Total Pageviews
Tuesday, January 12, 2010
Jenis-jenis Knowledge Economy & Knowledge Society
1. Ekonomi Pasar Modal/ Pemegang Saham
Kata kunci : kapitalis pasar modal, komoditi.
Ciri-ciri: memberikan primasi kepada mekanisme pasar dan melindungi hak2 para investor, menyeimbangkan antara hak2 pemegang saham (stockholders) dan non pemegang saham (stakeholders) lainnya baik dalam aktivitas (enterprise) maupun dalam masyarakat (society), penyeimbangan/ koreksi terhadap dampak pasar dilakukan melalui regulasi.
Innovasi dan daya saing nasional dicapai melalui:
- pasar & tenaga kerja yang fleksible
- regulasi tenaga kerja & pasar: sedikit/ terbatas
- tingkat employment yang tinggi
- waktu bekerja lebih panjang
- tingkat social expenditure rendah.
Negara2 dalam kategori ini: USA, UK, Canada, Australia, New Zealand (Anglo-Saxon countries/ negara2 berbahasa Inggris).
Kelebihan/ dampak positif:
- tingkat pertumbuhan (ekonomi) relatif tinggi
- produktivitas (kerja) relatif tinggi.
Kekurangan/ dampak negatif:
- pelayanan publik buruk
- tingkat inequality besar (pendapatan dan pendidikan)
- social cohesion rendah.
Pendidikan:
- kebijakan pendidikan ada pada pemerintah pusat dan sekolah2
- tingkat otonomi sekolah tinggi (dalam hal bujet, mengangkat dan memberhentikan guru/staff, diversity sekolah & school choice).
- tipe sekolah dasar dan menengah umumnya komphensif (bukan selektif)
- mendorong terjadinya spesialisasi dan individualisasi dalam pembelajaran & skill
- sistem ujian tidak terintigrasi (tidak terpusat) dan menggunakan sistem kredit.
Terjadi polarisasi yang luar biasa dalam hal jumlah mereka yang berketerampilan tinggi (high skilled) dan mereka yang tidak (low skilled labour forces). Proporsi rata2 profesi berketerampilan tinggi (high skilled jobs) adalah terendah diantara negara2 maju.
2. Ekonomi Model Sosial
Kata kunci : stake holder/ Rhine model capitalism, communities.
Ciri-ciri: berlawanan dengan diatas.
Innovasi dan daya saing nasional dicapai melalui:
- pasar tenaga kerja yang tidak fleksible
- regulasi tenaga kerja dan pasar lebih banyak
- tingkat orang bekerja cukup rendah (tingkat penggangguran cukup besar)
- waktu bekerja lebih pendek
- tingkat social expenditure/ social cost tinggi.
Negara2 dalam kategori ini: Jerman, Austria, Swiss, Prancis, Belgia dan Belanda (Core Europe/ negara2 Eropa utama).
Kelebihan/ dampak positif:
- pelayanan publik relatif baik
- tingkat equality besar (pendapatan dan pendidikan)
- tingkat social cohesion baik.
Kekurangan/ dampak negatif:
- tingkat pertumbuhan (ekonomi) relatif rendah
- produktivitas (kerja) relatif rendah.
Pendidikan:
- ada perbedaan struktur yang relatif besar diantara negara2 Eropa utama
- sangat sentralis (seperti di Yunani & Portugal)
- pemerintah pusat mengontrol ujian nasional, tetapi otonomi terbatas diberikan kepada pemerintah daerah (seperti di Prancis, Spanyol, Italia).
- tipe sekolah dasar dan menengah komprehensif.
- pemerintah pusat mengangkat dan mengaji guru/ staff, serta menempatkan dan menginspeksi mereka disekolah.
- regulasi dan kontrol pendidikan ada di daerah (Jerman, Austria, Swiss dan Belanda).
- menerapkan sistem magang (apprenticeship), tipe sekolah menengah yang selektif (sekolah yang berbeda bagi siswa dengan kemampuan yang berbeda).
- tingkat spesialisasi dan individualisasi pembelajaran & skill sangat tinggi.
- ujian sekolah akhir ada ditangan lembaga lokal/ tidak sentralis.
- mayoritas tenaga kerja berkualifikasi keterampilan menengah (intermediate levels).
Proporsi rata2 profesi berketerampilan tinggi (high skilled jobs) agak rendah diantara negara2 maju (tetapi bukan yang terendah).
3. Ekonomi Sosial Demokratik Model
Ciri-ciri: kombinasi.
Innovasi dan daya saing nasional dicapai melalui:
- tingkat orang bekerja sangat tinggi (tingkat penggangguran kecil)
- tingkat social expenditure/ social cost tinggi.
Dampak: tingkat produktivitas umum tinggi, tingkat pendidikan dan pendapatan (income) tinggi, tingkat social cohesion tinggi.
Negara2 dalam kategori ini: Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia (negara2 Skandinavia).
Pendidikan:
- Otonomi dan regulasi pendidikan berada di tingkat local/ regional, tetapi berada dalam framework pemerintah pusat yang berfungsi ‘steering by goal’.
- System pengajaran mixed ability (multi kemampuan/ level) di sekolah wajib
- Kurikulum luas (broad curricula)
- Pendidikan bagi orang dewasa di biayai oleh Negara.
Proporsi rata2 profesi berketerampilan tinggi sangat tinggi (diantara negara2 maju).
Kesimpulan: adanya korelasi antar negara yang kuat antara aggregat tingkat literasi (literacy level) dengan proporsi tenaga kerja berketerampilan tinggi.
Sunday, January 03, 2010
Meningkatkan Keterampilan Membaca: Pengalaman dari Russia
Baru-baru ini (tahun 2009), saya membaca kabar bahwa menurut penelitian Internasional, anak2 Russia usia 10 tahun ditempatkan dirangking teratas dalam hal keterampilan membaca. Mereka mengumpulkan 565 poin dalam tes PIRLS (Progress in Internasional Reading Literacy Study) dari
Mengapa anak2
Bagaimana kalau model Russia ini diterapkan disekolah2 kita di Indonesia? Saya hanya bisa membayangkan, mungkin bisa jadi ‘keributan besar’ kalau model kurikulum ini diterapkan disekolah2 kita. Para orang tua bisa-bisa protes keras, bila anak2nya diharuskan menamatkan bacaan seperti Cerita Rakyat ini dan itu. (Maklum anak2 Indonesia sangat dimanjakan orangtuanya, mereka lebih gemar menonton TV dan bermain games daripada membaca buku. Waktu menonton dan bermain pun bisa seharian dilakukan anak, tetapi kalau disuruh membaca 1 halaman saja bisa butuh beberapa hari. Belum lagi apresiasi orang tua yang terkadang yang rendah kalau anaknya belajar membacakan puisi). Belum lagi disekolah, para guru2nya bisa-bisa mogok kerja gara2 kerepotan mengecek kemampuan membaca anak2 (menambah kerjaan aja, bayangkan ada 40 anak dikelas, bagaimana mengontrol kemampuan membaca anak dikelas besar??). Ah, tapi itu khan cuman pikiran negatif saya saja, belum lamunan saya tentu benar khan??
Balik ke negeri Beruang Merah, para guru2 di Russia yakin bila model belajar mereka ini akan dapat mengasah otak, mendorong anak2 untuk mengapresiasi ritme bahasa dan membawa rasa senang dan kebanggaan jika dapat membawakan puisi dengan baik (Kalau dipikir2 sih, benar juga, tapi mengapa buat apa ya?). Disisi lain, ini dapat menjadi jembatan antar generasi, manakala para orang tua langsung mengenali bermacam2 puisi2 (dan cerita) yang biasa mereka baca dan ingat sejak masih kecil. Selain itu, budaya ini juga dapat menumbuhkan keakraban antar generasi, karena para orang tua siswa di rumah pun dapat membantu langsung anaknya membaca atau membaca bersama keluarga. Demikian sedikit cerita dari negeri seberang.
Hm...gimana menurut anda?
Tuesday, July 28, 2009
Perbedaan sekolah dan kelas (classroom) pada abad 20 dan 21:
20th Century:
- Berbasis waktu.
- Siswa dipersiapkan untuk menghadapi situasi tertentu dalam hidupnya.
- Fokus pada menghafal fakta2 yang sudah dibakukan.
- Kecerdasan (intelligent) bisa diukur/ ditentukan.
- Pelajaran fokus pada pengetahuan, pendalaman dan aplikasi saja.
- Sumber utama belajar: textbook.
- Belajar secara pasif.
- Siswa terisolasi belajar, dibatasi 4 dinding kelas.
- Fokus pada guru: guru sebagai pusat perhatian dan pemberi pengetahuan/ informasi.
- Kebebasan siswa: dari tidak ada hingga sedikit
- Ada masalah disiplin : Guru tidak percaya dengan murid dan sebaliknya. Tidak ada motivasi siswa.
- Kurikulum tersekat2, berdiri sendiri2.
- Hasil belajar dirata2.
- Harapan pada siswa terbatas (Low expectations).
- Sekolah sangat homogen (sama secara kultural).
- Sekolah memiliki batasan2 yang kaku dan jelas.
- Guru satu2nya pemberi nilai siswa. Tidak ada orang lain yang melihat hasil kerja siswa.
- Kurikulum dan sekolah sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan oleh siswa.
