Kaltimpost, Sabtu, 13 November 2010 ![]() ENJOY: Walau mengajar di sekolah pinggiran, Barlin Hady Kesuma mengaku lebih enjoy.(faroq zamzani/kp) Cinta pertama Barlin Hady Kesuma tertanam di SMP 12 Samarinda. Sekolah menengah pertama di pinggir kota. Kemapanan hidup di Inggris, tak menggodanya untuk berlama-lama di negara yang warganya “memuja” sepak bola. KINI Barlin tak lagi bisa menyaksikan langsung klub favoritnya Aston Villa kala berlaga di markasnya yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya di Birmingham, Inggris. Salaman dengan Michael Owen, pemain gaek yang kini bergabung di Manchaster United pun hanya jadi sebuah cerita manis ketika di Inggris. Tawaran gaji GBP 40 ribu per tahun sebagai peneliti dan pengajar di Sixth Form College, Solihull, Inggris, yang dulu pernah disodorkan kepadanya, kini hanya ada di bayang-bayang. Ayah dua anak itu memilih meninggalkan “kemewahan” itu untuk memilih kembali ke Samarinda. Kembali ke tanah kelahirannya. Kembali untuk bisa mengabdi untuk bangsa dan negaranya. Kembali untuk memperbaiki dunia pendidikan Indonesia yang menurutnya masih carut-marut. Walau kembalinya dia dan keluarganya itu harus menanggung setumpuk konsekuensi. Harus mau hidup pas-pasan. Mengajar di sekolah pinggiran. Gaji pokok guru yang sudah habis sebelum akhir bulan. Dan lainnya, dan lainnya, dan lainnya. “Waktu saya mau kembali ke Indonesia, kawan-kawan saya di Inggris banyak yang menyesalkan. Mereka bilang di Indonesia masih belum jelas. Apa mau meninggalkan kehidupan yang sudah mapan di Inggris. Sudah ada mobil dan rumah. Kalau pulang, kata teman saya, gelar tak akan dihargai,” kata Barlin, panjang menjelaskan desakan kawan-kawan senegaranya di Inggris. |
Total Pageviews
Saturday, November 13, 2010
Management of Change: Mengajar di Sekolah 'Pinggiran'
Sunday, November 07, 2010
Profesi Guru Bergeser: Hanya Mengajar, Tak Lagi Mendidik
Profesi Guru Bergeser
Hanya Mengajar, Tak Lagi MendidikPROFESI guru semakin dipertanyakan. Guru yang setianya dikenal sebagai pendidik, semakin kehilangan jati diri. Itulah yang diungkapkan Sekretaris Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kota Samarinda, DR Barlin Hadi Kesuma SPd Med.
"Cobalah, kita bertanya pada orangtua kita dahulu. Betapa mulianya profesi guru. Tapi, sekarang terjadi pergeseran profesi guru. Saat ini, guru hanya mengajar bukan lagi sebagai pendidik. Maka, kita jangan heran apabila guru tidak lagi dihormati siswa," ungkap Barlin.
Menurutnya, untuk menyelesaikan masalah pendidikan, tidak bisa diselesaikan satu pihak. Untuk itu, yang utama kata Barlin, adalah mengubah mental guru terlebih dahulu.
"Kalau saya melihat, banyak guru-guru kita yang sudah merasa hebat dan merasa pintar. Minim sekali guru yang mau belajar lagi. Padahal, tidak ada guru yang super," kata guru SMPN 12 lulusan Master of Education (S2) dan Doctor of Education (S3) di University of Birmingham ini.
Karena merasa hebat inilah, menurut Barlin, timbul perasaan bangga dan sombong. Hal inilah yang membuat mental guru menjadi rendah.
Saat mengajar di The Sixth Form College, Solihull, United Kingdom, banyak pengalaman berharga yang bisa didapatkan Barlin.
Menurutnya, guru di Indonesia termasuk beruntung karena telah memiliki kurikulum dan tinggal mengembangkannya.
"Saya berteman dengan beberapa profesor dari Inggris, Amerika, Mesir hingga Afganistan. Dan guru di Afganistan itu, harus membuat kurikulum sendiri, membuat materi sendiri dan mengembangkan sendiri. Bayangkan, betapa sulitnya mereka yang tinggal di daerah konflik. Karena itu, kita patut bersyukur," kata Barlin.
