang termotivasi untuk mencoba berbahasa Inggris (meskipun sering salah atau banyak kekurangan) karena sudah ada yang menterjemahkan. Yang berkembang adalah proses guru ingin serba benar, padahal bila guru membuat kesalahan masih terbuka kesempatan untuk memperbaikinya. Dan ini pada gilirannya bisa membawa perbaikan yang permanen dari praktek mengajar si guru. Dari segi pembelajaran, akan lebih baik bila guru salah dulu, kemudian bisa memperbaikinya, daripada tidak pernah salah tapi tidak tahu yang benar itu seperti apa karena dibantu oleh orang lain. Secara teori memang masih memungkinkan kalau guru bisa pula belajar cara pengucapan yang baik dari penterjemah, tapi pada prakteknya lebih sering terjadi guru terlenakan dan proses belajar tidak seperti yang diharapkan. Akibat tergantung terlalu banyak dengan penterjemah ini siswa juga kurang termotivasi dalam dalam belajar karena melihat gurunya - mungkin - terus2an dibantu/ berlindung dibalik penterjemah. Ketidakefektifan model ini juga dikarenakan waktu yang diperlukan dalam mengajar menjadi lebih banyak (time consuming) karena menggunakan komunikasi dua arah yang tidak langsung (non direct two-way of communication).

3. Guru bidang studi dikursuskan di lembaga kursus bahasa Inggris di luar jam mengajar (untuk peningkatan vocabulary dan perbaikan pronounciation-nya). Dari hasil pengamatan dan wawancara kepada guru masalah yang timbul adalah adanya lembaga kursus bahasa yang kurang memahami keperluan guru/kurikulum, sehingganya misalnya mereka hanya lebih menekankan pada ‘general speaking lesson’ daripada mengarahkan guru untuk mengajar dan menggunakan istilah-istilah yang banyak dipergunakan dalam mata pelajaran tertentu secara tepat. (Mereka khan hanya diharapkan meningkatkan tingkat komunikasi berbahasa Inggris para guru, tidak lebih). Solusi yang dapat diambil adalah mengharuskan lembaga bahasa Inggris yang akan dipilih agar mengakomodasi keperluan guru dan kurikulum mata pelajaran secara nyata (baca didalam kelas), agar hasil training atau kursus (yang biasanya singkat) ini dapat mencapai atau mendekati tujuan yang diinginkan. Ini mungkin dapat berakibat sekolah akan sulit untuk menemukan lembaga kursus bahasa yang dapat memenuhi kriteria seperti ini, namun kita memang perlu mencari program yang hasilnya akan lebih efektif bagi guru.

4. Guru didampingi native speakers dalam mengajar. Masalahnya adalah bagaimana kita mendapatkan native speakers yang mengerti terminology yang banyak digunakan dalam mata pelajaran tertentu. Ini dapat diatasi dengan membuat memberikan induksi (induction) kepada native speakers, seperti pengenalan singkat (brief introduction) mengenai mata pelajaran dan kurikulum yang mereka akan ajarkan berikut istilah2 khusus (terminology) yang mereka harus pahami. Selain itu yang perlu diantisipasi adalah kemungkinan guru menjadi ‘minder’ dengan kehadiran native speakers di dalam kelasnya. Ini harus dijembatani dengan adanya hubungan kerja yang baik antara guru dan native speakers.

Yang belum banyak dicoba mungkin adalah membentuk kemitraan antara sekolah dengan pihak ke-3 – para praktisi baik di swasta maupun pemerintahan - termasuk orang tua, yang memiliki kemampuan (knowledge and skills) mengajar dalam bahasa Inggris, dan memintanya mendukung program sekolah. Istilahnya untuk menjadi guest speakers atau pengajar tamu. Ini dapat dilakukan dengan meminta para ahli atau orang tua yang bisa mengajar satu mata pelajaran dan topik pembahasan tertentu di dalam kelas. Memang ada pula kekhawatiran dari pihak sekolah/ guru jika respek siswa kepada mereka akan kurang – terutama bila ada guest speakers yang ternyata sangat bagus atau menjadi favourite siswa. Tetapi ini sebenarnya tidak seharusnya menjadi faktor penghambat kemajuan apabila semua pihak bisa bekerja sama. Siswa harus menjadi tujuan sentral/ utama suksesnya program ini, dan sekolah tidak bisa memonopoli pendekatan untuk mencapai tujuan tersebut hanya karena kepentingan yang sepihak saja.

1 comment:

Khaira said...

Terima kasih sharingnya... saya sedang mencari bahan untuk permasalahan serupa :)