- Alat belajar dan penilaian memakai media tercetak.
- Tugas dan fungsi telah dengan jelas ditentukan dan dipilah-pilah.
- Keanekaragaman yang ada pada siswa tidak diperhatikan.
- Aksara (literacy) hanya terbatas pada membaca,menulis dan matematika.
- Sekolah dan guru bekerja secara otonomi.
- Sekolah beroperasi seperti model pabrik.
- Pendidikan siswa bergantung kepada siapa yang menyediakannya.
21st Century:
- Berbasis pada hasil belajar.
- Tujuan akhir pembelajaran siswa sangat dinamis dan berbeda-beda.
- Fokus pada apa yang siswa tahu & dapat lakukan (tidak terlalu men-detail).
- Kecerdasan itu multi-dimensi (multiple intelligence).
- Pelajaran fokus pada sintesa, analisis dan evaluasi (termasuk didalamnya pengetahuan, pendalaman dan aplikasi).
- Sumber utama belajar: riset.
- Belajar secara aktif.
- Siswa belajar ter-kolaborasi dengan siswa di kelasnya dan diluar kelasnya (Global classroom).
- Fokus pada guru: guru sebagai fasilitator/ pelatih.
- Kebebasan siswa: sangat besar.
- Tidak ada masalah disiplin: Guru dan siswa sama saling menghargai sebagai sesama “pelajar”. - Motivasi siswa tinggi.
- Kurikulum terintegrasi dan antar disiplin.
- Hasil belajar berdasarkan apa yang telah dipelajari.
- High expectations. (Semua siswa sukses belajar pada tingkat yg sulit, bahkan beberapa dari mereka lebih dari itu).
- Sekolah (dalam hal budaya dan latar belakang) sangat heterogen.
- Pendidikan sepanjang hayat bagi setiap siswa.
- Penilaian diberikan oleh guru yang bersangkutan, guru yang lain dan pihak luar.
- Kurikulum sesuai dengan minat,pengalaman, bakat siswa dan dunia luar.
- Alat belajar dan penilaian hasil belajar memakai berbagai macam media.
- Tugas dan fungsi tidak ditetapkan secara kaku dan dapat saling mengisi.
- Kurikulum dan perangkat belajar diarahkan untuk mengatasi perbedaan pada siswa.
- Multi aksara (multiple literacies) yang mengakomodir tantangan hidup dan bekerja di zaman globalisasi.
- Sekolah dan guru bekerja dalam network yang kompleks.
- Pendidikan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
- Pendidikan bergantung kepada si pengguna (user).
Tuesday, October 14, 2008
Membuat Kurikulum Kelas yang Modern - Creating modern class curriculum

Banyak siswa tampak kurang menikmati proses belajar mengajar disekolah, yang kalau di runut2 ke belakang dapat bersumber dari beban/ isi kurikulum dibuat dengan konsentrasi atau mengakomodir dari segi politis saja (bias politis) – dalam arti hanya mengejar target/ kemauan/ keinginan yang ditentukan oleh segelintir politisi atau pejabat tertentu saja (Ministry of National Education/ Depdiknas).
Sebenarnya adalah tugas seorang pendidik atau guru (educators) untuk membuat dan mengembangkan kurikulum nasional menjadi kurikulum kelas yang modern. Ini dapat dilakukan dengan mengakomodasi hal-hal sebagai berikut:
· Perubahan-perubahan social, ekonomi, kultural, politis yang sedang berkembang di tengah masyarakat terkini;
· Perubahan/ perkembangan teknologi dan komunikasi yang sangat pesat, yang tentunya memberi dampak baru pada lingkungan belajar (anak) dan bahkan dapat me-redefinisi istilah ‘belajar’ itu sendiri;
· Dimensi global yang mempengaruhi gerak hidup setiap kita, termasuk cara belajar dan bekerja; · Agenda-agenda kebijakan publik yang mendesak: tingkat korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, perubahan iklim dunia (climate change), pengelolaan lingkungan yang lebih baik, penghematan konsumsi energi dan investasi perolehan bahan bakar/ energi yang ramah lingkungan (environment friendly fuels), antisipasi krisis keuangan global (krisis moneter/ekonomi, resesi dunia), dll.
Nah dalam melakukan pengembangan ke arah kurikulum kelas yang modern tersebut, guru yang bijak juga harus memperhatikan segi pandang siswa, misalnya:
· Bagaimana (menurut cara pandang siswa) mereka harus belajar 40 jam pelajaran/minggu atau bahkan lebih (mungkin sangat berat buat anak belasan tahun yang masih dalam masa pertumbungan fisik, emosional, kematangan berfikirnya, apalagi yang juga harus membantu/ bekerja ekonomi orang tua). Bayangkan orang dewasa yang bekerja 40+ jam/minggu saja sudah lelah bila pulang ke rumah setiap harinya, apalagi ini siswa yang masih dalam proses pertumbuhan.
· Harus menghadapi lebih dari 12 guru setiap minggunya. Artinya mereka harus siap menghadapi 12 karakter yang berbeda background dan pendekatan. Bayangkan kalau anda menghadapi lebih dari 1 orang boss di tempat kerja, tidakkah ini bisa mengarah pada 'split personality', untuk mengakomodir perbedaan2 karakter dan hal2 lainnya tersebut.
· Kurang/ tidak adanya tingkat berkelanjutan dalam belajar (tidak kontinyu) sehingga mereka bingung dengan apa yang diajarkan gurunya (misalnya tahun ini pakai buku A, besok buku B; tahun ini ada materi baru tentang X, kemudian hilang tahun berikutnya dan kemudian muncul lagi di tahun ketiga).
· Kurang/ tidak adanya keselarasan dalam belajar, dalam arti tumpang tindih isi dan pembahasan antar mata pelajaran. Tidak jarang guru A mendefiniskan X sebagai 'ayam', sedang guru B mendefiniskan X sebagai 'angsa', terbayang tidak begitu kompleks-nya otak siswa berusaha untuk mengolah/ mengerti definisi2 yang berbeda terhadap satu objek yang sama, tidak jarang mis-information yang diterima dapat mengarah para mis-intrepretation oleh siswa.
· Membuat siswa menjadi bingung atau tidak mengerti, apa sebenarnya kompetensi yang diharapkan oleh kurikulum dari cara dan hasil belajar mereka. Cara mengajar guru yang terlalu memakai bahasa 'langit' (yang susah untuk di-analogi-kan dalam bahasa yang dipahami oleh siswa), kadang2 membuat siswa bingung karena tidak sesuai dengan apa yang mereka lihat dan terapkan sehari2. Belum lagi perbedaan interpretasi guru terhadap suatu pokok bahasan yang sama dari kurikulum nasional yang sama.
Reaksi yang sering terjadi adalah, siswa sering bilang ‘Oh saya suka mata pelajaran ini’, ‘Saya benci deh sama pelajaran itu', ‘Belajar tentang X ini bagus sekali ya, tapi kalo yang itu jelek’, ‘Guru yang ini enak ya, bagus mengajarnya, yang itu jelek’, dll, dsb. Dengan begitu yang terjadi adalah para siswa tidak memiliki pandangan positif pada kurikulum nasional.
Mengahadapi tantangan abad ke 21 ini, adalah penting bagi guru untuk membuat, mengembangkan dan mengajar kurikulum yang relevan dengan zaman dan kebutuhan masyarakat, dapat dimengerti dan dirasakan manfaatnya secara langsung oleh siswa (making sense) dan yang menekankan dan mengakomodir perkembangan diri dan kemampuan siswa masing2 (personal growth).
Untuk itu para pendidik yang bijak dituntut untuk mempu:
1. mendidik siswa bagaimana cara belajar - berbagi pengalaman antar siswa bagaimana cara belajar yang efektif akan sangat membantu;
2. mempersiapkan/ mengajar para guru bagaimana cara mengajar yang efektif - again sharing will be more effective;
3. mengadaptasi/ penyesuaikan cara mengajar guru di dalam kelas demi peningkatkan daya/ kemampuan belajar siswa;
4. menggunakan kapasitas belajar siswa secara efektif (agar guru tahu kemampuan masing2 individu siswa, dia harus bicara hati ke hati atau kenal dekat dengan masing2 siswanya);
5. membudayakan adanya dialog antar guru dan siswa agar tercipta saling pengertian satu sama lain.
Para pengajar/ guru selanjutnya bekerja sebagai satu team diharapkan mampu bekerja dan merepresentasikan semua ide2 yang terlampir didalam kurikulum nasional, mampu mengajar 'beyond the box' (melampaui batasan2 konvensional, kreatif dan idealis), mampu memahami/mengerti apa yang telah sedang dan akan dipelajari oleh siswa, mampu mendisain suatu sistem belajar dengan target terjadinya peningkatan pengetahuan dan keterampilan siswa secara menyeluruh dan mendelegasikan sebanyak mungkin proses belajar kepada siswa (kesuksesan team dapat diukur bila semua tanggung jawab belajar telah diserahkan kepada siswa, artinya bukan tanggungjawab guru/ team pengajarnya).