Pendidikan yang bisa diadopsi dari luar negeri adalah pentingnya pendidikan karakter. Menurutnya, karakter anak didik akan menentukan masa depan bangsa.
Tidak heran, apabila Barlin setuju dengan program pemerintah yang menggalakkan pendidikan karakter.
"Di luar negeri, salah satunya Inggris, pendidikan karakter yang utama. Karena, kita ini ada dua kurikulum yaitu yang tertulis dan tidak terulis," paparnya.
Kurikulum tertulis, yang dimaksud Barlin adalah kurikulum dari pemerintah. Sementara yang tidak tertulis adalah pendidikan karakter.
"Misalnya, tidak membuang sampah sembarangan hingga prilaku hidup sehat. Itu kan tidak tertulis di kurikulum," tambahnya.
Karena itu, menurut Barlin, sebagai panutan guru harus menjadi contoh.
"Kalau guru meminta siswa disiplin, harus dimulai dari gurunya sendiri. Seperti di tempat saya mengajar di Inggris. Guru, meminta siswa menghemat energi dan guru pun memberikan contoh dengan mengendarai sepeda ke sekolah," pungkas Barlin. (ici)
Thursday, October 21, 2010
Pembangunan Karakter: Boediono Kagumi Etos Kerja Bangsa China
Kamis, 21 Oktober 2010 | 07:15 WIB
BEIJING, KOMPAS.com — Etos kerja masyarakat China dan mendorong tingkat produktivitas yang tinggi membuat kekaguman tersendiri bagi Wakil Presiden Boediono.
Sering kali kalau di kita, kebijakan itu sudah cukup baik. Hitung-hitungannya cukup baik, landasan dan falsafahnya juga sangat mendalam mendukung. Namun, ternyata itu di atas kertas.
Selama lawatannya tiga hari di Nanning dan Beijing, China, 18-20 Oktober lalu, Wapres Boediono merasakan etos kerja yang tinggi itu dilandasi dengan sikap dasar dan kedisiplinan masyarakat yang terbangun melalui pendidikan sejak usia dini.
Wapres Boediono menyatakan hal itu kepada masyarakat Indonesia yang bertatap muka dengannya di Wisma Duta Kedutaan Besar RI di Beijing, China, Rabu (20/10/2010) malam.
"Jadi, masalah pendidikan itu menjadi faktor yang bisa kita pelajari lebih jauh. Dari sikap dasar dan kedisiplinan yang tinggi itulah, akhirnya mereka menciptakan tingkat produktivitas yang tinggi negara tersebut dibandingkan negara-negara lainnya, termasuk negara maju," ujar Wapres Boediono.
Namun, tambah Wapres Boediono, yang akhirnya menciptakan kemajuan di negara tersebut tak hanya sikap dasar dan kedisiplinan masyarakatnya.
"Akan tetapi, juga adanya kekuatan 'mesin' pemerintahan yang bekerja secara menyeluruh dari atas hingga ke tingkat paling bawah di birokrasi dengan baik," jelasnya.
Satu komando
Menurut dia, kebijakan yang ditetapkan dapat dijalankan sampai ke bawah dengan satu komando dan tidak belok ke kanan atau belok ke kiri.
"Sering kali kalau di kita, kebijakan itu sudah cukup baik. Hitung-hitungannya cukup baik, landasan dan falsafahnya juga sangat mendalam mendukung. Namun, ternyata itu di atas kertas," ungkap Wapres lagi.
Faktor lain yang mendukung kemajuan China, kata Wapres, adalah sistem politik dan lainnya yang membuat sistem pemerintahan bekerja dengan baik.
"Ini tentu juga menjadi pemikiran dan tantangan kita yang memiliki sistem berbeda," ujarnya. Wapres Boediono juga menyatakan, selain itu didukung pula konsistensi kebijakan dan kesinambungan serta kemampuan dan gaya diplomasi khas China.
"Jika itu semua bisa dipelajari, barangkali Indonesia akan bisa melaju lebih cepat lagi," demikian Wapres menambahkan.
Wednesday, October 06, 2010
Why 'Vocational' Education
Wednesday, September 15, 2010
Friday, September 10, 2010
Happy Eid Mubarak 1431 H
May God's peace and blessings be upon you
Wishing you a very Happy Eid Mubarak.
