Total Pageviews

Sunday, October 01, 2006

Pendidikan Indonesia: Cerita Kegagalan di Zaman Otonomi Daerah


Memperbincangkan carut marut pelaksanaan sistem pendidikan Indonesia saat ini tidaklah lengkap apabila tidak mengikutsertakan struktur system yang dibangun dan kebijakan pendidikan yang ambil oleh Orde Baru. Berusaha mencontek kemajuan negara2 barat yang ‘katanya’ lebih maju, pemerintah Orde Baru sebenarnya tidak benar2 berusaha mengkopi sistem yang berlaku di negara maju, melainkan hanya bereksperimen dengan ‘ramuan2an campursari’ yang dibuat oleh para elit-elitnya sendiri. Hasil ramuan eksperimen yang berbahaya tersebut tak heran menghasilkan buah yang pahit yang harus ditelan oleh anak bangsa negeri ini.

Para pembuat kebijakan kita dahulu sangat gemar untuk ‘berbelanja ide’ di luar negeri. Berbelanja ide seperti ini sangatlah praktis, karena tidak membutuhkan kerja keras seperti penelitian puluhan tahun atau sebangsanya. Modalnya sangat mudah, misalnya cukup dengan studi banding atau ikut seminar ke luar negeri, ide2 pendidikan dengan mudahnya didapat. Entah itu dari apa yang dilihat, didengar dan dibaca disana. Berbelanja ide dengan pendekatan ‘window shopping’ (berbelanja etalase toko) seperti ini sebenarnya sangat berbahaya. Karena kacamata seorang orang asing (tourist) sangatlah tidak setajam kacamata orang local, yang puluhan tahun tinggal dan bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Bagi para tourist semua terasa indah dan sempurna, karena high expectation (harapan tinggi) yang sudah terlanjur terbentuk dibenaknya sebelumnya, sehingga terkadang sudah tidak objektif lagi. Apalagi bila sudah membawa segepok $ di kantong...wah mimpi indah deh.

Penulis sendiri pernah mengantar salah satu ‘peneliti’ dari Depdiknas untuk ‘studi banding’ ke salah satu SD di LN (konon dia sudah menjadi salah satu pejabat setingkat direktur salah satu direktorat Depdiknas sekarang). Ternyata ‘studi banding’ tersebut tidak lebih sebatas hanya bertanya jawab dengan kepala sekolah selama 30 menit (itupun tanpa membuat catatan atau merekam jawaban2 yang diberikan) dan berjalan berkeliling sekolah & kelas2 dan melihat suasana kelas sambil mengambil gambar selama 30 menit. Bisakah waktu +/- 1 - 2 jam yang dihabiskan disekolah tersebut cukup memberi informasi yang berharga bagi si pembuat kebijakan sepulangnya nanti ke Tanah Air? Yang sering terjadi adalah: sepulangnya ke tanah air, tak jarang laporan 'pandangan mata' tersebut bisa jadi kebijakan resmi Departemen nasional.

Tak heran bila ‘ide2 yang dipinjam’ dari luar tersebut sering parsial, tidak lengkap dan hanya kulit2 luarnya saja. Ibarat ingin membuat kue dengan modal hanya secarik kertas resep dan sekeranjang bahan2nya yang beli di supermarket atau pasar. Namun kita tidak pernah benar2 melihat orang membuat kue itu dengan mata sendiri. Kita hanya bereksperimen menggenggam secarik resep sambil berhayal untuk bisa membuat kue dari situ. Apa dan bagaimana kompleksitas suatu program atau kebijakan yang dilakukan oleh negara lain yang kita tiru, sering terlewatkan. Sim salabin, abrakadabra, jadilah dia resep baru. Itulah yang dilakukan oleh para elit di zaman Orde Baru. Tak heran bila kita familiar dengan istilah ‘Ganti Menteri, Ganti Kebijakan’. Kita bereksperimen secara bebas dengan model yang diimport baik dari barat dan dari timur, karena memang strategi Orde Baru sendiri untuk pendidikan sebenarnya tidak ada.