Sehingga yang terjadi adalah: sekolah punya jadwal pelajaran, tapi mata2 pelajaran itu 'invisible' (belajar tidak terbatas pada nama/mata pelajaran, semua aktivitas di dalam kelas dan sekolah adalah menjadi proses belajar - bahkan dalam waktu jam istirahat pun bisa manjadi aktivitas belajar bagi siswa), sekolah menintegrasi semua pengalaman, model, cara belajar yang mereka tahu/ lakukan menjadi satu kesatuan/ tujuan (yang mengarah pada hilangnya batasan2 dalam belajar, misalnya belajar belajar menggunakan rumus matematika tertentu dalam membahas ekonomi bisnis atau menerapkan table unsur Kimia saat membahas struktur/ properties suatu bahan baku model desian grafis, dll), peningkatan keterampilan/ pengetahuan menjadi fokus pelajaran (dengan aktivitas apa saja sepanjang siswa menjadi lebih tahu & trampil dari sebelumnya, maka sejati siswa telah 'belajar' sesuatu), dan kurikulum hanya dibuat untuk membantu siswa mengerti apa yang sedang mereka pelajari.
Wednesday, October 08, 2008
Coping with late students

Strategy 1.
A teacher observed always had a 5-10 minute warm-up/re-cap activity at the start of every lesson, usually in pairs or small groups. Late arrivals were directed to a separate table where a special activity would be waiting for them, with instructions. Discussions about lateness were then initiated by teacher at a time chosen by her, when it did not disrupt the class.
Strategy 2.
In this case, students who arrived later than 4-5 minutes into lesson knew that they would be responsible for the final plenary summary session at the end of the lesson, i.e. they would have to summarise main points of the lesson for the rest of the class. This tended to have the effect of making students keen to arrive on time next lesson.
Strategy 3.
A variant on 1 & 2: late arrivals had to sit in a particular place/table; when the warm-up or first activity of the class was over, the late arrivals had to produce a re-cap of the previous lesson. Again, as with the previous techniques, the regularity of this meant that it became a well-drilled routine and gave a discipline to the class, absorbing late-comers relatively easily.
Strategy 1 & 3 also penalise late students by taking from them the choice of where or with whom they sit for the lesson; they stayed on the ‘late table’.
Clearly useful though these techniques may be, 2 things need to be borne in mind:
Ø it could be argued that it legitimises lateness by accommodating it;
Ø teachers need to use their discretion in deciding whether students can always be blamed for their lateness; this may vary depending on time of day; you may wish to be sensitive to particular student problems.
What is International Baccalaureate (IB)?
The International Baccalaureate Diploma was introduced in the 1960s, in response to concerns about the narrowness of A levels and the need for a qualification that met the needs of a global society. It was designed as a pre university course for highly motivated students and the qualification reflects the European tradition of post 16 students retaining a breadth of subjects to their studies.
There are 1500 schools and colleges offering the IB in over 110 countries; currently the UK and the USA are experiencing the fastest growth in the qualification.
At the centre of the IB are three core elements:
Theory of Knowledge: which explores the nature of knowledge and our ways of knowing. Students complete an essay and a presentation.
CAS: where students undertake 150 hours of Creative, Action and Service activities. The activities should both develop new skills and abilities in the students and provide benefits to the local and international community
The extended essay: where students write a 4000 word research based essay from one of their IB subjects
To achieve the full Diploma students have to pass these three core elements in addition to the following 6 subjects:
1) Home Language, this includes language and literature; 2) a second language; 3) Individuals and Society; 4) Science; 5) Maths; 6) An Arts subjects or a second subject from groups 2, 3 or 4.
Students take three of the subjects at higher level (broadly equivalent to A level) and three at standard (broadly equivalent to AS level). The course is linear with exams being taken in May of the second year.
The IB is recognised by universities in most countries of the world and in June 2006 the IB was formally included in the UCAS tariff. The minimum IB pass mark of 24 gives the equivalent UCAS points of 3.5 grade A “A” levels. The maximum IB points of 45 equates to 6.5. “A” levels at grade A.
Wednesday, October 01, 2008
Masalah yang mungkin dihadapi guru RSBI: Bahasa Inggris

1. Guru bidang studi dengan didampingi oleh dosen dalam mengajar siswa di kelas (yang Bilingual). Sebagai bagian dari sharing atau coaching model pendekatan ini sebenarnya cukup baik, namun apabila tidak dikelola dengan baik akan ada masalah yang akan timbul, diantaranya konflik antar guru dan dosen. Ini bisa disebabkan karena guru merasa risih (wibawa turun didepan siswa) dengan kehadiran dosen di dalam kelas. Solusi yang mungkin diterapkan adalah guru dan dosen menyusun tujuan kegiatan ini bersama-sama (sebagai bagian dari good practice sharing – belajar dari pengalaman yang berhasil/baik), membuat kesepakatan mengenai model and pendekatan yang akan dipakai, kemudian dapat menentukan specific action seperti misalnya menyusun jadwal mengajar dimana masing-masing pihak bergantian mengajar siswa dan proses remedial dan perbaikan dilakukan setelahnya. (Saat guru mengajar, dosen hadir di kelas sebagai partisipan aktif dan non aktif. Aktif dalam arti dosen bisa membantu mengelola kelas dengan guru sebagai fasilitator utama dan non aktif artinya membuat ‘catatan2 dan apresiasi’ (untuk itu bisa dibuat kriteria yang disepakati) akan kegiatan belajar mengajar yang dibawa oleh guru untuk kemudian diberikan masukan2 atau remedial untuk perbaikan ke depan. Juga akan sangat baik lagi apabila si dosen dapat langsung mengajar dan guru berperan sebagai partisipan dikelas sehingga guru dapat langsung menyerap cara pengajaran yang diterapkan.
2. Guru bidang studi mengajar didampingi penterjemah. Yang sering terjadi dilapangan adalah dimana guru mengajar dalam bahasa Indonesia dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh seorang penterjemah. Model ini sebenarnya berpotensi kurang efektif, karena dapat menimbulkan de-motivation atau guru kurang termotivasi untuk mencoba berbahasa Inggris (meskipun sering salah atau banyak kekurangan) karena sudah ada yang menterjemahkan. Yang berkembang adalah proses guru ingin serba benar, padahal bila guru membuat kesalahan masih terbuka kesempatan untuk memperbaikinya. Dan ini pada gilirannya bisa membawa perbaikan yang permanen dari praktek mengajar si guru. Dari segi pembelajaran, akan lebih baik bila guru salah dulu, kemudian bisa memperbaikinya, daripada tidak pernah salah tapi tidak tahu yang benar itu seperti apa karena dibantu oleh orang lain. Secara teori memang masih memungkinkan kalau guru bisa pula belajar cara pengucapan yang baik dari penterjemah, tapi pada prakteknya lebih sering terjadi guru terlenakan dan proses belajar tidak seperti yang diharapkan. Akibat tergantung terlalu banyak dengan penterjemah ini siswa juga kurang termotivasi dalam dalam belajar karena melihat gurunya - mungkin - terus2an dibantu/ berlindung dibalik penterjemah. Ketidakefektifan model ini juga dikarenakan waktu yang diperlukan dalam mengajar menjadi lebih banyak (time consuming) karena menggunakan komunikasi dua arah yang tidak langsung (non direct two-way of communication).
3. Guru bidang studi dikursuskan di lembaga kursus bahasa Inggris di luar jam mengajar (untuk peningkatan vocabulary dan perbaikan pronounciation-nya). Dari hasil pengamatan dan wawancara kepada guru masalah yang timbul adalah adanya lembaga kursus bahasa yang kurang memahami keperluan guru/kurikulum, sehingganya misalnya mereka hanya lebih menekankan pada ‘general speaking lesson’ daripada mengarahkan guru untuk mengajar dan menggunakan istilah-istilah yang banyak dipergunakan dalam mata pelajaran tertentu secara tepat. (Mereka khan hanya diharapkan meningkatkan tingkat komunikasi berbahasa Inggris para guru, tidak lebih). Solusi yang dapat diambil adalah mengharuskan lembaga bahasa Inggris yang akan dipilih agar mengakomodasi keperluan guru dan kurikulum mata pelajaran secara nyata (baca didalam kelas), agar hasil training atau kursus (yang biasanya singkat) ini dapat mencapai atau mendekati tujuan yang diinginkan. Ini mungkin dapat berakibat sekolah akan sulit untuk menemukan lembaga kursus bahasa yang dapat memenuhi kriteria seperti ini, namun kita memang perlu mencari program yang hasilnya akan lebih efektif bagi guru.
4. Guru didampingi native speakers dalam mengajar. Masalahnya adalah bagaimana kita mendapatkan native speakers yang mengerti terminology yang banyak digunakan dalam mata pelajaran tertentu. Ini dapat diatasi dengan membuat memberikan induksi (induction) kepada native speakers, seperti pengenalan singkat (brief introduction) mengenai mata pelajaran dan kurikulum yang mereka akan ajarkan berikut istilah2 khusus (terminology) yang mereka harus pahami. Selain itu yang perlu diantisipasi adalah kemungkinan guru menjadi ‘minder’ dengan kehadiran native speakers di dalam kelasnya. Ini harus dijembatani dengan adanya hubungan kerja yang baik antara guru dan native speakers.
Yang belum banyak dicoba mungkin adalah membentuk kemitraan antara sekolah dengan pihak ke-3 – para praktisi baik di swasta maupun pemerintahan - termasuk orang tua, yang memiliki kemampuan (knowledge and skills) mengajar dalam bahasa Inggris, dan memintanya mendukung program sekolah. Istilahnya untuk menjadi guest speakers atau pengajar tamu. Ini dapat dilakukan dengan meminta para ahli atau orang tua yang bisa mengajar satu mata pelajaran dan topik pembahasan tertentu di dalam kelas. Memang ada pula kekhawatiran dari pihak sekolah/ guru jika respek siswa kepada mereka akan kurang – terutama bila ada guest speakers yang ternyata sangat bagus atau menjadi favourite siswa. Tetapi ini sebenarnya tidak seharusnya menjadi faktor penghambat kemajuan apabila semua pihak bisa bekerja sama. Siswa harus menjadi tujuan sentral/ utama suksesnya program ini, dan sekolah tidak bisa memonopoli pendekatan untuk mencapai tujuan tersebut hanya karena kepentingan yang sepihak saja.
RSBI adalah tantangan - Why RSBI? Why now?
Dibeberapa milis pendidikan yang saya pantau, pro dan kontra terhadap program RSBI sudah sangat sengit bahkan ekstrim. Sebagai peneliti yang terkadang harus mengkritisi kebijakan program kerja pemerintah di sektor pendidikan, adalah dilema kalau saya hanya turut mencela program RSBI ini, tanpa membicarakan kelebihan/kekurangan dan memberikan alternatif2 solusinya. Sangat mudah dan aman sebenarnya kalau saya hanya turut mengkritik saja, karena toh sudah cukup banyak suara negative dari masyarakat yang bisa dijadikan acuan. Lumayan, kalau hanya bisa jadi ‘penyanyi’ di seminar2 dan menyajikan fakta2 sepihak saja.
Tapi saya memilih tidak ingin ikut2an arus yang menentang. Karena masih banyak sebenarnya sisi baiknya yang seharusnya harus diberi appresiasi secara positif. Itu kalau mau pendidikan kita tetap bergerak maju, meskipun mungkin sedikit, tapi khan lebih baik daripada tidak. Alasan saya adalah kondisi dan standard pendidikan Nasional kita memang kompleksnya, berbeda-beda alias tidak sama. Karenanya tidak ada 1 resep manjur yang cocok buat semua penyakit. Justru beragam innovasi dan terobosan yang berbeda tujuan dan pendekatannya perlu kita coba, untuk melihat mana yang cocok dan mana yang tidak. Kalau perkara akan menimbulkan kebingungan, ketidaksiapan dan resistansi dari elemen2 yang berbeda di masyarakat – itulah seni atau tantangan yang perlu ditaklukan dan dicari jalan keluar.
Saya yakin adaptasi terhadap tantangan dari luar/lingkungan (baca teknologi) adalah jalan terbaik untuk mengejar ketinggalan daripada sekadar hanya menolaknya, tapi tergilas. RSBi sekalipun tidak sempurna dan mungkin hanya mewarnai sekolam daripada sebegitu luasnya laut Indonesia tetap harus tetap dipandang sebagai terobosan yang perlu dianatara stagnansi innovasi pendidikan nasional saat ini. Siapa tahu dari sekolam bibit ini, bisa muncul hasil yang dapat membawa keunggulan bagi keseluruhan bangsa? Walahu alam, lebih baik berusaha daripada tidak (dan tergilas).
Why Sekolah Bertaraf Internasional? Why now?
Di Asia sendiri sekarang terjadi peningkatan trend dimana permintaan akan sekolah yang menggunakan bahasa Inggris (bilingual) dirasakan terus meningkat. Kecenderungan ini tidak hanya ditemui pada negara-negara bekas jajahan Inggris seperti India, Malaysia, dan Singapura, tapi juga di negara2 yang berekonomi kuat seperti Jepang, Thailand, Taiwan dan China. Para orang tua dan pemerintah mempunya alasan tersendiri mengapa 'demand' ini menjadi trend. Salah satunya adalah tantangan dunia global dan persaingan ekonomi yang semakin keras, membuat mereka berpikir salah satu cara menguasai ilmu dan teknologi secara cepat dan mempersiapkan generasi yang siap bersaing secara global adalah dengan menguasai bahasa (English) dan teknologi dari Barat.
Di tahun 2008 di Thailand, misalnya, tercatat lebih dari 100 sekolah bilingual atau bertaraf Internasional telah berdiri. Sementara Taiwan memiliki sedikitnya selusin sekolah bilingual, beberapa diantaranya sudah berdiri sejak 20 tahun lalu. Sementara di Korea, ribuan siswa sekolah dasar hingga menengah tingginya mengikuti program bahasa Inggris, beberapa diantaranya setingkat native speakers. Ditiga negara diatas yang dikategorikan ‘new economies’ di Asia, trend orang tua mengirim anak2nya ke sekolah berbahasa Inggris sangat meningkat tajam, sementara itu negara-negara yang sudah lama memberlakukan ‘bilingual’ seperti Singapura, Phillipina dan Hongkong (China) justru menunjukan trend penurunan (Good, 2005).
Tahun 2003, pemerintah Thailand merevisi undang2 mengenai kurikulumnya yang mendorong setiap anak untuk bisa belajar dalam bahasa dan memakai kurikulum apa saja. Pemerintahnya juga meluncurkan program dengan target minimal ada sekolah bilingual atau bertaraf Internasional di setiap provinsinya.
Di Taiwan para siswa sekolah hanya setengah hari kemudian mengikuti program pendalaman bahasa Inggris setelah jam sekolah usai.
Pengalaman yang berbeda justru terjadi di negara2 berbahasa Inggris seperti Britania Raya (UK) dan Amerika Serikat. Di Britania Raya, misalnya, sekolah-sekolah bilingual diperkenalkan justru untuk mengajarkan bahasa lain selain Inggris (English plus). Sekolah yang berpartisipasi program bilingual tersebut memperoleh kelebihan-kelebihan (benefit) daripada sekolah biasa yang hanya diajar dalam 1 bahasa saja (English) (Independent, 2006; BBC, 2008), khususnya dalam hasil ujian nasional. Adapun jenis bahasa-bahasa yang diajarkan sekolah-sekolah bilingual tersebut adalah bermacam-macam misalnya Perancis, Portugis, China, Bengali, Italia, Urdu, Polandia, dll. Di UK setidaknya ada hampir 1 juta anak yang berbahasa selain English di rumah mereka masing2. Pengalaman dari beberapa sekolah, awalnya memang terjadi kesulitan daya serap dan prestasi bagi siswa yang diajar dalam bahasa asing, namun kemudian hal ini pelan-pelan bia diatasi dan malah mendapat kelebihan-kelebihan lainnya, misalnya pengajaran kurikulum yang lebih innovatif dan menarik dari sebelumnya (BBC, 2006).
Friday, September 26, 2008
Pengalaman di kelas inklusif bersama guru
Tepat jam 8.30am saya sudah dikelas, tapi baru ada 4 orang yang hadir. Sambil menunggu Rachel tiba saya berbincang2 dengan siswa yang ada, sambil berkenalan. Sampai 10 menit lewat, jumlah siswa hanya bertambah dua. Saya pikir ‘dimana siswa2 yang lain, ini telat sekali’. Tapi Rachel pun tampak sudah memperkirakannya dan masih belum mau bersiap membuka kelas, dia seperti masih mempersiapkan sesuatu. Setelah 15 menit berlalu, Rachel baru bicara dan meminta anak2 untuk pindah ke IT room – yaitu ruangan computer dimana para siswa biasanya membuat laporan. Dia meninggalkan pesan di pintu kelas untuk siswa2 lainnya yang belum hadir.
Sambil jalan saya bertanya dengan Rachel ada apa dengan kelasnya? Rachel bilang dia strunggle berat dengan kelas ini, karena ternyata ada 4 orang siswa yang memiliki specific learning difficulties. Tapi masalahnya bukan terletak pada keempat siswa itu saja, itu masalah attitude keseluruhan siswa di kelas. Saya cuma bisa menduga2 apa yang dimaksud Rachel. Diantara siswa yang perlu extra perhatian, ada dua laki-laki, yang pertama black dan dyslexic yang juga punya masalah dengan managing/ meeting work deadline – suka terlambat gemar membuat alasan yang dibuat2. Dia juga remaja yang moody dan suka ngambek kalau diledekin kawan2nya. Yang kedua, keturunan Asia selatan yang sering sakit alias tidak hadir – kebetulan dia tidak hadir karena sedang dirawat di rumah sakit karena keluhan chest pains. Satu siswa perempuan, white, memiliki mild asperger dan suka galak dengan siapa saja – terutama kalau merasa diperlakukan tidak adil. Yang terakhir, Asian juga, assessment menyeluruh tentang kondisinya belum komprehensif/ selesai – tapi diperkirakan memiliki kesulitan dalam hal ingatan dan comprehension terutama menerima intruksi di kelas. Pikir saya, wow, ini setengah siswa di kelas punya masalah semua, tak heran kalau gurunya kelihatan distressed sendiri.
Sepuluh menit di ruangan IT, suasana masih riuh dan anak2 belum settle. Rachel benar-benar strunggle membuat anak2 itu duduk dan konsentrasi dengan apa yang akan disampaikannya. Saya berinisiatif berkeliling kelas, menyapa siswa satu-satu, kemudian meminta mereka settle karena kita akan mulai pelajaran. Lumayan efektif tampaknya, kebanyakan anak2 mulai settle meskipun masih ada yang fiddling stuffs around the table (main-main macam2 dimeja), tapi paling tidak mereka duduk di kursi masing2. Mungkin karena baru ketemu saya hari ini, jadi mungkin mereka masih segan. Tetapi ada 2 orang anak perempuan yang duduk dipojok yang terus-terusan bicara dalam logat Brumies - dialek lokal - (dengan suara yang keras) satu sama lain seakan tidak ada orang lain di kelas.
Setelah berkali berbicara setengah berteriak akhirnya siswa disuruh log on computer masing2 dan Rachel minta anak2 menggunakan kesempatan ini untuk menyelesaikan writing up praktek Chromatography mereka minggu lalu. Dia akan come around mengecek laporan siswa satu demi satu.
Rachel kemudian meminta saya meng-handle satu sisi kelas dan dia yang lainnya. Sisi bagian saya termasuk 2 orang anak perempuan yang gaduh itu. Saya diberitahu Rachel bahwa salah satu dari 2 orang anak ini ialah yang memiliki masalah comprehension tadi. Memang sekilas saya lihat attitude kedua anak ini memang sangat kontras dengan kawan2 lainnya di kelas. Selain berbicara sengan suara cukup keras, mereka juga suka memotong kata2 gurunya dan menambahi komentar seenaknya, tapi terlihat seperti tidak punya rasa bersalah begitu. Akhirnya terpaksa karena si guru sering dipotong dan suara pun semakin meninggi. Poor (kasihan) Rachel, meskipun kerap dicuekin disini para guru tidak bisa seenaknya marah2 dan bertingkah laku yang menakut2i (bully) siswa, karena undang2nya sangat keras melindungi siswa. Paling berani, guru hanya mengingatkan siswa berkali2, tidak boleh mencubit apalagi lebih dari itu. Malah ada cerita siswa bisa komplain kalau si guru sedikit saja menyentuh kulit siswa-nya (apalagi lebih dari itu). Tak heran kalau Inggris masih kekurangan guru, yang kekurangannya diisi oleh guru2 imigran, karena guru yang stress oleh bad attitude siswa dikelas/sekolah lebih memilih ganti profesi daripada jadi sakit mental dan sakit/makan hati.
Akhirnya saya mendekati dua anak tersebut, memperkenalkan diri dan bertanya-tanya tentang mereka dengan sopan. Alih2 mendapat respek, mereka justru banyak melontarkan pertanyaan kepada saya dengan penuh selidik dan melempar komentar2 lucu, aneh dan cekikikan berdua. Dengan sabar saya jelaskan bahwa saya disini akan membantu mereka menulis laporan Chemistry, dan kalau mereka mau kerja dan berkonsentrasi penuh mereka akan mendapat nilai yang baik dan membawa mereka masuk ke universitas2 terbaik di UK. Saya sebutkan bahwa saya lulus dari Birmingham University dan uni ini adalah yang paling prestigious di West Midlands dan karena itu masuk kategori uni terkemuka di dunia. Saya sengaja dragging their attention supaya pelan2 bisa diarahkan ke task yang sebenarnya.
Strategi ini pelan2 mulai membuahkan hasil, mereka mulai tertarik mendengarkan saya dan sudah tidak berbicara terlalu keras hingga mengganggu yang siswa yang lain. Saya bilang saya seorang Moslem – karena saya lihat mereka Asian dan salah satunya memakai hijab – dan sedang berpuasa. Mereka senang mendengar ini dan bilang mereka juga puasa. Salah satu dari mereka menebak saya dari Indonesia. Benar kata saya, saya berasal dari the most populous Moslem country in the world. Di Indonesia sana, kata saya, banyak masjid. Hampir tiap 300 – 400 meter (saya menganalogikan jarak tersebut dengan jarak antar bus stop di Inggris), ada mesjid, jadi setiap masuk waktu Shalat terdengar adhan dimana2. Mata mereka terlihat kagum dengan cerita saya ini. Tapi toh tidak menyurutkan kebiasaan berkomentar dan cekikikan. Ya Man!, Ain't it?etc, ...begitu istilah2 yang mereka suka pakai.
“Do you pray 5 times a day, sir? Make sure you do”, mereka tertawa cekikian lagi. Membuat saya manggut2. Saya pikir ini saatnya mengalihkan perhatian ke pelajaran. Akhirnya saya suruh mereka membuka catatan mereka tentang praktek minggu lalu, karena kita akan mulai writing up. Sambil saya ingatkan lagi apa yang mereka telah lakukan saat praktek Chormatography, saya pisahkan tempat duduk kedua anak ini agar mereka bisa berkonsentrasi secara indivual. Sambil membantu mereka membuat laporan, tak lupa saya puji kemauan mereka untuk bekerja keras mengerjakan tugas. Amazingly, kedua anak yang sebelumnya distraktif ini bisa duduk dan serius mengerjakan laporan praktek tersebut. Malah mereka sendiri bilang mereka ingin terus begini agar memperoleh nilai yang bagus.
Tak terasa waktu pelajaran usai, dan akhir pelajaran Rachel mengakui ini yang pertama kali dia merasakan benar-benar mendapat kelas yang terkontrol sejak menangani kelas tersebut.
Kasus kelas Rachel adalah contoh yang sering terjadi dimana saja, dimana guru menghadapi multi kompleks (inclusive, multiple intelligent) masalah di dalam kelas yang membuat mereka strunggle to cope the situasion by themselves. Solusinya memang need other handy people (orang kedua) di kelas. Di Inggris, sejak awal abad 21 ini pemerintah ‘berekperimen’ dengan mengeluarkan undang2 (pendidikan) inklusif baru yang memberi guru ‘bantuan’ yang diperlukan dalam mengajar kelas inklusif seperti asisten guru, guru bantu (teaching assistant) dan atau istilah2 lainnya (learning support assistant, enabler, etc). Tentunya para orang kedua ini bukan yang berlatar belakang guru - tapi telah di training sedemikian rupa agar bisa membantu siswa di kelas.
Friday, September 19, 2008
Guru: The good, the bad and the ugly
Yang pertama tentu, the Good, guru yang bagus. Guru yang bagus ini adalah guru yang benar2 tulus dalam mendidik siswa/i-nya, semangat mengajar dengan penuh cinta dan dedikasi tinggi bak mendidik dan membimbing anak-anaknya sendiri.
Guru seperti ini - sangat langka secara kuantitas - dan sangat tepat apabila disebut pahlawan, karena kehadirannya kerap bisa merubah dan menentukan nasib seseorang di masa depan. Napoleon Bonaparte adalah seseorang yang sangat beruntung memiliki guru yang bagus ini, yang memberikan kekuatan dan kepercayaan pada karakter yang ada dalam dirinya, sehingga dipuncak karirnya ia masih sempat menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam saat bertemu dengan guru masa kecilnya.
Figur guru yang bagus ini biasanya melekat dihati dan pikiran kita, hingga menjadi dewasa dan beranak cucu, hingga tak heran banyak dari kita berharap anak-anak kita akan seberuntung kita yang memiliki guru yang bagus ini.
Jenis guru yang kedua, the Bad, guru yang jelek. Guru disebut jelek semacam ini biasanya dikarenakan memiliki perilaku yang gemar marah, memukul, suka menjelek2kan, mengolok2 atau menakut-nakuti siswa/i-nya, baik secara fisik maupun mental, sehingga yang ada adalah perasaan tidak nyaman, terpaksa dan ketakutan dalam kelas. Guru semacam ini selain tidak disukai juga bisa berakibat fatal bagi masa depan siswa. Ada anak yang sampai dewasanya tidak pernah punya rasa percaya diri, minder bahkan trauma akibat perlakuan dari orang yang seharusnya mendidik dan membimbing mereka dengan kasih sayang di masa lalu.
Scientist Albert Einstein pernah suatu ketika di'ramal'-kan oleh guru kelasnya sebagai orang yang tidak akan menjadi apa-apa saat dewasa nanti. Ternyata yang terjadi sebaliknya, si Einstein bahkan menjadi scientist terkenal yang masih terus dikagumi hingga detik ini. Tak heran sering orang berkilah, 'Aduh nyesel banget dulu aku dulu nggak suka sama pelajaran ini...., soalnya guruku dulu brengsek banget sih!'. Tetapi guru seperti ini masih bisa berubah menjadi lebih baik apabila mendapat bimbingan atau hukuman yang tepat. Karena tak jarang mereka ini juga menjadi korban kekerasaan saat mereka masih kecil atau masih jadi siswa, sehingga ada keinginan untuk balas dendam.
Tipe ketiga ini yang paling berat, the Ugly, guru jahat. Nah ini guru yang bermanis muka didepan, tapi jahat abis belakangannya. Termasuk dalam kategori semacam ini adalah guru yang cabul atau Phidophile - monster pemangsa anak-anak. Ini guru bejat yang berpura-pura baik di depan siswa, tapi sebenarnya mengincar untuk dijadikan korbannya. Guru tipe ini sulit diprediksi dari penampilan luarnya, karena biasanya berperilaku sopan, alim, father/mother figure, padahal serigala berbulu domba. Misalnya saja ada guru yang memperkosa 39 anak muridnya (di China dan dihukum mati) dan kasus2 lainnya seperti ini:
http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/16/14361132/pak.guru.perkosa.murid.di.kompleks.sekolah
http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/10/03310597/guru.ngaji.sodomi.26.murid.tk
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/25/time/144727/idnews/547334/idkanal/10
Termasuk kategori ini mungkin guru yang memperjualbelikan nilai dengan siswa, guru korupsi, guru pengemis - minta2 sumbangan untuk kepentingan sendiri, dan masih banyak lagi. Guru semacam ini sudah diberantas kecuali diberlakukan hukum yang setimpal bagi pelakunya. Untuk itu perlu diberikan screening yang se-ketat2-nya bagi calon guru, seperti bersih catatan kriminal, dsb. Serta perlu ada pengawasan ketat dari sesama korps guru dan masyarakat yang mengetahui perilaku menyimpang atau tak semestinya dari para guru dimana saja.
Mungkin pembaca ingin menambahkan kategori yang lain, silahkan...
Aplikasi bagus buat guru, siswa, mahasiswa Kimia

Hari ini di kelas Year 13, saya mendampingi anak2 belajar satu applikasi yang diperuntukan untuk mendukung write up Chemistry course work. Aplikasi tersebut bernama ACD ChemSketch (ACD = advanced Chemistry development) - suatu aplikasi yang sangat bagus sekali untuk belajar dan mengajar Chemistry terutama untuk tingkat advanced - seperti untuk sekolah menengah/ kejuruan atau perguruan tinggi.

Computer generated program ini sangat membantu guru dan siswa tidak hanya dalam seperti memvisualkan ikatan antar molekul (bonding) elements - bentuk 2D dan 3D, tapi juga bisa menghitung massa/ weight dan bahkan memberi nama polimers atau product baru tersebut. Juga sangat membantu para guru/ siswa ingin memperoleh gambar atau diagram apparatus yang mereka gunakan saat melaksanakan beberapa experiment dasar seperi distillation, dll.
Juga bisa memperoleh label dan hazard banyak zat-zat kimia yang sangat membantu sekali dalam membuat laporan praktek atau untuk membuat soal-soal latihan kimia.
Sebelum mencoba program ini, terbayang ngelimet dan mumetnya kalau mau membuat laporan kimia yang memerlukan diagram dan gambar molekul, bonding dan polimer. Ternyata setelah 5 - 10 menit mencoba, program ini sangat mudah untuk dioperasikan dan anak2 senang bermain-main mencobanya - karena banyak features yang memberi gambar, graphics dan animasi yang disukai oleh siapa saja.
Yang bagusnya lagi, aplikasi program ini gratis dan bisa di download di internet. Jadi kabar bagus dan sangat berguna sekali buat para guru, siswa dan mahasiswa (Chemists) . Selamat mencoba..
Berikut website untuk mendowload free version-nya:
http://www.acdlabs.com/download/chemsk.html
Monday, September 15, 2008
Profesi Guru Naik Daun…..

Trend seperti ituberlangsung hingga 1997/8, sebelum terjadinya krisis keuangan Asia (credit crunch) yang memaksa Indonesia terjerembab ke resesi ekonomi yang sangat parah, dengan inflasi mencapai ratusan persen dan banyak perusahaan yang tutup. Maka economy buble yang dibanggakan (booming) pun pecah (burst) yang memaksa pemerintah turun tangan menalangi para debtors dan akhirnya menutup bank-bank yang krisis likuiditas keuangannya.
Beralihnya perhatian ke sektor pendidikan ini menjadi bukti nyata adanya shift policy atau U-turn dikalangan pembuat kebijakan yang dulunya 'hidup di menara gading'. Reformasi di bidang pendidikan dijadikan salah jalan keluar bagi banyak bangsa-bangsa yang jatuh untuk kembali bangkit dari krisis – terutama dibidang ekonomi - seperti ditunjukan oleh bangsa-bangsa yang dulunya hancur akibat perang dunia (PD), seperti Jepang dan Jerman.

Guru Baru vs Guru Lama

Pertama pada pertemuan awal dengan para murid guru baru biasanya menghabiskan waktu lebih lama (biasanya 10 – 15 menit pertama-nya) berusaha memperkenalkan dirinya kepada murid – baik itu berbicara tentang asal usulnya atau hal lainnya. Guru lama (begitu disebut agar lebih simple) cenderung lebih sedikit berbicara tentang dirinya. Tetapi guru lama cenderung lebih banyak bicara tentang apa yang akan murid lakukan (expect to find out) dalam pelajarannya. Guru baru melakukan ini karena mereka merasa perlu mendapat respect dari para murid yang baru mereka hadapi ini. Sedang para guru lama (biasanya) merasa sudah mendapat recognition atau sudah percaya diri (PD), maka mereka ingin para murid lebih tertarik pada mata pelajaran daripada berbicara tentang dirinya.
Yang kedua, guru baru biasanya tidak bisa menyelesaikan lesson-nya sesuai timing-nya, atau kalau pun selesai tapi biasanya buru-buru karena dikejar waktu (misalnya memberi kesimpulan secara langsung daripada men-summarise kesimpulan2 yang dibuat oleh murid). Sementara guru lama sangat ketat(rigid ) dengan waktu; mereka mempersiapkan diri lebih baik, bahkan kadang menyetel alarm bagi diri sendiri (5 – 10 mins) agar punya kesempatan menutup pelajaran dengan men-sintesa kesimpulan murid terlebih dahulu kemudian memberi kesimpulan umum.
Ketiga, para guru baru biasanya struggle to control class; misalnya membiarkan siswa ramai bicara sendiri atau para murid bekerja sendiri tanpa di-supervisi. Ini bisa disebabkan karena mereka masih memikirkan dan mengira2 hasil akhir dari suatu kegiatan (diskusi atau praktek) sambil mengajar. Sementara guru lama biasanya sudah punya bayangan dari apa yang telah mereka lakukan sebelumnya, mereka bisa lebih menyetir suasana kelas.
Kebiasaan murid-murid baru adalah mereka menghabiskan banyak waktu untuk saling memperhatikan (pakaian, accessories, gadgets, etc) atau menarik perhatian kawan-kawannya. Sebagian lagi lebih kepada mengagumi (atau sebaliknya), daydream fisik ruangan dan fasilitas yang ada di dalam kelas, dll; sehingga konsentrasi mereka pada guru dan pelajaran biasanya sangat mudah terganggu.
Guru baru sering tidak mengantisipasi hal ini dan membiarkan, sehingga mereka nantinya harus bekerja lebih keras untuk membuat murid focus ke pelajaran kembali. Sementara guru lama yang sudah mengantisipasi ini akan terus menerus mengingatkan dan berusaha dragging student’s attention dari hal-hal seperti ini agar suasana kelas tetap terkontrol. Dengan melakukan hal ini, biasanya guru lama yang menegur satu-satu atau sekelompok siswa secara langsung, biasanya berhasil mempertahankan respects dari muridnya, dan tentu kontrol kelas. Sementara guru baru yang cenderung membiarkan (karena biasanya berusaha to win students’ hearts and minds) hasil sebaliknya yang didapatkan, yaitu murid menjadi kurang respect (menghargai). Mereka kadang-kadang harus berbicara dengan nada tinggi untuk mengontrol kelas yang mulai tak terkendali.
Meskipun guru lama cenderung lebih bisa (relatif) lebih mengontrol kelas dengan cara yang sedikit autocratic, sering mereka kurang memahami kebutuhan murid (seperti daya tangkap dalam pelajaran yang tidak merata) – karena lebih mementingkan kontrol kelas. Tidak heran kadang-kadang murid yang duduk dibelakang, atau dipojok, atau yang malu bertanya sering terlewatkan oleh perhatian guru. Untuk itu perlu dibuat keseimbangan antara mengontrol kelas lebih efektif misalnya dengan berkeliling kelas dan langsung mengecek, tanya jawab daya tangkap siswa secara lisan atau tulisan (jika memungkinkan).
Monday, September 08, 2008
Diary - Monday 8 September 2008

Dimulai oleh Principal yang menyampaikan statistics apa saja prestasi college misalnya dari hasil ujian nasional 98% siswa tahun lalu berhasil menuntaskan sekolah (naik dari 97% tahun sebelumnya dan diatas rata2 rate nasional). Dan 100% lulus pada 33 mata pelajaran (naik dari 28 sebelumnya). Ada 111 siswa dari 1500 siswa tahun akhir yang memperoleh nilai A antara 3 - 4 mata pelajaran. 850 siswa berhasil mendapat tempat di university setelah melalui seleksi ketat, panjang dan cukup melelahkan tentu.
Kemudian giliran deputy bag. kurikulum yang mempresentasikan beberapa profil siswa tahun lalu yang berhasil. Misalnya siswa2yang mendapat nilai A disemua mata pelajarannya (A level, beberapa diantaranya menyabet top 5 atau top 10 of the country) dan tembus kuliah di Cambridge, Oxford dan uni2 besar lainnya. Tahun ini profil2 yang ditampilkan adalah 3 orang white (kuliah di Cambridge, Oxford & Manchester) dan 3 orang Asian (kuliah di Aston University). Sayangnya profil dari Blacks dan ethnics lainnya tidak muncul, atau mungkin memang tidak ditemukan yang memenuhi criteria ‘berhasil’ ini. Tentu saja details lebih lengkap prestasi ini juga bisa diakses oleh public di website sekolah.
http://www.solihullsfc.ac.uk/news/latest/seeing-double-%11-twin-exam-success/
http://www.solihullsfc.ac.uk/news/latest/oxbridge-success/
http://www.solihullsfc.ac.uk/news/latest/top-marks-at-advanced-level/
Yang menarik adalah paparan dari head of faculty yang menyampaikan 'Recipe for success' yang menurutnya disusun berdasarkan pengalaman puluhan tahun menjadi staff pengajar di college. Isinya norma2 umum, apa yang harus dilakukan siswa jika ingin sukses, seperti belajar sungguh2 sesuai kemampuan, atur waktu sebaik2nya, dengar arahan dan saran dari guru dan staff pembimbing, selalu kontak bila mengalami kesulitan belajar atau tidak hadir, hadir dan datang tepat waktu (punctual) agar success dalam belajar, tidak bekerja part time lebih dari 9 jam per minggu, dll. Tentu saja resep ini dibuat dari point of view-nya college, yang tentu sangat subjektif sekali. Namun saran sederhana ini terbukti mampu membuat siswa memperoleh hasil yang lebih baik setiap tahunnya.
Kemudian di tutup dengan menonton video clip tentang student council (kira2 samalah dengan OSIS = organisasi siswa intra sekolah), dimana tentu menghimbau anak2 untuk turut serta aktif didalam council sebagai representasi siswa dalam struktur sekolah. Yang menarik yang menjadi ketua tahun ini adalah siswa yang cacat - artinya tidak ada hambatan bagi mereka2 yang ada hambatan secara fisik, selama ada kemauan.
Friday, September 05, 2008
Friday 5 September 2008
Hari ini pelaksanaan induction untuk kelas 12 di mulai. Sejak pagi para guru dan kepsek sibuk menyambut para siswa baru dan lama di dekat ruang tamu (reception) dan membantu memberikan informasi dimana para tutor mereka berada. Dikelas para tutor (guru wali) yang bertanggung jawab selama mereka belajar (2 th) sudah menunggu. Pertemuan dimulai dengan perkenalan singkat, dilanjutkan penjelasan tentang program studi mereka (termasuk nama staff & ruangan2 yang penting untuk diketahui). Kemudian anak2 diajak tour keliling sekolah untuk mengenali dimana mereka akan belajar, dengan siapa saja mereka berhubungan, dan jika mendapat kesulitan kemana mereka harus pergi. Yang terpenting adalah mereka tahu dimana ruang ketua program, r.guru, r.konseling dan karir, dan learning support dept. Tak lupa diperkenalkan fasilitas sekolah: perpus, kantin, sport facilities dan ruang kerja/ computer. Setelah istirahat beberapa menit, tutor kembali menjelaskan tentang misi sekolah, peraturan umum sekolah dan access fasilitas sekolah dll, dengan memancing diskusi antar mereka daripada sekadar 'pemberitahuan' atau membaca pengumumam2.
Di salah satu kelas saya bertemu dengan beberapa siswa dengan learning difficulties. Salah satunya Mas AB, yang mengalami dispraxia dan asperger. Pria jangkung yang cukup asyik untuk ngobrol ini mengambil program Double Award Applied science dan AS Ancient History. Didalam kelas dia perlu support dikarenakan: slow writing, perlu notetaker yang membantu membuatkan catatan dan identifying main points. Dia juga perlu support of enabler in lessons and 1:1 support for 1 hour per week yang membantu organisasi belajarnya seperti keeping an organised folder, filing & dating work, using a diary and remembering deadlines.
Satu hal yang jelas bagi anak dengan dyspraxia seperti AB adalah poor handwriting-nya, selain sulit terbaca juga lamban. AB terlihat kurang suka membuat catatan selama induksi berlangsung. Saya belum tahu dengan AB, tapi tahun lalu saya bertemu dengan siswa dengan dislexia dan dispaxia yang sulit menulis kalau menggunakan pen dan kertas, tapi kalo sudah di depan komputer dan memegang keyboard dengan brilliant bisa membuat karya tulis/ coursework yang selalu bernilai merit atau distinction. Jauh lebih bagus dari anak2 yang dikategorikan 'normal'.
Menurut informasi yang saya temukan di internet: para penderita dispraxia sejak kecil memiliki kesulitan seperti memakai baju sendiri, mengikat tali sepatu, naik sepeda, sulit menggunakan pena dan suka makan/ minum berhambur2an karena kesulitan mengontrol kemampuan motoric dan kordinasi-nya. Penyebab dispraxia sendiri berbagai ragam salah satunya perkembangan sel2 otak yang kurang sempurna pada saat balita atau karena kekurangan oksigen sangat dilahirkan.
Yang membuat suprised untuk tahun ini adalah ratusan siswa yang berlatar belakang disabled dan atau with learning disabilities (naik dari sekitar 90an tahun lalu). Salah seorang guru yang khusus mensupport anak2 ini mengatakan untuk kelas 12 ini saja (yang baru) dia mendapat 6 orang anak, belum lagi yang dari kelas 13 katanya (baru mulai Rabu minggu depan). Dibandingkan 20 tahun yang lalu college ini menjadi more diversity dari sebelumnya yang hanya didominasi white & middle class. Dari seluruh 2500 siswanya, 40% dari ethnic minorities, ada 30 macam bahasa spoken, dan ratusan anak2 berlatar belakang cacat/ with specific learning difficulties.
Beberapa diantaranya adalah allergies, anaphylaxis, asthma, chronic fatigue syndrome atau ME, diabetes, epilepsy, haemophilia, dan masih banyak lagi yang sedih rasanya kalau dituliskan.
Membaca data anak2 cacat yang beraneka ragam itu - sangatlah membukakan hati saya, karena betapa banyak anak2 yang terlihat sehat dan bugar itu ternyata banyak yang memiliki kondisi fisik, mental dan emosional-nya bagi orang awam: tidak normal. Tetapi ternyata mereka adalah bagian dari society/ masyarakat yang secara aktif berinteraksi satu sama lain menjadi suatu bangsa.
Jadi sebenarnya program inklusif dalam pendidikan itu sebenarnya sangatlah baik, baik berupa pembelajaran bagi semua (dalam hal demokrasi, HAM, teloransi, kerjasama, gotong royong, dll) termasuk untuk mempersiapan anak2 untuk hidup, berkembang dan berinteraksi didalam masyarakatyang sebenarnya. Dengan begitu gesekan2 didalam society karena adanya perlakuan rasisme, diskriminasi, anti emansipasi, intolerance, perlakuan bersifat/dasar SARA dan perbedaan social class - yang merupakan penyakit masyarakat - bisa diminimalisir sedemikian rupa.
Notes: Setuju pendidikan inklusif diterapkan di setiap sekolah.
Wednesday/Thusday, 3/4 September 2008
Kesibukan para guru dan staff hari ini kurang lebih sama dengan kemarin, hanya saja siswa pendaftar ulang/ baru sudah berkurang sehingga sudah ada persiapan untuk mempersiapkan penjadwalan dan pembagian kelas. Meskipun ini sifatnya masih sementara, karena 2 minggu setelah sekolah kembali normal, para siswa masih diberikan kesempatan untuk mengubah mata pelajaran yang akan mereka ambil tahun ajaran ini, tentu saja setelah disetujui oleh pihak fakultas dan program studi.
Hari ini saya membaca beberapa karangan para siswa yang dianalis untuk keperluan mengidentifikasi tingkat kesulitan belajar siswa (ESOL, SLDD, SpLD, punctuation, spelling, expression, slow speed writing, etc). Ada beberapa konten yang sangat menarik dari tulisan anak2 ini, karena karangan spontan ini selain kadang2 menunjukan tingkat kepolosan dan kejujuran mereka selain tentu saja tingkat intelegensi mereka. Beberapa tulisan menggambarkan tentang latar belakang keluarga, asal muasal keluaga berasal (dari negara lain), ayah/ibu yang terpisah, jumlah saudara/i dan lingkungan dimana mereka tinggal (kurang aman/bersih/tidak sehat, tetangga yang individualis/ribut, dll).
Ada pula yang memilih juga yang menggambarkan tentang sekolah mereka; ada yang positif, ada tidak yang tidak. Misalnya karena punya pengalaman2 yang berhubungan dengan ketidakadilan yang dialami baik dari yang namanya kepsek, guru dan teman2 mereka. Kebanyakan dari yang negatif ini, menemukan jalan keluar dari kesulitan ini setelah menemukan sahabat/ teman dekat (peers). Ini menunjukan faktor peers sangatlah berpengaruh bagi siswa, selain tentu faktor dorongan/ perhatian orang tua, guru, lingkungan dan lainnya (kesulitan bahasa, belajar, dll).
Ada pula tulisan yang bernada liberal atau yang membawa miris, misalnya pengakuan anak 18 tahun yang memuja setan, menjadi anggota gereja setan dan hobby dan tingkat kreativitasnya di dedikasikan dengan menggambar tubuhnya (tidak jelas apakah yang dimaksud disini adalah tatoo)। (Hii jadi ngeri karena ada berita gimana anggota gereja setan membunuh dan memakan daging para korbannya di Russia)*. Ada juga tentu yang menulis tentang harapan mereka selama menempuh pendidikan di college baru.
Aktivitas mengarang bebas ini sebenarnya sangatlah membantu para guru dan tentu pemerhati anak/ siwa untuk map out kemampuan dan serta jalan pikiran siswa (thinking, reasoning development)। Selain mengamati dari perubahan perilaku (bicara, tindakan, ucapan, gaya berpakaian, life style, dll), banyak hal yang bisa dipelajari dan perlu diketahui untuk keperluan identifikasi masalah dalam belajar, dalam keluarga, dalam pergaulan serta tentu saja ‘to spot’ potensi masalah dalam perkembangan kejiwaan siswa। Jadi ingat beberapa waktu lalu ada seorang mahasiswa di AS yang membunuh kawan2 dan dosen tempat dia belajar dengan darah dingin। Belakangan terungkap, si psikopat ini sebenarnya sudah terdeteksi dari karya tulis dalam satu mata pelajaran yaitu English/ Drama-nya, dimana dia menulis tentang kekerasan dan pembunuhan. Sayang identifikasi awal dari salah seorang pengajar si
mahasiswa kurang mendapat respond dari pihak2 terkait, jika tidak kejadian tragis itu mungkin bisa dicegah...
* Baca: Pembantaian Geng Iblis
http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/16/11521045/ditikam.666.kali.dipanggang.lalu.dimakan
1 & 2 September 2008
Awal ramadhan kali ini yang lebih panjang dari tahun2 sebelumnya. Imsyak jam 4.30 pagi dan buka jam 8 malam. Hari ini di college semua masih melayani pendaftaran siswa baru dan daftar ulang siswa lama. Sejak libur dari 20 Juli – mulai college mulai sibuk lagi sejak pertengahan Agustus. Semua staff terlihat hadir dan sibuk dengan kegiatannya masing2. Para guru mata pelajaran terlihat sibuk mempersiapkan bahan ajarnya masing2, termasuk membuat format absensi & penilaian, lesson plans, bahan pengayaan/ soal atau kuis, aktivitas di dalam dan diluar kelas, dll (dalam files dalam bermacam aplikasi seperti word, excel, power point, dll).
Mereka membuat riset yang sebagian dilakukan dengan mengakses internet (membuat text, gambar, aplikasi, audio & visual aids online) dan pengolahan bahan2 ajar lainnya diambil dari bahan2 yang telah ada didalam college setelah mereka beli hak pakainya. Semua dikerjakan oleh masing2 individu, sesuai tugas dan kewajibannya.
Mereka yang punya tugas tambahan (biasanya staff senior) ada mewawancari calon siswa, menanyakan persyaratan administrasi, mengumpulkan data siswa/ orang tua, (termasuk data kesehatan & disability), serta mengindetifikasi apa kebutuhan dan kelemahan calon siswa terutama mereka yang cacat fisik/emosional/mental dan memerlukan support tambahan.
Siswa juga diminta mengarang dalam waktu beberapa menit yang hasilnya di analisis untuk identifikasi kemampuan bahasa (Inggris) dan kesulitan2 lainnya (e.g. dyslexia, dispraxia, spelling, dll).
Staff administrasi dan staff lainnya juga sibuk, dari mengolah data, menerima dan mengantar keliling college orang tua/wali murid, hingga persiapan kelas dan sekolah. Kepala sekolah pun sibuk turun tangan menyambut siswa, orang tua dan membantu mengorganisasi di lapangan. Justru para wakil kepsek (kurikulum dan resources) yang justru terlihat sibuk hanya di ruangnya sendiri beserta staff. Meskipun sekolah belum mulai officially, kesibukan sangatlah terasa. Tak heran kalo para staff ini sangat menghargai waktu libur mereka – karena beban kerja sudah terukur dan terencana.
Meskipun demikian birokrasi college juga terlihat sangat kental, karena ada saja para staff yang kerjanya agak kurang kelihatan atau hanya menunggu (terutama admin), dikarenakan masalah birokrasi seperti menunggu perintah dan kurang adanya koordinasi/ sinergi antar departemen.
Tuesday 2 September 2008
Masih seperti kemarin, para guru tetap berkutat dengan tugas persiapan bahan mengajarnya. Saat ini belum semua daftar nama siswa yang masuk tersedia, sehingga persiapan masih seputar rencana2 yang akan dibuat, berapa kelas yang mereka punya, berapa siswa per kelasnya, berapa jam mengajar yang akan dimiliki (didalam koridor waktu kerja mereka dalam seminggu – 40 jam/ minggu atau 21 jam untuk yang part timer). Apabila mendadak ada guru yang sakit, pensiun atau pindah saat inilah terjadi perubahan2. Dari yang biasanya mengajar dan bekerja 20 jam/ minggu (part time) menjadi bisa full time dan sebaliknya. Tidak semua puas dengan keputusan akhirnya memang, dan para staff sadar akan hal ini tapi semua tentu berdasarkan kontrak kerja.
Akhir minggu ini rencananya para guru sudah menerima jadwal mengajar sementara. Para guru 'senior' terlihat sibuk mengecek, mengarahkan, membantu para guru baru (tidak harus lebih muda - karena mereka bisa lebih tua dari si 'senior' tapi baru disini) mempersiapkan bahan2 mengajarnya. Tak jarang bahan2 mengajar yang sudah dibuat si guru diutak atik lagi oleh si senior untuk memastikan tidak ada kesalahan atau kekurangan yang terlewatkan. Para guru2 ini biasanya bekerja di staff room yang dilengkapi computer dan akses internet yang terletak sangat sentral dalam college sehingga mudah diakses dari mana2.
Staff personalia sibuk mendata2 para staff baru yang masuk serta mempersiapkan kebutuhan2 mereka seperti lockers, tempat parker, access computer dll. Para staff baru semuanya (tanpa melihat posisi apakah admin, guru, teknisi, dll) mengikuti program induksi wajib bersama2. Para teknisi laboratorium, computer dan hard wares lainnya sibuk dengan persiapan dan pengecekan bahan2 yang akan dipakai. Staff lainnya memeriksa fungsi/memelihara alat2 dan fasilitas sekolah seperti lift, atap, bangunan dll agar benar2 aman saat digunakan.
Yang menarik ada beberapa staff pengajar yang mengungkapkan ketidakpuasan terhadap pemangku manajemen sekolah. Salah satunya adalah seorang guru Matematika dari Mesir yang kebetulan bergelar Master dan dipercaya menjadi koordinator pengajar matematika untuk level intermediate (sejajar kelas 1). Dia telah mengajukan keinginan untuk melanjutkan S3/ doctoral (melalui skema equal opportunities untuk para staff) dan sebelumnya pihak college sudah setuju untuk mendukungnya. Hanya saja setelah mendaftar ternyata oleh universitas diharuskan membayar sekitar £3500 per tahun (sama dengan tuition fee-nya home students). Ternyata terjadi dispute, karena pihak college tidak happy dengan fee sebesar itu (yang harus dibayar oleh college). Padahal si guru sudah mencari kesana kesini jurusan yang diinginkan dan begitu dapat; pihak university juga memberi kelonggaran untuk hanya hadir seminggu sekali tatap muka (artinya tidak terlalu banyak meninggalkan tugas di college).
Kasus kedua, seorang guru senior Biology yang bertanggungjawab terhadap beberapa guru muda dan juga wakil union para guru yang cukup disegani, juga menunjukan ketidakpuasan kepada pihak manajemen, karena merasa banyak permintaan/usulan para staff – yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar, bukan kesejahteraan - yang seharusnya dipenuhi oleh manajemen ternyata tidak diberi.
Penyebab dua kasus ini terjadi sebenarnya adalah masalah ‘kontrol dana’ atau pengeluaran yang sangat ketat oleh manajemen yang dirasakan ‘tidak adil’ atau kurang akurat atau tidak memihak para guru yang dirasakan oleh staff pengajar. Sebagian menyalahkan prioritas college yang dirasakan kurang pas oleh beberapa staff. Misalnya untuk memformulasikan misi (& visi) statement yang baru, pihak manajemen mengeluarkan uang ribuan £ untuk membayar seorang konsultan. Dimata para staff ini hanya buang2 uang karena untuk membuat 1 kalimat sebagai misi sekolah banyak dana yang keluar, sedang mereka tidak dilibatkan dalam formulasinya (konsultasi). Padahal mereka nanti yang harus mensosialisasikan hal ini kepada para siswa.
Sementara itu banyak permintaan dari staff misalnya dana tambahan untuk seperti men-hire staff pengganti bagi staff yang sakit (bisa dengan pengangkatan staff baru atau dari agensi) tidak diberi. Ini tentu saja akanmenjadi tugas dan beban bagi staff lama karena harus mengajar lebih banyak jam dengan gaji tetap dan waktu persiapan yang tentu lebih banyak dari sebelumnya (tambah stress & overloaded work). Ini adalah salah satu suara tuntutan ketidakpuasan staff yang sayangnya tidak terlalu bergema, dan mendapat dukungan dari staff lain (apatis). Ibaratnya banyak para staff yang tiarap atau hanya berani omong dibelakang doang karena banyak usulan2 dari bawah yang membentur dinding birokrasi tanpa kejelasan apa dan mengapa alasan keputusan2 tertentu diambil oleh pihak manajemen. Apakah ini dimungkinkan karena mereka takut tidak diperpanjang kontraknya atau hanya sikap apatis saja? Ini bisa saja bersinergi menjadi satu. Yang jelas terasa adanya resistansi meskipun cenderung masih dibawah permukaan saja.