May the Mercy & Blessing's of the Almighty be with you, your family, and friends during this auspicious Eid Blessings Day and continue to be always, and May Allah (swt) have accepted all our prayers/duas during this blessed month of Ramadan, insha'Allah (God Willing).
May your year ahead continue to be filled with a healthy, wealthy, and prosperity life, and May you have a Joyous and Spirited Eid Mubarak (Blessings) day with all your dear ones, including people of all faiths and humanity, filled with Love, Peace, and Happiness .... Ameen
Have A Most Blessed Festival Of Nature.
All the best
Barlin
Wednesday, September 08, 2010
Why do Finland's schools get the best results?
By Tom Burridge
BBC World News America, Helsinki
Last year more than 100 foreign delegations and governments visited Helsinki, hoping to learn the secret of their schools' success.
In 2006, Finland's pupils scored the highest average results in science and reading in the whole of the developed world. In the OECD's exams for 15 year-olds, known as PISA, they also came second in maths, beaten only by teenagers in South Korea.
Education in South Korea In South Korea, the school day is long and pupils have a much stricter study regime.
This isn't a one-off: in previous PISA tests Finland also came out top.
The Finnish philosophy with education is that everyone has something to contribute and those who struggle in certain subjects should not be left behind.
A tactic used in virtually every lesson is the provision of an additional teacher who helps those who struggle in a particular subject. But the pupils are all kept in the same classroom, regardless of their ability in that particular subject.
Finland's Education Minister, Henna Virkkunen is proud of her country's record but her next goal is to target the brightest pupils.
''The Finnish system supports very much those pupils who have learning difficulties but we have to pay more attention also to those pupils who are very talented. Now we have started a pilot project about how to support those pupils who are very gifted in certain areas.''
Late learners
According to the OECD, Finnish children spend the fewest number of hours in the classroom in the developed world.
This reflects another important theme of Finnish education.
Primary and secondary schooling is combined, so the pupils don't have to change schools at age 13. They avoid a potentially disruptive transition from one school to another.
Teacher Marjaana Arovaara-Heikkinen believes keeping the same pupils in her classroom for several years also makes her job a lot easier.
''I'm like growing up with my children, I see the problems they have when they are small. And now after five years, I still see and know what has happened in their youth, what are the best things they can do. I tell them I'm like their school mother.''
Children in Finland only start main school at age seven. The idea is that before then they learn best when they're playing and by the time they finally get to school they are keen to start learning.
Less is more
Education in the United States "If education is expensive, try ignorance"
Finnish parents obviously claim some credit for the impressive school results. There is a culture of reading with the kids at home and families have regular contact with their children's teachers.
Teaching is a prestigious career in Finland. Teachers are highly valued and teaching standards are high.
The educational system's success in Finland seems to be part cultural. Pupils study in a relaxed and informal atmosphere.
Finland also has low levels of immigration. So when pupils start school the majority have Finnish as their native language, eliminating an obstacle that other societies often face.
The system's success is built on the idea of less can be more. There is an emphasis on relaxed schools, free from political prescriptions. This combination, they believe, means that no child is left behind.
Story from BBC NEWS:
http://news.bbc.co.uk/go/pr/fr/-/2/hi/programmes/world_news_america/8601207.stm
Published: 2010/04/07 15:19:11 GMT
Saturday, May 15, 2010
FAKTA SEPUTAR UJIAN NASIONAL
1. Menambah beban belajar siswa
2. Membuat stress siswa dan keluarganya
3. Membuat sekolah sekolah kehilangan ruh sebagai tempat belajar
4. Menumpulkan kreativitas (guru & siswa)
5. Mendorong pendidikan hanya sekadar lulus ujian/ dapat ijazah semata
Noah and Eckstein (1992, hal 149)
http://www.tribunnews.com/2010/04/28/siswi-yang-bunuh-diri-itu-ternyata-peraih-nilai-tertinggi
6. Proses belajar mengajar disekolah tereduksi menjadi sekadar ‘teaching to the test’ atau mengajar apa yang diteskan dalam UN semata (Kesuma, 2001, hal 8)
7. Berasal atau meminjam model dari Negara maju (developed) yang belum tentu tepat untuk kondisi Negara berkembang (developing countries), suatu policy/ kebijakan di dukung sepenuhnya oleh World Bank (Bank Dunia) yang siap member hutangan bagi Negara yang membutuhkan. (Noah and Eckstein, 1992, Hal 4)
8. Tujuan UN yang hanya menilai kognitif siswa bertentantangan dengan tujuan pembelajaran menitik beratkan pengembangan dibidang kognitif, afektif dan psikomotorik anak/ siswa secara proporsional. Tidak kelihatan bedanya kerja keras siswa (value added achievement) dari sekolah pinggiran, dari keluarga tidak mampu dan sarana prasarana sekolah yang minim dengan siswa dari sekolah favorit, dari keluarga mampu dan sarana prasarana sekolah yang wah.