Sejak 1997 Indonesia menjadi ‘pasien’ agen dana Internasional seperti IMF, World Bank dan ADB. Sebagai penerima donor kita harus mau ‘tunduk’ dan menelan obat yang mereka resepkan. Tetapi syaratnya sangat mahal: kita harus merestrukturisasi sistem pemerintahan kita (yang konon) yang tidak efektif - misalnya melalui pemberian otonomi kepada daerah, mengubah praktek negara dari birokrasi otoriter (authoritarian bureaucratic state) menjadi lebih demokrasi dan mengikutsertakan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan, yang lebih penting, kita harus komit dengan program structural adjustment (perubahan structural) yang mereka agendakan. Persoalan apakah yang memberi resep tersebut yakin obatnya akan manjur, kita nggak pernah bertanya lagi ...kita percaya saja (kadang mentah2).

Dampak ketundukan kepada syarat2 agen dana Internasional ini jelas. Kita mulai ‘memprivatisasi’ sistem pendidikan (PT dan sekolah dibebaskan menarik uang kuliah/sekolah langsung), pengurangan public spending (memotong subsidi, menaikan pajak, memprioritaskan pembayaran utang) dan melakukan proyek2 desentralisasi dibawah petunjuk, arahan dan ‘biaya’ agen asing/ Internasional.

Proyek Desentralisasi Pendidikan Depdiknas

Dari hasil ‘belanja ide’ diatas, munculah istilah Manajemen Berbasis Sekolah (School-based Management) diakhir tahun 1990an di Indonesia. Ide ini menjadi sangat populer dikalangan pembuat kebijakan dan masyarakat dikarenakan adanya desakan agen2 proyek pendidikan dari luar negeri ditambah dengan kondisi masyarakat yang memang sudah muak dengan sistem penyelenggaraan pendidikan Orde Baru yang terbukti tidak berhasil (padahal sama2 hasil desain dari luar).

Menurut data ICW (2004) begitu besarnya desakan agen2 proyek dari LN (World Bank, ADB, Inggris, Unesco, Unicef, USAID, Selandia Baru, Belanda, dll) itu kepada pemerintah RI dapat dilihat dari banyaknya tawaran loan (utang) dan grant (hibah) yang nilainya dari ratusan ribu hingga US $ 125 juta. Proyek2 yang dilakukan dibuatlah bermacam2 dari yang namanya Basic Education Project di Jawa Barat, Sulawesi dan NTB, Junior Secondary Education Project di Jawa Timur dan NTT hingga Senior Secondary Education Project, Decentralized Basic Education dan PAKEM dan SBM. Dibiayainya proyek2 desentralisasi pendidikan melalui utang LN ini sayangnya kurang mendapat porsi berita yang layak di media massa. Yang ada justru penyataan Dirjen Depdiknas bahwa pemerintah sendiri akan dilakukannya ujicoba SBM berskala nasional di 1000 sekolah di tanah air (Kompas, 2001).

Dipermukaan pemerintah berusaha memunculkan kesan bahwa MBS adalah satu2nya ‘obat mujarab’ (panacea) untuk buruknya sistem pendidikan Indonesia. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia IV (KONASPI) di Jakarta tahun 2000 bahkan dipergunakan sebagai media sosialisasi SBM oleh pemerintah. Hasilnya hampir semua peserta konvensi setuju dan percaya SBM akan membawa hasil peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia (Kompas, 2000). Tidak ada suara yang bersuara sebaliknya.

Diadakannya proyek2 desentralisasi pendidikan besar2an ini sebenarnya sangat tergesa-gesa dan patut disayangkan. Ini dikarenakan ada beberapa kelemahan atau bahkan kesalahan desainnya. Pertama informasi tentang indikator pendidikan Indonesia yang dimiliki oleh pemerintah sebenarnya tidak akurat dikarenakan keterbatasan kapasitas dan tenaga pengumpulan data yang dimiliki (Boediono dan Adams, 1997). Kedua sebagaimana yang diindikasikan oleh staf menengah Depdiknas yang penulis wawancarai tahun 2002, kebijakan2 Depdiknas sering mengandalkan penggunaan data analisis kuantitatif dan statistik yang dibuat sebagai laporan ABS (asal bapak senang). Tak heran lembaga LSM dan tokoh independent seperti ICW, Gapsi (2003) dan Baswir (2004) meragukan kesungguhan pemerintah untuk menggunakan proyek2 tersebut sebagai usaha memperbaiki keadaan sistem pendidikan. Banyak yang percaya tindakan menerima tawaran proyek2 ini adalah indikasi ‘ketidakberdayaan’ pemerintah melawan tekanan asing.