9. Kebijakan UN hanya terbatas pada melihat hasil akademik yang terbatas, ‘mengganggu’ penyelenggaran pembelajaran di sekolah, dan menggunakan jenis penilaian yang tidak memberikan motivasi (guru dan siswa) untuk belajar dengan sesungguhnya. (Broadfoot, 1988, hal 161-162)
10. Penilaian hasil belajar dengan cara pilihan ganda dan atau jawaban essay singkat sangat tidak reliable. Karena tidak dapat mengakses tingkat berpikir, kemampuan memecahkan masalah, kreativitas dan inisiatif siswa. (Davey and Neill, 1991)
11. Guru sibuk memborbardir siswa dengan soal-soal yang banyak, memperkenalkan ‘magic tricks’ bagaimana menjawab soal dengan efektif. Kelas menjadi tidak menyenangkan, mengajar menjadi serius dan jauh dari mengembangkan kreativitas. Guru menekan siswa untuk ‘menghafal’ isi kurikulum. Semakin menjelang UN, guru semakin sibuk dan tegang.
12. Siswa semakin stress dan sibuk karena semakin menjelang UN, semakin tegang untuk belajar lebih keras, mengikuti jam belajar extra lebih banyak, dan mengerjakan tugas atau PR lebih banyak dari gurunya. Hal ini membuat anak-anak terganggu secara fisik dan mental karena kecapaian, ketegangan, kegelisahan dan ketakutan tidak lulus UN.
13. Pemerintah pusat dan daerah menghabiskan banyak anggaran dengan jenis ujian yang tidak jelas tingkat efektivitasnya dalam meningkatkan standard dan kualitas pendidikan pendidikan nasional dan daerah. Kebanyakan sekolah bingung mencari dana untuk membiayai ujian nasional utama dan ulangan.
http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2010/03/18/brk,20100318-233447,id.html
14. Soal UN memiliki masalah validitas dan reabilitas. Meskipun kurikulum yang berlaku disekolah adalah KTSP atau bervariasi di setiap sekolah, namun SKL dan kisi-kisi masih dibuat dan ditentukan oleh pusat. Selanjutnya, tidak semua soal telah diteskan/ dipilotkan secara proporsional diseluruh wilayah Republik Indonesia. Contoh banyak soal yang menggunakan bahasa Metropolitan yang sama kepada semua siswa yang berbeda latar belakangnya (daerah terpencil, desa dan kota), soal banyak men-generalisir (menyamaratakan) kemampuan siswa yang berbeda-beda.
15. Hasil ujian tidak pernah dipakai sebagai feedback atau masukan untuk meningkatkan hasil belajar siswa dan memperbaiki pedagogis guru. Lebih sering sekolah ‘yang berhasil’ (biasanya sekolah favorit, dengan SDM guru yang lengkap dan sarana prasarana yang memadai) yang terus mendapat perhatian dan kucuran dana. Sementara sekolah yang ‘kurang berhasil’ tidak pernah mendapat perhatian.
16. Anggaran penyelenggaran UN setiap tahunnya sangat besar (Rp 524 M tahun 2010), tetapi tingkat efektivitasnya dalam memajukan pendidikan perlu dipertanyakan hasilnya.
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=43015
Alternatif lain untuk penyelenggaraan UN adalah penilaian berbasis kinerja siswa (performance assessment), yaitu menilai apa yang siswa ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Sistem penilaian ini melibatkan observasi, dokumen (porto folio) dan analisis kerja/ projek siswa. Yang dinilai adalah produk dan projek yang dilakukan/ dibuat oleh siswa di dalam dan di luar kelas, hasil penelitian/riset, karya tulis/ esay, serta eksebisi/ pameran dilakukan oleh siswa.
Masalah yang ditimbulkan dari penyelenggaraan UN adalah:
1. Penekanan pada penilaian kognitif saja.
2. Guru kekehilangan kreativitas dalam pedagogis
3. Peningkatan stress yang dihadapi siswa, guru kepala sekolah, dan orang tua
4. Biaya penyelenggaran UN yang besar
5. Prosentasi siswa yang tidak dapat melanjutkan pendidikan di tingkat selanjutnya meningkat.
Di masa depan globalisasi dan kemajuan teknologi akan merubah tujuan belajar/ pendidikan dari sekadar peningkatan pengetahuan (knowledge) semata menjadi peningkatan kualitas kemampuan (attitude), keterampilan (skill) dan kualitas personal bagi siswa. Sementara pengetahuan yang menjadi target utama kurikulum selama ini akan semakin tidak relevan di dunia yang informasi dapat dengan mudahnya peroleh dengan hanya menekan tombol. Yang perlu dikembangkan adalah mengapa pengetahuan tersebut diperlukan, dimana mencarinya dan bagaimana menggunakannya secara tepat yang seharusnya menjadi sentral tujuan belajar bagi siswa.
Referensi:
http://bsnp-indonesia.org/id/?page_id=61
Broadfoot, P. (2000) ‘Assessment and Intuition’ in Atkinson, T. and Claxton, G. (2000) The Intuitive Practitioner: On the value of not always knowing what one is doing, p.199 – 218, Buckingham: Open University Press.
Broadfoot, P. (1992) ‘Towards Profiles of Achievement: Developments in Europe’ in Noah, H.J. and Eckstein, M.A. (1992) Examinations: Comparative and International Studies, p61 – 78, Oxford: Pergamon Press.
Broadfoot, P. (1988) ‘Research and Policy-making in Assessment: Some unanswered Questions’ in Black, H.D. and Dockrell, W.B. (Eds.) (1988) New Developments in Educational Assessment, p158 – 173, Edinburg: Scottish Academic Press.
Darminto (1999) BMPS Desak Ebtanas Dihapus (BPMS Urge the Elimination of Ebtanas), Kompas Daily, Jakarta, 11/2/1999.
Davey, Lynn & Neill, Monty (1991). The case against a national test. Practical Assessment, Research & Evaluation, 2(10). Available online: http://ericae.net/pare/getvn.asp?v=2&n=10
Kesuma, B. H. (2001) Questioning The Role of National Testing (EBTANAS) in Indonesian Compulsory Education Schools: Are They Effective For Achieving or Ruining Education Goals?
MOE (2000) Indonesian Ministry of Education, http://www.pdk.go.id/MainHome.html.
Noah, H. J. and Eckstein, M.A. (eds) (1992) Examinations: Comparative and International Studies, Oxford: Pergamon Press.
Tuesday, May 11, 2010
USULAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN BAGI KOTA SAMARINDA (2010)
Silahkan baca/download versi lengkap di link blog ini.
http://www.ziddu.com/download/9818313/ProgramuntukSamarinda2010.docx.html
Wednesday, January 13, 2010
Link Mendownload Soal-soal Ujian Nasional
http://www.sapos.co.id/berita/index.asp?IDKategori=278&id=3198
http://humas.kutaikartanegarakab.go.id/index.php/read/barlin-k-siswa-harus-punya-strategi-khusus-menghadapi-ujian/
dipertemuan tsb saya menyampaikan bahwa:
“... siswa harus mempunyai stategi khusus untuk menghadapi ujian. Hal paling penting adalah stategi belajar yang baik, salah satunya siswa harus mempunyai kisi-kisi soal yang kira-kira keluar di ujian mendatang.
"Kita tidak usah belajar semua pelajaran, cukup meringkas pelajaran dengan menggunakan kisi-kisi, sehingga akan lebih mudah memahami," ujarnya.
Banyak cara bisa dilakukan untuk belajar pada jaman modern ini, seperti internet. Dengan menggunakan internet, siswa dapat mencari soal-soal baru untuk belajar. Cukup dengan waktu yang singkat dan harga yang terjangkau siswa sudah bisa banyak mendapat soal-soal untuk mengasah kemampuannya. Dengan adanya internet siswa di daerah terpencil pun dapat bersaing dengan siswa-siswa yang ada di kota besar”.
Untuk mendapatkan soal-soal UN bagi siswa (dan guru) yang saya usulkan diatas, siswa perlu menggunakan waktu yang ada ini untuk mengunduhnya di internet. Contohnya untuk men-download Bank Soal Bahasa Inggris tahun 1985 – 2007, bisa di unduh di website berikut ini:
http://mohammadihsan.com/view.php?subaction=showfull&id=1226425666&archive=&start_from=&ucat=9&
Semoga bermanfaat.
Tuesday, January 12, 2010
Jenis-jenis Knowledge Economy & Knowledge Society
1. Ekonomi Pasar Modal/ Pemegang Saham
Kata kunci : kapitalis pasar modal, komoditi.
Ciri-ciri: memberikan primasi kepada mekanisme pasar dan melindungi hak2 para investor, menyeimbangkan antara hak2 pemegang saham (stockholders) dan non pemegang saham (stakeholders) lainnya baik dalam aktivitas (enterprise) maupun dalam masyarakat (society), penyeimbangan/ koreksi terhadap dampak pasar dilakukan melalui regulasi.
Innovasi dan daya saing nasional dicapai melalui:
- pasar & tenaga kerja yang fleksible
- regulasi tenaga kerja & pasar: sedikit/ terbatas
- tingkat employment yang tinggi
- waktu bekerja lebih panjang
- tingkat social expenditure rendah.
Negara2 dalam kategori ini: USA, UK, Canada, Australia, New Zealand (Anglo-Saxon countries/ negara2 berbahasa Inggris).
Kelebihan/ dampak positif:
- tingkat pertumbuhan (ekonomi) relatif tinggi
- produktivitas (kerja) relatif tinggi.
Kekurangan/ dampak negatif:
- pelayanan publik buruk
- tingkat inequality besar (pendapatan dan pendidikan)
- social cohesion rendah.
Pendidikan:
- kebijakan pendidikan ada pada pemerintah pusat dan sekolah2
- tingkat otonomi sekolah tinggi (dalam hal bujet, mengangkat dan memberhentikan guru/staff, diversity sekolah & school choice).
- tipe sekolah dasar dan menengah umumnya komphensif (bukan selektif)
- mendorong terjadinya spesialisasi dan individualisasi dalam pembelajaran & skill
- sistem ujian tidak terintigrasi (tidak terpusat) dan menggunakan sistem kredit.
Terjadi polarisasi yang luar biasa dalam hal jumlah mereka yang berketerampilan tinggi (high skilled) dan mereka yang tidak (low skilled labour forces). Proporsi rata2 profesi berketerampilan tinggi (high skilled jobs) adalah terendah diantara negara2 maju.
2. Ekonomi Model Sosial
Kata kunci : stake holder/ Rhine model capitalism, communities.
Ciri-ciri: berlawanan dengan diatas.
Innovasi dan daya saing nasional dicapai melalui:
- pasar tenaga kerja yang tidak fleksible
- regulasi tenaga kerja dan pasar lebih banyak
- tingkat orang bekerja cukup rendah (tingkat penggangguran cukup besar)
- waktu bekerja lebih pendek
- tingkat social expenditure/ social cost tinggi.
Negara2 dalam kategori ini: Jerman, Austria, Swiss, Prancis, Belgia dan Belanda (Core Europe/ negara2 Eropa utama).
Kelebihan/ dampak positif:
- pelayanan publik relatif baik
- tingkat equality besar (pendapatan dan pendidikan)
- tingkat social cohesion baik.
Kekurangan/ dampak negatif:
- tingkat pertumbuhan (ekonomi) relatif rendah
- produktivitas (kerja) relatif rendah.
Pendidikan:
- ada perbedaan struktur yang relatif besar diantara negara2 Eropa utama
- sangat sentralis (seperti di Yunani & Portugal)
- pemerintah pusat mengontrol ujian nasional, tetapi otonomi terbatas diberikan kepada pemerintah daerah (seperti di Prancis, Spanyol, Italia).
- tipe sekolah dasar dan menengah komprehensif.
- pemerintah pusat mengangkat dan mengaji guru/ staff, serta menempatkan dan menginspeksi mereka disekolah.
- regulasi dan kontrol pendidikan ada di daerah (Jerman, Austria, Swiss dan Belanda).
- menerapkan sistem magang (apprenticeship), tipe sekolah menengah yang selektif (sekolah yang berbeda bagi siswa dengan kemampuan yang berbeda).
- tingkat spesialisasi dan individualisasi pembelajaran & skill sangat tinggi.
- ujian sekolah akhir ada ditangan lembaga lokal/ tidak sentralis.
- mayoritas tenaga kerja berkualifikasi keterampilan menengah (intermediate levels).
Proporsi rata2 profesi berketerampilan tinggi (high skilled jobs) agak rendah diantara negara2 maju (tetapi bukan yang terendah).
3. Ekonomi Sosial Demokratik Model
Ciri-ciri: kombinasi.
Innovasi dan daya saing nasional dicapai melalui:
- tingkat orang bekerja sangat tinggi (tingkat penggangguran kecil)
- tingkat social expenditure/ social cost tinggi.
Dampak: tingkat produktivitas umum tinggi, tingkat pendidikan dan pendapatan (income) tinggi, tingkat social cohesion tinggi.
Negara2 dalam kategori ini: Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia (negara2 Skandinavia).
Pendidikan:
- Otonomi dan regulasi pendidikan berada di tingkat local/ regional, tetapi berada dalam framework pemerintah pusat yang berfungsi ‘steering by goal’.
- System pengajaran mixed ability (multi kemampuan/ level) di sekolah wajib
- Kurikulum luas (broad curricula)
- Pendidikan bagi orang dewasa di biayai oleh Negara.
Proporsi rata2 profesi berketerampilan tinggi sangat tinggi (diantara negara2 maju).
Kesimpulan: adanya korelasi antar negara yang kuat antara aggregat tingkat literasi (literacy level) dengan proporsi tenaga kerja berketerampilan tinggi.
Sunday, January 03, 2010
Meningkatkan Keterampilan Membaca: Pengalaman dari Russia
Baru-baru ini (tahun 2009), saya membaca kabar bahwa menurut penelitian Internasional, anak2 Russia usia 10 tahun ditempatkan dirangking teratas dalam hal keterampilan membaca. Mereka mengumpulkan 565 poin dalam tes PIRLS (Progress in Internasional Reading Literacy Study) dari
Mengapa anak2
Bagaimana kalau model Russia ini diterapkan disekolah2 kita di Indonesia? Saya hanya bisa membayangkan, mungkin bisa jadi ‘keributan besar’ kalau model kurikulum ini diterapkan disekolah2 kita. Para orang tua bisa-bisa protes keras, bila anak2nya diharuskan menamatkan bacaan seperti Cerita Rakyat ini dan itu. (Maklum anak2 Indonesia sangat dimanjakan orangtuanya, mereka lebih gemar menonton TV dan bermain games daripada membaca buku. Waktu menonton dan bermain pun bisa seharian dilakukan anak, tetapi kalau disuruh membaca 1 halaman saja bisa butuh beberapa hari. Belum lagi apresiasi orang tua yang terkadang yang rendah kalau anaknya belajar membacakan puisi). Belum lagi disekolah, para guru2nya bisa-bisa mogok kerja gara2 kerepotan mengecek kemampuan membaca anak2 (menambah kerjaan aja, bayangkan ada 40 anak dikelas, bagaimana mengontrol kemampuan membaca anak dikelas besar??). Ah, tapi itu khan cuman pikiran negatif saya saja, belum lamunan saya tentu benar khan??
Balik ke negeri Beruang Merah, para guru2 di Russia yakin bila model belajar mereka ini akan dapat mengasah otak, mendorong anak2 untuk mengapresiasi ritme bahasa dan membawa rasa senang dan kebanggaan jika dapat membawakan puisi dengan baik (Kalau dipikir2 sih, benar juga, tapi mengapa buat apa ya?). Disisi lain, ini dapat menjadi jembatan antar generasi, manakala para orang tua langsung mengenali bermacam2 puisi2 (dan cerita) yang biasa mereka baca dan ingat sejak masih kecil. Selain itu, budaya ini juga dapat menumbuhkan keakraban antar generasi, karena para orang tua siswa di rumah pun dapat membantu langsung anaknya membaca atau membaca bersama keluarga. Demikian sedikit cerita dari negeri seberang.
Hm...gimana menurut anda?