Adalah aneh, sejak dahulu kita mendengar bahwa ‘bantuan’ LN ke Indonesia dipercaya mengalami kebocoran 20 – 30 % (Djojohadikusumo, 1993; dan Kwin Gian Gie, 2003) karena praktek mark up dan korupsi. Lembaga LN seperti Transperancy Internasional (2000) dari surveynya selalu manjadikan Indonesia jawara korupsi di dunia. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Hutang LN kita dalam 2 tahun melompat dari US $ 51 billions tahun 1998 menjadi US $ 134 billions tahun 2000 atau 83 % GDP (Baird, 2000). Dalam film The New Rulers of the World karya John Pilger (2003) kita akan dibuat gregetan bila mendengar komentar pejabat tinggi IMF dengan entengnya yang menepis fakta bahwa ‘bantuan’ LN di Indonesia banyak yang hilang dikorupsi.


Pendidikan Indonesia: Cerita Kegagalan di Zaman Otonomi Daerah (2)


Adalah ironis sekali bagi Indonesia yang dikenal sebagai negara yang kaya raya dengan sumber daya alam tetapi juga dikenal sebagai negara peringkat kelima terbanyak utang luar negeri diantara seluruh negara yang ada di dunia ini. Sialnya lagi trendnya ini bukannya cenderung menurun malah meningkat setiap tahunnya. Misalnya saja bila utang LN pada tahun 1990an tercatat US$ 54 billion atau 2 kali lipat utang tahun 1983. Nilai ini kemudian meningkat drastis menjadi US$ 136 billion tahun 1997, terus menjadi US$ 141 billion tahun 2000. Meskipun sempat turun menjadi US$ 132 billion tahun 2003 dan US$131 billions tahun 2005, tapi yang dilakukan sebenarnya tak lebih dari sekadar tambal sulam hutang: utang lama yang jatuh tempo dibayar dengan hutang yang baru. Konon total utang yang kita miliki saat ini baru akan bisa terbayar 175 tahun ke depan (Detik, 2001). Pertanyan sekarang akankah Indonesia bias bertahun hingga 2176? Menurut laporan lembaga Internasional Jubilee (April) tahun 2006 ini sudah hampir separuh dari 210 juta penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Bandingkan angka ini dengan klaim bahwa jumlah penduduk miskin telah berkurang yang disampaikan oleh presiden SBY baru-baru ini.

Kembali ke masalah kebijakan ‘reformasi pendidikan’ yang dibiayai oleh utang luar negeri yang besar, seberapa efektif mega proyek2 pendidikan tersebut membuahkan hasil yang diinginkan di masa otonomi daerah sekarang ini? Apakah kita telah melangkah pada era perbaikan yang signifikan atau sebaliknya masih berjalan ditempat atau malah mundur ke belakang? Inilah yang ingin kita diskusikan disini.


Mengapa harus MBS?

Asal usul istilah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang ‘naik daun’ di Indonesia sejak akhir 1990an dan menjadi tulang punggung reformasi pendidikan kita paska tumbangnya Orde Baru sebenarnya merupakan bagian dari aplikasi teori manajemen ekonomi yang dipakai oleh perusahaan (intinya orang tua adalah ‘klien’ bagi sekolah). Ide ini sudah dikenal sejak tahun 1970an, tapi mulai ‘mendunia’ di tahun 1980an terutama sejak presiden AS Ronald Reagan dan perdana menteri Inggris Margaret Thatcher menggunakan isu globalisasi sebagai alasan untuk merestrukturisasi (baca: pengurangan) kebijakan subsidi negara kepada sektor pelayanan publik (seperti pendidikan dan kesehatan). Adalah Kanada yang dapat dikatakan negara pelopor ujicoba pemberian ‘otonomi’ di tingkat sekolah. Ini kemudian diikuti oleh negara2 yang berbahasa Inggris lainnya seperti Australia, Inggris Raya, Selandia Baru dan Amerika Serikat (Cadwell, 2005).

Dalam perkembangannya kemudian ide ini kemudian latah diikuti atau ‘meluas’ di adopsi negara2 di seluruh penjuru dunia, dari Cina hingga Mexico, dari Uganda hingga Russia. Ide MBS sendiri awalnya adalah pendesentralisasian otoritas hingga ke tingkat sekolah (pemberian otoritas dan tanggungjawab untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan hal-hal operasional sekolah kepada sekolah). Namun dalam kenyataan dilapangan setiap negara mengadopsi dan meng-improvisasi ide MBS ini menurut selera mereka masing-masing (Dempster, 2000; Murphy and Beck, 1995). Akibatnya ada sekolah yang diberikan otoritas yang sangat besar, tetapi ada juga yang kecil. Bahkan ada otoritas yang hanya sampai ke tingkat pemerintah daerah saja, tidak turun sampai ke sekolah. Tak heran bila dampak MBS bagi output pendidikan dari satu negara ke negara lain, bahkan antara satu sekolah ke sekolah lain di satu negara bisa sangat berbeda layaknya bumi dan langit.

Dibanyak negara keputusan mereka mengadopsi model MBS lebih banyak dikarenakan alasan yang berbau politis (oleh partai yang berkuasa untuk mendapat banyak suara dari publik) ketimbangan didasari oleh alasan yang benar2 murni untuk memberdayakan sekolah atau masyarakat pada umumnya. Misalnya saja para menteri pendidikan di Australia (1987), Inggris (1988), Selandia Baru (1993) dan Skotlandia (1997) yang berasal dari partai yang berkuasa, menggunakan slogan2 politis seperti: sistem (pendidikan) akan menjadi efektif dan efisien jika sekolah dapat mengkontrol kualitas pendidikan yang mereka sendiri; dan (MBS adalah) … kerangka baru yang akan meningkatkan standar (pendidikan), alternatif pilihan (sekolah) yang lebih luas bagi orang tua dan menjadikan bangsa kita menjadi lebih terpelajar; serta kualitas sekolah akan menjadi lebih baik jika sekolah diberikan otoritas untuk membuat prioritas dan rencana (sekolah) sendiri demi merespon kebutuhan murid dan aspirasi orangtua.


Dari sumber2 yang terkumpul dari riset kasus di beberapa negara maju yang telah mereformasi sistem pendidikannya terlebih dahulu diketahui bahwa salah satu sumber utama pendorong pendesentralisasian pendidikan mereka bersumber dari arena politik, yakni manakala para pembuat kebijakan politik menelurkan undang2 pendidikan baru yang secara simbolis memberikan otonomi pendidikan kepada daerah dan sekolah. Beberapa peneliti pendukung MBS seperti Levavic (1995), Wohlstetter (1995), dan Ellie & Fouts (1994) secara teoritis terang-terangan mendukung MBS karena paling tidak ada beberapa sebab utama, misalnya tercapainya efektivitas sumber daya sekolah (resources), peningkatan proses belajar dan mengajar di sekolah dan membuat sekolah menjadi responsif (akan kebutuhan para murid/ siswanya) serta memberikan alternatif pilihan bagi orang tua dan publik (untuk memilih sekolah2 yang bagus sekehendaknya).

Namun dalam kenyataan di lapangan, beberapa peneliti lainnya seperti Anderson & Dixon (1993) justru menyimpulkan hasil sebaliknya yakni bahwa MBS justru berakibat lebih mengetatnya kontrol terhadap sistem pendidikan oleh pemerintah pusat dengan mengatasnamakan kepentingan nasional. Misalnya melalui pemberlakuan (kembali dan lebih ketat): kurikulum nasional, ujian nasional, standar kompetensi nasional, pengauditan kurikulum dan standarisasi tenaga kependidikan. Selanjutnya, kritikus pendidikan semacam Micheal Fullan (1993) dan Leithwood & Menzeis (1998) bahkan sebaliknya mengecam optimisme berlebihan para pembuat kebijakan pendidikan di banyak negara tentang efektifitas MBS disebabkan tidak adanya hubungan baik langsung maupun tidak langsung dampak MBS terhadap siswa/ murid. Dengan kata lain lebih besar retorika (teori) akan dampak positif MBS terhadap hasil belajar siswa daripada kenyataannya dilapangan.

Penelitian tahun 2001 oleh Smyth malah dengan tegas mengkritik kebijakan penerapan MBS yang sering diawali dengan ‘bujukan finansial’ kepada sekolah2 untuk menerapkannya (ingat dengan kebijakan BOMM atau Bantuan Operasional Manajemen Mutu untuk sekolah-sekolah di Indonesia) yang biasanya kemudian ditarik (baca: dihapus) tiba-tiba sehingga sekolah harus (kelimpungan) mencari sendiri dana penggantinya. Smyth juga menyimpulkan bahwa MBS lebih menguntungkan bagi sekolah yang lebih baik sumber dayanya (secara finansial dan tenaga pengajar) daripada sekolah yang ‘lemah’. Dengan kata lain sekolah bagus tetap bagus, tetapi yang buruk akan tetap buruk atau malah cenderung memburuk.

Dari diskusi diatas jelas terlihat bahwa dibalik manfaat teoritis MBS yang cenderung bersifat retorika tersembunyi kenyataan bahwa penerapan MBS di lapangan justru dapat membawa dampak sebaliknya. Ini karena kenyataan implementasi dilapangan sering jauh dari harapan yang diinginkan sebelumnya. Malah ada kecenderungan bahwa MBS secara relatif tidak berdampak jauh lebih positif dibandingkan dengan dari model manajemen sebelumnya.

Kenyataan di negara-negara maju ini ternyata juga terbukti di Indonesia. Tak lama setelah ‘proyek coba-coba’ pemberlakuan MBS dengan dana yang tak sedikit dibeberapa kota sejak tahun 1999, banyak teori akan dampak MBS yang dipercaya akan terjadi oleh pemerintah yang tak jalan dilapangan. Misalnya saja retorika MBS akan membawa otonomi bagi sekolah, seperti amanah Propenas tahun 2000 (bahwa MBS di Indonesia dikembangkan untuk meningkatkan kemandirian sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan) dan Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas (bahwa MBS akan diberikan kewenangan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengelola dan memberdayakan semua sumber pendidikan yang ada di lingkungan sekolah dan masyarakat). Yang terjadi adalah kewenangan ini diserobot oleh banyak pemerintah daerah yang justru enggan mendelegasikan otoritas kepada sekolah (Nurkolis, 2003), bahkan ada daerah yang justru ‘mengurangi’ kewenangan sekolah dari sebelumnya.
Jika Indra Jati Sidi, kepala Direktorat Dikdasmen saat itu (Kompas 2001) percaya bahwa dengan MBS sekolah bisa mandiri dan memilih sendiri kepala sekolah masing-masing, pada kenyataanya praktek demokratis ini sangat jarang dan tidak terdengar lagi sejak proyek-proyek MBS dari pusat berakhir tahun 2003. Jika pada awal-awal proyek MBS, wewenang sekolah sangat besar misalnya dengan diberikan otoritas untuk menentukan sendiri kelulusan siswanya dengan adanya penghapusan Ebtanas (evaluasi tahap akhir nasional) dan pemberlakuan UAS (ujian akhir sekolah) di tahun 2001, namun sejak tahun 2003 kebijakan yang sesuai dengan jiwa dan semangat otonomi sekolah tersebut ditarik kembali dan diganti dengan model ujian nasional baru (UAN) yang menegaskan kembali model kontrol sentralis terhadap sekolah-sekolah persis seperti di masa lalu. Dari sedikit contoh tersebut diatas, tak salah bila pesimisme masyarakat akan segera dirasakannya dampak positif MBS seperti diharapkan sebelumnya akan meningkat. Pertanyaannya sekarang, dimana salahnya?

(Sudah dikutip oleh Koran Berita MITRA OTONOMI edisi 1 - 10, 11 - 20, 21 - 30 September 2006)

No comments: