Total Pageviews

Friday, August 03, 2007

Pisang, wajib hukumnya!

Jauh sebelum ke Britain kami sangat gemar makan buah2an, yang di kalo Indo bisa berpuluh bermacam ragam & jenisnya itu, dari Rambutan sampai Mangga, dari Melon hingga Salak. Tapi sesampainya disini hanya 1 macam jenis buah yang wajib ada hukumnya setiap hari di rumah, yaitu Pisang atau Banana. Banana ini biasanya dimakan pagi hari dicampur dengan cereal & susu, dan siang & malam hari dijadikan makanan pencuci mulut sehabis makan besar. Dan hampir setiap 2 hari sekali, kami membuat pisang goreng (fried bananas). Sore2 hari anak saya, si Akis, sudah nunggu2 minta dibuatin pisgor ini yg biasanya dinikmatinya sambil nonton the Simpsons kesukaannya.

Kalau malam hari tiba2 kami (termasuk anak2) terbangun dan lapar, pisanglah yang dimakan, bukan biscuit, cookies atau makanan yang lain. Tak heran, kalau sekali pergi ke pasar bisa sampai 2 plastik pisang kami borong, sampai2 tas punggung yang biasa dipakai tak pernah berumur lebih dari 3 – 4 bulan. Maklum sudah jadi longgar tali dan atau lepas kancingnya karena sangking beratnya kalo belanja buah yang satu ini.


Isi bekal lunch box saya kalo pas ngantor pun, kadang2 cuman sepotong roti dan sebiji pisang. Itu sudah cukup buat menambal lapar dari jam 11am sampai 6pm - pas sampai di rumah lagi. Pokoknya kalau sehari saja tidak ada pisang di mangkok tempat buah kami, pasti kepikiran ‘wah, harus segera pergi ke pasar (di Indoor market kalo di Bham) atau Sainsbury (supermarket dekat rumah) nih’. Ibaratnya, boleh nggak makan nasi, boleh nggak makan ikan atau ayam di rumah, tapi harus ada pisang ;-( hehe...


Dibandingkan di tanah air yang bisa terdapat bermacam2 jenis dan ukurannya dijual dipasar, pisang disini cuman sekitar 2 - 3 macam saja. Yang paling banyak yaitu jenis pisang yang mirip pisang Ambon kalo dikita itu, yang berwarna kuning kehijauan. Ada juga jenis pisang besar2, yang dibiarkan hingga warna kulitnya hingga kehitam2an dulu baru bisa dikonsumsi, kalau nggak masih keras dan rasanya agak nggak manis. Juga ada pisang yang dijual warnanya masih hijau2, nah yang ini sepertinya buat disayur. Saya perhatikan banyak orang Black African & Carribean yang hobby membeli pisang jenis ini dipasar.


Faktanya lebih 7 persen dari jutaan banana yang masuk ke UK berasal dari dari Costa Rica, yang nilainya bisa mencapai $42.7 million atau £20 million setiap tahunnya. Itu baru 7 %, bisa dikalkulasi lagi kalo 100%., berapa coba? Dan konon ada 80 juta metrik ton pisang diproduksi dan dikonsumsi oleh dunia setiap tahunnya. Jumlah yang sangat besar sekali. 65 % pisang untuk ekspor diproduksi di Latin Amerika dan 30 % dari Asia (tempat nenek moyangnya pisang berasal). Di Asia, India dan Phillipines merupakan ekportir terbesar, sedang di Amerika tempat tersebut dipegang oleh Brazil dan Costa Rica.


Tapi tahukah anda, kalau pisang – konon menurut sumber National Geographic – adalah tanaman asal dari hutan tropis di pulau Borneo atau Kalimantan? Oleh para pedagang, dibawalah bibit pisang ini dari ports yang ada di Malaysia terus ditransportasi ke seluruh dunia. Di Eropa pisang baru dikenal sejak abad 10 M. Di Mediterranian, cerita dahsyatnya buah ini sudah terdengar sejak 3 abad sebelum Masehi.



Pisang menjadi populer disebabkan karena rasanya yang manis, kulitnya yang tak terlalu tebal mudah dikupas dan karena bentuknya yang ‘simple’ jadi mudah dibawa kemana2. Pisang juga diketahui mengandung 3 jenis gula alami yaitu sugar sucrose, fructose dan glucose yang dapat menjadi sumber energi yang instan bilamana diperlukan. Ia juga menjadi sumber kalsium. Phospore, mangan, vit A, B6, C, nitrogen dan folic acid serta nutrisi dan enzym lainnya yang sangat diperlukan oleh tubuh. Tak heran banyak orang tua memberikan pisang sebagai salah satu makanan padat bagi bayi. Pisang juga bagus untuk mereka yang melakukan diet makan dan karena kandungan potasium didalamnya dapat mengurangi atau mencegah tekanan darah tinggi dan serangan stroke.



Dari sebab bangga akan asal muasal pisang dan kandungan nutrisi yang dikandungnya, kami bangga untuk mengakui kalau pisang adalah buah favorite keluarga kami. Karenanya wajar dong kalau selesai menulis blog ini saya jadi kepengen ke dapur dan memeriksa mangkuk buah kami? Wah jangan2 pisang yang baru saya beli sore kemarin sudah habis dihabiskan isteri saya atau si Akis- anak saya yang paling besar…sorry ya pembaca, saya akhiri dulu nih…..



Birmingham, 03 Agustus 2007

Sunday, October 01, 2006

Pendidikan Indonesia: Cerita Kegagalan di Zaman Otonomi Daerah


Memperbincangkan carut marut pelaksanaan sistem pendidikan Indonesia saat ini tidaklah lengkap apabila tidak mengikutsertakan struktur system yang dibangun dan kebijakan pendidikan yang ambil oleh Orde Baru. Berusaha mencontek kemajuan negara2 barat yang ‘katanya’ lebih maju, pemerintah Orde Baru sebenarnya tidak benar2 berusaha mengkopi sistem yang berlaku di negara maju, melainkan hanya bereksperimen dengan ‘ramuan2an campursari’ yang dibuat oleh para elit-elitnya sendiri. Hasil ramuan eksperimen yang berbahaya tersebut tak heran menghasilkan buah yang pahit yang harus ditelan oleh anak bangsa negeri ini.

Para pembuat kebijakan kita dahulu sangat gemar untuk ‘berbelanja ide’ di luar negeri. Berbelanja ide seperti ini sangatlah praktis, karena tidak membutuhkan kerja keras seperti penelitian puluhan tahun atau sebangsanya. Modalnya sangat mudah, misalnya cukup dengan studi banding atau ikut seminar ke luar negeri, ide2 pendidikan dengan mudahnya didapat. Entah itu dari apa yang dilihat, didengar dan dibaca disana. Berbelanja ide dengan pendekatan ‘window shopping’ (berbelanja etalase toko) seperti ini sebenarnya sangat berbahaya. Karena kacamata seorang orang asing (tourist) sangatlah tidak setajam kacamata orang local, yang puluhan tahun tinggal dan bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Bagi para tourist semua terasa indah dan sempurna, karena high expectation (harapan tinggi) yang sudah terlanjur terbentuk dibenaknya sebelumnya, sehingga terkadang sudah tidak objektif lagi. Apalagi bila sudah membawa segepok $ di kantong...wah mimpi indah deh.

Penulis sendiri pernah mengantar salah satu ‘peneliti’ dari Depdiknas untuk ‘studi banding’ ke salah satu SD di LN (konon dia sudah menjadi salah satu pejabat setingkat direktur salah satu direktorat Depdiknas sekarang). Ternyata ‘studi banding’ tersebut tidak lebih sebatas hanya bertanya jawab dengan kepala sekolah selama 30 menit (itupun tanpa membuat catatan atau merekam jawaban2 yang diberikan) dan berjalan berkeliling sekolah & kelas2 dan melihat suasana kelas sambil mengambil gambar selama 30 menit. Bisakah waktu +/- 1 - 2 jam yang dihabiskan disekolah tersebut cukup memberi informasi yang berharga bagi si pembuat kebijakan sepulangnya nanti ke Tanah Air? Yang sering terjadi adalah: sepulangnya ke tanah air, tak jarang laporan 'pandangan mata' tersebut bisa jadi kebijakan resmi Departemen nasional.

Tak heran bila ‘ide2 yang dipinjam’ dari luar tersebut sering parsial, tidak lengkap dan hanya kulit2 luarnya saja. Ibarat ingin membuat kue dengan modal hanya secarik kertas resep dan sekeranjang bahan2nya yang beli di supermarket atau pasar. Namun kita tidak pernah benar2 melihat orang membuat kue itu dengan mata sendiri. Kita hanya bereksperimen menggenggam secarik resep sambil berhayal untuk bisa membuat kue dari situ. Apa dan bagaimana kompleksitas suatu program atau kebijakan yang dilakukan oleh negara lain yang kita tiru, sering terlewatkan. Sim salabin, abrakadabra, jadilah dia resep baru. Itulah yang dilakukan oleh para elit di zaman Orde Baru. Tak heran bila kita familiar dengan istilah ‘Ganti Menteri, Ganti Kebijakan’. Kita bereksperimen secara bebas dengan model yang diimport baik dari barat dan dari timur, karena memang strategi Orde Baru sendiri untuk pendidikan sebenarnya tidak ada.

Sejak 1997 Indonesia menjadi ‘pasien’ agen dana Internasional seperti IMF, World Bank dan ADB. Sebagai penerima donor kita harus mau ‘tunduk’ dan menelan obat yang mereka resepkan. Tetapi syaratnya sangat mahal: kita harus merestrukturisasi sistem pemerintahan kita (yang konon) yang tidak efektif - misalnya melalui pemberian otonomi kepada daerah, mengubah praktek negara dari birokrasi otoriter (authoritarian bureaucratic state) menjadi lebih demokrasi dan mengikutsertakan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan, yang lebih penting, kita harus komit dengan program structural adjustment (perubahan structural) yang mereka agendakan. Persoalan apakah yang memberi resep tersebut yakin obatnya akan manjur, kita nggak pernah bertanya lagi ...kita percaya saja (kadang mentah2).

Dampak ketundukan kepada syarat2 agen dana Internasional ini jelas. Kita mulai ‘memprivatisasi’ sistem pendidikan (PT dan sekolah dibebaskan menarik uang kuliah/sekolah langsung), pengurangan public spending (memotong subsidi, menaikan pajak, memprioritaskan pembayaran utang) dan melakukan proyek2 desentralisasi dibawah petunjuk, arahan dan ‘biaya’ agen asing/ Internasional.

Proyek Desentralisasi Pendidikan Depdiknas

Dari hasil ‘belanja ide’ diatas, munculah istilah Manajemen Berbasis Sekolah (School-based Management) diakhir tahun 1990an di Indonesia. Ide ini menjadi sangat populer dikalangan pembuat kebijakan dan masyarakat dikarenakan adanya desakan agen2 proyek pendidikan dari luar negeri ditambah dengan kondisi masyarakat yang memang sudah muak dengan sistem penyelenggaraan pendidikan Orde Baru yang terbukti tidak berhasil (padahal sama2 hasil desain dari luar).

Menurut data ICW (2004) begitu besarnya desakan agen2 proyek dari LN (World Bank, ADB, Inggris, Unesco, Unicef, USAID, Selandia Baru, Belanda, dll) itu kepada pemerintah RI dapat dilihat dari banyaknya tawaran loan (utang) dan grant (hibah) yang nilainya dari ratusan ribu hingga US $ 125 juta. Proyek2 yang dilakukan dibuatlah bermacam2 dari yang namanya Basic Education Project di Jawa Barat, Sulawesi dan NTB, Junior Secondary Education Project di Jawa Timur dan NTT hingga Senior Secondary Education Project, Decentralized Basic Education dan PAKEM dan SBM. Dibiayainya proyek2 desentralisasi pendidikan melalui utang LN ini sayangnya kurang mendapat porsi berita yang layak di media massa. Yang ada justru penyataan Dirjen Depdiknas bahwa pemerintah sendiri akan dilakukannya ujicoba SBM berskala nasional di 1000 sekolah di tanah air (Kompas, 2001).

Dipermukaan pemerintah berusaha memunculkan kesan bahwa MBS adalah satu2nya ‘obat mujarab’ (panacea) untuk buruknya sistem pendidikan Indonesia. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia IV (KONASPI) di Jakarta tahun 2000 bahkan dipergunakan sebagai media sosialisasi SBM oleh pemerintah. Hasilnya hampir semua peserta konvensi setuju dan percaya SBM akan membawa hasil peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia (Kompas, 2000). Tidak ada suara yang bersuara sebaliknya.

Diadakannya proyek2 desentralisasi pendidikan besar2an ini sebenarnya sangat tergesa-gesa dan patut disayangkan. Ini dikarenakan ada beberapa kelemahan atau bahkan kesalahan desainnya. Pertama informasi tentang indikator pendidikan Indonesia yang dimiliki oleh pemerintah sebenarnya tidak akurat dikarenakan keterbatasan kapasitas dan tenaga pengumpulan data yang dimiliki (Boediono dan Adams, 1997). Kedua sebagaimana yang diindikasikan oleh staf menengah Depdiknas yang penulis wawancarai tahun 2002, kebijakan2 Depdiknas sering mengandalkan penggunaan data analisis kuantitatif dan statistik yang dibuat sebagai laporan ABS (asal bapak senang). Tak heran lembaga LSM dan tokoh independent seperti ICW, Gapsi (2003) dan Baswir (2004) meragukan kesungguhan pemerintah untuk menggunakan proyek2 tersebut sebagai usaha memperbaiki keadaan sistem pendidikan. Banyak yang percaya tindakan menerima tawaran proyek2 ini adalah indikasi ‘ketidakberdayaan’ pemerintah melawan tekanan asing.

Adalah aneh, sejak dahulu kita mendengar bahwa ‘bantuan’ LN ke Indonesia dipercaya mengalami kebocoran 20 – 30 % (Djojohadikusumo, 1993; dan Kwin Gian Gie, 2003) karena praktek mark up dan korupsi. Lembaga LN seperti Transperancy Internasional (2000) dari surveynya selalu manjadikan Indonesia jawara korupsi di dunia. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Hutang LN kita dalam 2 tahun melompat dari US $ 51 billions tahun 1998 menjadi US $ 134 billions tahun 2000 atau 83 % GDP (Baird, 2000). Dalam film The New Rulers of the World karya John Pilger (2003) kita akan dibuat gregetan bila mendengar komentar pejabat tinggi IMF dengan entengnya yang menepis fakta bahwa ‘bantuan’ LN di Indonesia banyak yang hilang dikorupsi.


Pendidikan Indonesia: Cerita Kegagalan di Zaman Otonomi Daerah (2)


Adalah ironis sekali bagi Indonesia yang dikenal sebagai negara yang kaya raya dengan sumber daya alam tetapi juga dikenal sebagai negara peringkat kelima terbanyak utang luar negeri diantara seluruh negara yang ada di dunia ini. Sialnya lagi trendnya ini bukannya cenderung menurun malah meningkat setiap tahunnya. Misalnya saja bila utang LN pada tahun 1990an tercatat US$ 54 billion atau 2 kali lipat utang tahun 1983. Nilai ini kemudian meningkat drastis menjadi US$ 136 billion tahun 1997, terus menjadi US$ 141 billion tahun 2000. Meskipun sempat turun menjadi US$ 132 billion tahun 2003 dan US$131 billions tahun 2005, tapi yang dilakukan sebenarnya tak lebih dari sekadar tambal sulam hutang: utang lama yang jatuh tempo dibayar dengan hutang yang baru. Konon total utang yang kita miliki saat ini baru akan bisa terbayar 175 tahun ke depan (Detik, 2001). Pertanyan sekarang akankah Indonesia bias bertahun hingga 2176? Menurut laporan lembaga Internasional Jubilee (April) tahun 2006 ini sudah hampir separuh dari 210 juta penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Bandingkan angka ini dengan klaim bahwa jumlah penduduk miskin telah berkurang yang disampaikan oleh presiden SBY baru-baru ini.

Kembali ke masalah kebijakan ‘reformasi pendidikan’ yang dibiayai oleh utang luar negeri yang besar, seberapa efektif mega proyek2 pendidikan tersebut membuahkan hasil yang diinginkan di masa otonomi daerah sekarang ini? Apakah kita telah melangkah pada era perbaikan yang signifikan atau sebaliknya masih berjalan ditempat atau malah mundur ke belakang? Inilah yang ingin kita diskusikan disini.


Mengapa harus MBS?

Asal usul istilah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang ‘naik daun’ di Indonesia sejak akhir 1990an dan menjadi tulang punggung reformasi pendidikan kita paska tumbangnya Orde Baru sebenarnya merupakan bagian dari aplikasi teori manajemen ekonomi yang dipakai oleh perusahaan (intinya orang tua adalah ‘klien’ bagi sekolah). Ide ini sudah dikenal sejak tahun 1970an, tapi mulai ‘mendunia’ di tahun 1980an terutama sejak presiden AS Ronald Reagan dan perdana menteri Inggris Margaret Thatcher menggunakan isu globalisasi sebagai alasan untuk merestrukturisasi (baca: pengurangan) kebijakan subsidi negara kepada sektor pelayanan publik (seperti pendidikan dan kesehatan). Adalah Kanada yang dapat dikatakan negara pelopor ujicoba pemberian ‘otonomi’ di tingkat sekolah. Ini kemudian diikuti oleh negara2 yang berbahasa Inggris lainnya seperti Australia, Inggris Raya, Selandia Baru dan Amerika Serikat (Cadwell, 2005).

Dalam perkembangannya kemudian ide ini kemudian latah diikuti atau ‘meluas’ di adopsi negara2 di seluruh penjuru dunia, dari Cina hingga Mexico, dari Uganda hingga Russia. Ide MBS sendiri awalnya adalah pendesentralisasian otoritas hingga ke tingkat sekolah (pemberian otoritas dan tanggungjawab untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan hal-hal operasional sekolah kepada sekolah). Namun dalam kenyataan dilapangan setiap negara mengadopsi dan meng-improvisasi ide MBS ini menurut selera mereka masing-masing (Dempster, 2000; Murphy and Beck, 1995). Akibatnya ada sekolah yang diberikan otoritas yang sangat besar, tetapi ada juga yang kecil. Bahkan ada otoritas yang hanya sampai ke tingkat pemerintah daerah saja, tidak turun sampai ke sekolah. Tak heran bila dampak MBS bagi output pendidikan dari satu negara ke negara lain, bahkan antara satu sekolah ke sekolah lain di satu negara bisa sangat berbeda layaknya bumi dan langit.

Dibanyak negara keputusan mereka mengadopsi model MBS lebih banyak dikarenakan alasan yang berbau politis (oleh partai yang berkuasa untuk mendapat banyak suara dari publik) ketimbangan didasari oleh alasan yang benar2 murni untuk memberdayakan sekolah atau masyarakat pada umumnya. Misalnya saja para menteri pendidikan di Australia (1987), Inggris (1988), Selandia Baru (1993) dan Skotlandia (1997) yang berasal dari partai yang berkuasa, menggunakan slogan2 politis seperti: sistem (pendidikan) akan menjadi efektif dan efisien jika sekolah dapat mengkontrol kualitas pendidikan yang mereka sendiri; dan (MBS adalah) … kerangka baru yang akan meningkatkan standar (pendidikan), alternatif pilihan (sekolah) yang lebih luas bagi orang tua dan menjadikan bangsa kita menjadi lebih terpelajar; serta kualitas sekolah akan menjadi lebih baik jika sekolah diberikan otoritas untuk membuat prioritas dan rencana (sekolah) sendiri demi merespon kebutuhan murid dan aspirasi orangtua.


Dari sumber2 yang terkumpul dari riset kasus di beberapa negara maju yang telah mereformasi sistem pendidikannya terlebih dahulu diketahui bahwa salah satu sumber utama pendorong pendesentralisasian pendidikan mereka bersumber dari arena politik, yakni manakala para pembuat kebijakan politik menelurkan undang2 pendidikan baru yang secara simbolis memberikan otonomi pendidikan kepada daerah dan sekolah. Beberapa peneliti pendukung MBS seperti Levavic (1995), Wohlstetter (1995), dan Ellie & Fouts (1994) secara teoritis terang-terangan mendukung MBS karena paling tidak ada beberapa sebab utama, misalnya tercapainya efektivitas sumber daya sekolah (resources), peningkatan proses belajar dan mengajar di sekolah dan membuat sekolah menjadi responsif (akan kebutuhan para murid/ siswanya) serta memberikan alternatif pilihan bagi orang tua dan publik (untuk memilih sekolah2 yang bagus sekehendaknya).

Namun dalam kenyataan di lapangan, beberapa peneliti lainnya seperti Anderson & Dixon (1993) justru menyimpulkan hasil sebaliknya yakni bahwa MBS justru berakibat lebih mengetatnya kontrol terhadap sistem pendidikan oleh pemerintah pusat dengan mengatasnamakan kepentingan nasional. Misalnya melalui pemberlakuan (kembali dan lebih ketat): kurikulum nasional, ujian nasional, standar kompetensi nasional, pengauditan kurikulum dan standarisasi tenaga kependidikan. Selanjutnya, kritikus pendidikan semacam Micheal Fullan (1993) dan Leithwood & Menzeis (1998) bahkan sebaliknya mengecam optimisme berlebihan para pembuat kebijakan pendidikan di banyak negara tentang efektifitas MBS disebabkan tidak adanya hubungan baik langsung maupun tidak langsung dampak MBS terhadap siswa/ murid. Dengan kata lain lebih besar retorika (teori) akan dampak positif MBS terhadap hasil belajar siswa daripada kenyataannya dilapangan.

Penelitian tahun 2001 oleh Smyth malah dengan tegas mengkritik kebijakan penerapan MBS yang sering diawali dengan ‘bujukan finansial’ kepada sekolah2 untuk menerapkannya (ingat dengan kebijakan BOMM atau Bantuan Operasional Manajemen Mutu untuk sekolah-sekolah di Indonesia) yang biasanya kemudian ditarik (baca: dihapus) tiba-tiba sehingga sekolah harus (kelimpungan) mencari sendiri dana penggantinya. Smyth juga menyimpulkan bahwa MBS lebih menguntungkan bagi sekolah yang lebih baik sumber dayanya (secara finansial dan tenaga pengajar) daripada sekolah yang ‘lemah’. Dengan kata lain sekolah bagus tetap bagus, tetapi yang buruk akan tetap buruk atau malah cenderung memburuk.

Dari diskusi diatas jelas terlihat bahwa dibalik manfaat teoritis MBS yang cenderung bersifat retorika tersembunyi kenyataan bahwa penerapan MBS di lapangan justru dapat membawa dampak sebaliknya. Ini karena kenyataan implementasi dilapangan sering jauh dari harapan yang diinginkan sebelumnya. Malah ada kecenderungan bahwa MBS secara relatif tidak berdampak jauh lebih positif dibandingkan dengan dari model manajemen sebelumnya.

Kenyataan di negara-negara maju ini ternyata juga terbukti di Indonesia. Tak lama setelah ‘proyek coba-coba’ pemberlakuan MBS dengan dana yang tak sedikit dibeberapa kota sejak tahun 1999, banyak teori akan dampak MBS yang dipercaya akan terjadi oleh pemerintah yang tak jalan dilapangan. Misalnya saja retorika MBS akan membawa otonomi bagi sekolah, seperti amanah Propenas tahun 2000 (bahwa MBS di Indonesia dikembangkan untuk meningkatkan kemandirian sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan) dan Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas (bahwa MBS akan diberikan kewenangan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengelola dan memberdayakan semua sumber pendidikan yang ada di lingkungan sekolah dan masyarakat). Yang terjadi adalah kewenangan ini diserobot oleh banyak pemerintah daerah yang justru enggan mendelegasikan otoritas kepada sekolah (Nurkolis, 2003), bahkan ada daerah yang justru ‘mengurangi’ kewenangan sekolah dari sebelumnya.
Jika Indra Jati Sidi, kepala Direktorat Dikdasmen saat itu (Kompas 2001) percaya bahwa dengan MBS sekolah bisa mandiri dan memilih sendiri kepala sekolah masing-masing, pada kenyataanya praktek demokratis ini sangat jarang dan tidak terdengar lagi sejak proyek-proyek MBS dari pusat berakhir tahun 2003. Jika pada awal-awal proyek MBS, wewenang sekolah sangat besar misalnya dengan diberikan otoritas untuk menentukan sendiri kelulusan siswanya dengan adanya penghapusan Ebtanas (evaluasi tahap akhir nasional) dan pemberlakuan UAS (ujian akhir sekolah) di tahun 2001, namun sejak tahun 2003 kebijakan yang sesuai dengan jiwa dan semangat otonomi sekolah tersebut ditarik kembali dan diganti dengan model ujian nasional baru (UAN) yang menegaskan kembali model kontrol sentralis terhadap sekolah-sekolah persis seperti di masa lalu. Dari sedikit contoh tersebut diatas, tak salah bila pesimisme masyarakat akan segera dirasakannya dampak positif MBS seperti diharapkan sebelumnya akan meningkat. Pertanyaannya sekarang, dimana salahnya?

(Sudah dikutip oleh Koran Berita MITRA OTONOMI edisi 1 - 10, 11 - 20, 21 - 30 September 2006)

Tuesday, March 28, 2006

'Spring' dan 'Summer' di B'ham


'Spring' dan 'Summer'

Jika musim semi tiba – biasanya ditandai oleh tibanya Easter festive season, kota Birmingham pun menjadi ‘blooming’ segar penuh dengan warna warni oleh bunga musim semi. Tidak saja taman2 kotanya yang semarak dengan aneka warna floral, hampir disetiap pojok dan pagar jalan turut semarak tak ketinggalan. Pemandangan yang kontras sekali mengingat 3 - 4 bulan sebelumnya di tempat yang sama pohon2 mengersang ditinggalkan daun2 dan hewan2 sahabatnya. Selaras dengan datangnya kicauan burung2; di empat penjuru kota dari Sutton Park di Utara - Timur, Lickley Hill Country Park di Selatan Barat, hingga Kings Heath Park dan Canon Hill Park di tengahnya, bertransformasi mejadi panaroma alam yang sangat indah. Semerbak aroma seakan berseru: it’s a great day out … menyapa penduduk kota untuk bersuka cita menyambut datangnya musim baru. Lampu2 jalan yang benderang selama musim dingin pun berganti dengan aroma kecerahan yang dibawa oleh spring floral nan asri. Geliat kota yang lamban dan murung selama itu pun berganti speed, lebih hidup dan lebih ceria. The spring is (finally) here…

Bila semi menjadi summer, taman yang dulunya luas menjadi sempit oleh pendatang yang berdesak menyongsong full sunlight yang memanjangkan siang hingga 16 jam. Dari bayi, remaja hingga nenek kakek, dari yang modis hingga yang dekil, semua bak berkompetisi untuk berebut tempat dan kesempatan untuk menikmati sinar yang menghangatkan kulit dan memanjakan perasaan. Tak heran jika taman2 kota bak berubah manjadi surga eden sebagaimana yang sering digambarkan oleh iklan travel di koran2 dan internet. Aktivitas para pengunjung musiman ini bermacam2 dari bermain sepeda, jogging, berjalan santai, hingga hanya sekadar berjemur mencari keringat berolahraga (tennis, cricket, football, dll).

Salah satu event yang menarik di taman ini adalah diadakannya lomba mencari cacing! Dipetak tanah yang ditentukan para peserta berlomba mengumpulkan cacing sebanyak2 dengan cara mengetuk2 dan menggoyang2 lapisan tanah berumput dengan sekop kecil atau sepotong besi (tentu saja tanpa perlu harus menggali tanahnya hehehe). Dalam hitungan menit, para peserta berusaha keras ‘mengganggu’ para cacing didalam tanah tersebut agar ‘terpaksa’ muncul ke atas. Peserta yang paling banyak mengumpulkan cacing dan atau berhasil menangkap cacing yang paling berat dan besar ditetapkan menjadi pemenang kontes.

Bila anda suka ke parks, inilah pilihan anda bisa berjalan2 bersama keluarga menikmati alam. Park favourite keluarga kami adalah Canon Hill di dekat Edgbaston cricket ground dan University of Birmingham yang terkenal itu. Sambil menikmati angsa dan bebek yang berkejaran di pinggir kolam, anda bisa melempar segenggam nuts atau bread ke tengahnya. Biasanya sambil menikmati sensasi sinar matahari menyentuh kulit, saya biasa duduk di tepi kolam sambil melamun sambil melempar pandangan keseliling. Birmingham parks memang tidak seindah dan aestetik Roman garden yang penuh batu bertulis sisa bangunan bangsa Romawi di Chester (kami kunjungi di tahun 2001). Tapi tentu saja tak kalah ramainya dengan Luxembourg parks di Paris (kami kunjungi di 2005).

Well, cara lain menikmati summer di Birmingham cara kami adalah naik boat - mencari angin dan berjemur sambil menikmati pemandangan disepanjang canal. Lahir dan dibesarkan ditepi sungai Mahakam di timur pulau Borneo membentuk saya sangat menyukai wisata air daripada yang lainnya. Meskipun disini hanya bisa menemukan anak2 sungai yang relatif kecil dibanding sungai, paling tidak tiga perempat rindu kampung halaman bisa terobati. Canal Birmingham mungkin tidak seromantis Venice di Italy atau sekomersil dan sesibuk canal di Amsterdam dimana kita seakan dihantar melewati ratusan jembatan sekali jalan. Disini kami bisa menimati pemandangan kota Birmingham melalui air tanpa distorsi suara bising lalu lalang boat seperti yang kami alami di Amsterdam (2005). Percakapan dan derai tawa bersama keluarga pun terasa jadi nikmat apalagi bila diselingi minum teh hangat dan makan biscuit.

Thursday, March 23, 2006

Tinggal di Aston

Bisa menulis banyak tentang hal2 yang dialami selama di LN merupakan sesuatu saya idamkan sejak lama. Kalau saat ini itu menjadi sangat susah terjadi, barangkali karena irama hidup dan kesibukan yang semakin meningkat saat ini dibandingkan dulu.

Waktu untuk menulis 'hampir' tidak ada
Waktu untuk menulis menjadi salah satu scarcity dalam hidup saat ini. Menjadi sesuatu yang saat precious untuk ditemukan dan dinikmati. Kebetulan saya bukan jenis orang yang bergelimang dengan waktu. Pertama, waktu habis oleh money making (kerja) plus minus waktu yang terbuang sebagai commuter. Bayangkan kerja 8 jam sehari ditambah 4 jam habis di jalan (naik bus) untuk back and forth. Pergi pagi jam 7 – kalo winter kadang2 sebelum matahari muncul – dan pulang jam 6 – juga kadang2 setelah matahari terbenam. Hanya saat summer rutinitas ini terasa sedikit berubah.

Yang kedua, waktu untuk kelurga. Mon to Fri sepulang kerja adalah waktu yang ‘harus digunakan’ bersama keluarga. Terutamanya, dinner, nonton TV bareng, bermain2 bersama si Akis. Setelah jam 9 malam dan si Akis tidur, barulah sedikit ada waktu mengobrol dengan isteri tentang news hari itu. Menginjak jam 10 malam, rasa kantuk dan capek mulai pile up dan bedtime memanggil. Hanya weekends, yang ‘benar2 ada sedikit waktu luang’. Sedikit luang, karena itu pun harus dipakai untuk kegiatan bersama keluarga lagi. Terutama shopping dan hiburan. Kadang2 kami juga meluang waktu untuk bermain2 di Villa Park atau berenang di small pool.

Tinggal di Aston

Aston Hall

Kami tinggal di daerah yang bernama Aston. Nama ini saat terkenal di Inggris. Bukan saja karena rocker Black Sabbath Ozzy Osbourne pernah lahir dan grew up disana, atau menjadi home bagi stadion megah dan terbesar Aston Villa Park di Inggris Tengah. Tapi juga infamous karena daerah ini memiliki stereotype sebagai daerah yang kumuh dan penuh kejahatan. Mungkin persepsi kita akan sama kalau mendengar kata Brooklyn di Amerika. Terbayang daerah yang penuh dengan gangsters, drug dealers dan dar der dor dsb.

Sebenarnya stereotype ini tidak sepenuhnya betul. Memang, dulu waktu saya pertama2 datang, saya sempat berpandangan yang sama. Alasannya karena di daerah yang di dominasi oleh penduduk dari Asia Selatan ini terlihat lebih kotor di bandingkan dengan daerah yang kebanyakan di huni oleh orang2 'White'. Selama tinggal disini juga, rumah saya pernah sekali kemasukan maling, saat isteri dan anak saya sedang berada di kamar atas, dan terjadi 3 kali perampokan yang jelas2 korbannya adalah orang Indonesia yang tinggal di Aston.

Seorang kawan yang memiliki mobil dan by the law harus mendaftarkan insurance terpaksa tidak jadi mendaftarkan karena berdomisinya di Aston. Ini karena insurance fee untuk orang yang tinggal di Aston ini termahal di Birmingham, dan saat itu Birmingham (th 2000) yang termahal di UK. Sehingga kalau dikalkulasi, berarti daerah Aston yang dikagorikan ‘paling tidak aman’di UK.

Pandangan stereotype saya tentang Aston ini pelan2 mulai berubah sejak beberapa tahun yang lalu. Ini dikarenakan ada perubahan yang terjadi. Ternyata sebelum tahun 2001, counsellor atau anggota DPRD di daerah Aston diwakili oleh partai Labour. Tetapi sejak partai Liberal Demokrat menang di daerah ini, terlihat perubahan yang banyak. Kemenangan partai baru membawa angin segar bagi Aston.

Uang mulai mengalir di daerah ini, yang salah satunya di pakai memperbanyak polisi patroli dan perbaikan fasilitas jalan dan umum. Pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan masyarakat di buka. Anak2 muda dan wanita yang biasanya menganggur didekati, di beri pendidikan dan pelatihan gratis. Diberi kemudahan dan insentif untuk berusaha kepada mereka yang mau berwirausaha. Hasilnya memang cukup mencengangkan, dalam 5 tahun, Aston benar2 telah berbenah. Jalan2 mulai sering disapu hingga bersih, mobil2 yang diparkir tidak teratur mulai ditertibkan, polisisi masyarakat berpatroli sepanjang waktu, para penjual drug mulai menyingkir, hingga total result: kejahatan menurun drastis.

Tuesday, January 17, 2006

Indonesia's Contexts


The Economic Context

Indonesia’s GDP is increasing from 156.0 US$ Billion in 1993 to 173.0 US$ Billion in 2002 to 208.3 US$ Billion in 2003. However, Indonesia’s budget for education is quite low, that is around five percent of the National Budget and Expenditure. This is not only because it suffered economic crisis since 1997, but the rational is rather political (even before the crisis, it had been always low). For example, to ‘keep their people happy’, the government subsidised its fuel oil prices (up to September 2005).

With the recent high oil prices, the ‘policy’ appeared to have become disastrous, i.e. seeing Rp 130 trillion (US$13.2 billion, assuming exchange rate of $1 equals to Rp 9000) of the national budget or almost a third of the total spent on fuel oil subsidy (Antara, 2005). Meanwhile, the government and the House of Representatives had only allocated Rp 26.5 trillion for education (in 2005), despite National Constitution and Educational Law requiring a minimum 20 per cent (or at least Rp 56 trillion) of national and regional budgets and expenditure for education.

Meanwhile, Indonesia is also known as the country with the fifth highest external debt outstanding showing no slowing down. For instance, it increased from 136,088 US$ Million in 1997 to 141,695 US$ Million in 2000 to 132.763 US$ Million in 2003. If total debt/GDP is calculated, it shows data of 33.6 % in 1993, 76.5 % in 2002 and 64.5 % in 2003 respectively (World Bank, 2004b). Furthermore, the annual debt payments are around $0.9 billion or Rp 131 trillion (Jubilee, 2005).

In 2003, a third of Indonesia’s 2004 expenditure goes to debt payments (The Jakarta Post, 13th December 2003) while in 2004, that increased to 52 per cent of Indonesian total revenue (worth Rp 219.4 trillions) (WLHI, 2004). Indonesia has been indebted to IMF since 1997 with no significant progress ever since. In the light of the preceding data, it may seem impossible for Indonesia to pay more attention to its educational sector and other public services.


The Political Context

Indonesia formerly had an authoritarian and bureaucratic political system. Its modern political government and institutions still owe much to both Dutch and ‘traditional Javanese’ influence. Java’s traditions were adopted and enforced as the Indonesian traditions, values and cultures because of their numerical domination in Indonesian politics. Both President Soekarno and Soeharto addressed the problem of unity - since it is a multi racial, multi-religious and multi-cultural country- by adopting an authoritarian system that lasted for 40 years (eight years and 32 years under each rule respectively’) (Wanadi, 2002). King (1982) states that the previous bureaucratic authoritarian regime was characterized by a high degree of corporatism. Instead of individual patron-client ties, various groups within the state as well as in society were collectively tied to the leaders of the state.

Furthermore, Pratikno (no date) adds that a highly centralised political structure had been developed in the name of national integration, political stability and economic development. Although unity and diversity (Bhinneka Tunggal Ika) was a dominant political slogan during that time, political arrangement had given no room for the emergence of competing powers outside Jakarta. Therefore, ‘local power was seen as a threat, subject to central government repression’ (p.3).

However, since 1998 Indonesia moved to more ‘democratic’ transition with the introduction of free press for the first time, decentralisation of authorities to lower governments since 2001, and having three presidents in four years as well as conducting the first direct presidential election in 2004. Although rapid change took place, the former practice and paradigm were not easy to transform. For instance, during the era of ‘dictatorship’, the education system was used as a political machine by the Golkar (Golongan Karya, Functionalist Group) Party. Thirty two years of authoritarian regime organised teachers and civil servants to support the Golkar Party’s bureaucratic government.

However, after the commencement of decentralisation since 2001, political parties – such as the ruling party PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Indonesian Democrat Party of Struggle) – still tried to use teachers and civil servants for their political end by, for example, using school meetings for their campaign of 2004 General Election (Pikiran Rakyat, 2003). This phenomenon above raises a key question: as the change of political landscape took place, has cultural transformation also taken place or has the same practice remained?

The Cultural Context

Looking at its huge cultural diversity, i.e. from Aceh in the West to Papua in East, the modern Indonesia could be described as a very diverse country. However, since 45 per cent of its population is Javanese (WIZ, 2005) and with Soeharto’s Javanese cultural underpinnings of 32-year New Order, consequently Indonesia has been masked by Javanese cultural domination. Soeharto used his own interpretation of Javanese culture – based largely obedience characteristics such as respect for seniors, conformity to hierarchical authority and avoidance of confrontation – to strengthen his bureaucratic and authoritarian regime.

Under circumstances like this, it is not surprising if it is hard for democracy to flourish.
The national education laws always were aimed to develop Indonesian citizens to be complete persons – religious, intelligent, healthy, democratic, independent, responsible, etc.

The National Education is aimed at elevating the intellectual life of the nation and to develop the complete Indonesian person, i.e. one who is devout and God fearing, with high morality, possessing knowledge and skill, who is physically and mentally healthy, who is of stable personality, independent and has a deep sense of responsibility towards the society and nation (Act or Law No 2, 1989).

….they become persons imbued with human values who are faithful and pious to one and only God; who possess morals and noble character; who are healthy, knowledgeable, competent, creative, independent; and as citizens, are democratic and responsible (Act No 20, Year 2003).

However, in reality, those ‘too idealistic’ goals were never achieved. In fact, Indonesia is known to be one of the most corrupt countries (Transparency International, 2002a, 2002b, 2005) with poor human rights record in the world (Human Right Watch, 2004).

Educational Resources Context

Ministry of National Education (MONE, locally known as Depdiknas) has limitations of expenditure on school facilities and maintenance, learning resources and human resources. For example, data showed that in 2000 the condition of primary school buildings throughout Indonesia was deteriorating, since 58 % of them were damaged, 23 % and 26 % of them were severe and minor respectively.

In 1999, the General Director of Primary and Secondary education, Indra Djati Sidi, also suggested that 65 % of all school buildings in Indonesia were damaged (Kompas, 2003a). Furthermore, MONE limitations also saw most learning resources from the centre ended up in warehouses of LEAs (district/local education authority, locally known as Disdik) or PEAs (provincial education authority, locally known as Disdikprov) due to lack of funding to distribute them to schools (Kompas, 2001). Unsurprisingly, only two per cent from almost 200,000 primary schools had sufficient library collections and learning resources (Kompas, 2000a).

As a result of decentralisation the MONE authority’s provision of textbooks was delegated to regional governments since 2003 (Sidi, 2003), however, the distribution of textbook block grants to schools was hampered by corruption (ICW, 2005). Essentially, that meant most pupils have to buy books on their own, mostly from their schools. Schools sold books because they received incentives from book publishers (Gunawan, 2002; Kompas, 2004a). According to the 2001 Annual Report of Special Rapporteur on the Right to Education (ARSRRE), Indonesia students suffer greatly from a lack of qualified and committed teachers.

It reported that ‘today teaching is a low-paid and low-prestige profession’, showing eighty per cent of teachers have parallel jobs, a situation which is facilitated by the teaching time of 2.5 days and 15 weekly hours (Human Right Features, 2003). Furthermore, Kompas (2002a) found that teachers’ wages were also affected by various cuts, making their ‘take home pay’ actually lower than expected.

Monday, January 09, 2006

Indonesia Demographic Context

Indonesia Demographic Context

Indonesia is the biggest archipelago country in the world, consisting of 17,508 islands and nearly 6,000 of them are inhabited. It is prone to a variety of natural disasters, such as earthquake, volcanic eruptions and flood. It is also the fourth most populous country after China, India, and the United States (231,328,092 million in 2002). This former Dutch, European and Japanese colony has recently more than 400 regencies (rural districts) and municipalities (autonomous cities), 32 provinces, and 350 ethic groups.

Its educational system has to manage 43 million pupils, 2.6 million teachers, and 260,000 schools across the country (ICoE, 2004). It recently experienced rural – urban migration as the country’s agriculture-based economy moved to late industrialisation with side effects like overcrowded schools and over supplied teachers in urban areas and multi-graded classes in rural areas.

Furthermore, Indonesia completed universal six-year basic education (USYBE) in 1984, and self-committed to universal nine-year basic education (UNYBE) programme since 1994. Initially, the UNYBE had proved to be successful in increasing the number of primary and lower secondary school students (from 36.44 million in 1994 to 39 million in 1997). However, it decreased slowly since 1998, as Indonesia faced prolonged economic crisis, saw the drop out rate soar from two per cent before the crisis to six per cent after the crisis began (Dursin, 2001). Of 25 million primary school pupils enrolled, only 72.12 % of them finished and continued to lower secondary schools and while 670,000 of them were drop-outs (MONE’s 2000/2001 data cited in Hidayatullah, 2001).

This high drop out rate is due to a wide range of problems, ranging from inability to pay school and parental participation fees, to gender bias to conflicts and natural disasters. Data shows significant gender gaps in school dropout rates at primary and lower and upper secondary schools. According to Asian Economic News (2003) girls are more likely to drop out of school than boys for many reasons – from bans by parents to continue their studies to give a better chance to the boys, to early marriages due to conservative views that girls will land in the kitchen anyway. Not surprisingly, nearly 20% of women are illiterate compared with less than 10% of men. Data taken from ten provinces by the Department of Social Affairs also showed that of dropout children above, 41,000 of them became street children (Hidayatullah, 2001).

The recent quality of education is declining due to its former centralised management system and recent economic crisis. A Political and Economic Risk Consultancy (PERC) in 2001 placed Indonesia second to last out of the twelve Asian countries surveyed, below Vietnam. In the United Nations Development Programme (UNDP)’s 2004 Report on Human Development Index, in terms of life expectancy, educational attainment and adjusted real income, Indonesia was also ranked at 111 out of 177 countries surveyed; below other ASEAN countries such as Singapore (25), Brunei (33), Malaysia (59), Thailand (76), Philippines (83), but above indo-Chinese countries (ICoE, 2004).

Saturday, January 07, 2006

Teacher Education in Indonesia


In the Indonesian teacher education is provided by teacher institutions (teacher colleges or universities) and their in-service training is conducted by teacher training centres – locally known as BPG (Balai Pelatihan Guru, Teacher Training Centres) or PPPG (Pusat Pengembangan Penataran Guru, Teacher Training and Development Centre) (Note: recently it is known as Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan or LPMP).

Teacher education is also seen as a formal educational process which is intended to ensure that the behaviour of prospective teachers matched those of “effective” teachers. Therefore, rigorous entry requirements are one key to ensuring that teachers have the knowledge and skills to help their students meet high standards (McAllister, 2003). However, it is difficult to achieve, especially, if the system has a shortage of teachers. During rapid educational expansion in the 1970-1980s many Indonesian primary and lower secondary prospective teachers were taught only in specialist lower and upper secondary schools (locally known as SPG or Sekolah Pendidikan Guru, Secondary School of Teachers). In this period, about ten thousand new classrooms were opened every year, and the government along with development agencies such as the World Bank established SPGs throughout the country in order to fulfil the need (Nielsen, 2003).

Furthermore, teacher education and training not only are classified as among the crucial determinants of school effectiveness and student achievement (Fuller, 1986) but also are perceived as central in any process of educational change (Davies, 2002). The literature also indicates that robust teacher preparation could help developing teachers’ understanding of learning philosophies, theories and principles, which, in turn, affects their pedagogical practice and students’ learning (Alexander et al, 1996; Gage, 1985). However, the effectiveness of this ‘teacher preparation’ in supporting teachers coping with work and reform process depends on its design and delivery (Schweisfurth, 2002: 32). If the design and delivery were ill initiated, the goals are certainly unachievable.

For instance, at the end of the expansion period of 1970-80s, MOEC’s official study on teacher competence showed that only 45 percent of a random sample of SPG-trained teachers could pass the science test given to the primary school completers (MOEC, 1990). In addition, the teachers were also found unable to use science equipment properly by claiming that they were not trained to do so and had no sufficient time to do experiments (Jiyono, 1986). Another study also found that teaching methods were seriously flawed, asserting that the average teacher failed to employ basic pedagogical tools such as clarifying learning objectives, explaining new concepts clearly, giving examples, stimulating thinking through appropriate questioning, and providing feedback on test results (Djalil, 1988).

"The World Bank Basic Education Study: Indonesia" concluded its section on teacher preparation with the following gloomy assess­ment:

"Pre-service training has relied upon inappropriate lecture methods and has provided insufficient opportunities for students to practice teaching skills. De­spite tremendous efforts in recent years to improve SPG curricula and materi­als, pre-service teacher training is isolated from the realities of primary class­rooms and teacher trainers are usually not themselves trained in primary methods". (World Bank, 1989 quoted in Nielsen, 2003)


Literature on teacher professionalism, for instance Goodson and Cole (1994: 88), suggest that one’s professional identity is influenced by factors and conditions inside and outside the teachers. Furthermore, in order to make the teachers become professional, Goodlad et al., (1990) suggest that it is important to have three criteria: (1) possessing a large degree of talent and skill; (2) using a body of knowledge that support their work; and (3) having the autonomy to make decisions that marry skills with knowledge.

However, it seems that many Indonesian teachers could hardly be ‘categorised’ as professional since they inherited personal, institutional and policy related problems, because (1) many prospective teachers entered the profession not because they possessed talent and skills of teaching, but rather were ‘forced’ by personal and financial conditions, such as inability to enter their expected majors in university or failed to find good jobs in the market, (2) many teacher institutions (SPG in the past, IKIP/universities and BPG/PPPG at the present) were operating in poor quality; and (3) teachers had superficial autonomy and struggled to balance between targets and their actual capacity to do their job. Therefore, the argument that professional teachers must be effective in their jobs (Stodolsky and Grossman, 2000) cannot be realised if the inherited problems above are not alleviated.

Furthermore, after a long period concentrating on expansion rather than quality, in the 1990s, the Indonesian government finally ‘committed itself’ to emphasizing the quality of teachers’ professional development, for example, by phasing out its SPG programmes for prospective primary teachers and replacing them with a two-year post-secondary diploma programme (Diploma II) and increasing the secondary teacher education standard to bachelor degree. During this period, hundreds of thousands of both practising and prospective teachers had to study in teacher colleges and universities to get their ‘professionalism’ improved and to get their certificates for the teaching profession.

However, the movement was rather focussed on the improving the teachers’ qualifications, not the quality (Nielsen, 2003). Many believed that the government’s efforts to improve teacher education (and training) were designed and delivered rather to achieve ‘project-oriented’ goals than genuinely to improve their knowledge and skills (Mawardi, 2004). The ‘project oriented programme’ locally is perceived negative by the Indonesian since it refers to creating a perfunctorily programme which prioritised on quantitative targets, such as getting the project done as quick as possible, without considering the quality of it, such as lack of control measurement.

In addition, this practice was worsened by the lack of administrative capacity to handle large scale reforms in the centre, which left a small number of senior administrators initiating, implementing and supervising the huge numbers of projects; it was almost impossible for them to ensure the quality control of their projects. In fact, hundreds of thousands of teachers were actually going through an upgrading course that had been acknowledged to be poor in quality (Nielsen, 2003). The result of this was not that surprising. For example, MONE’s official study in five provinces, for instance, showed that only 42.71 percent of a random sample of secondary teachers could pass the competence test (MONE, 2001b). These results showed the effectiveness of the teacher preparation was far from expected since its design and delivery were poor and not genuinely made to improve their knowledge and skills.
Since decentralization began in 2001, the central government’s policy regarding teacher education and training remained unchanged.

In 2002, a new model of teacher in-service training was launched ‘emphasising’ the teachers’ quality. The so called competence-based integrated training programme focused on combining a wide range of knowledge and skills needed by teachers to achieve the teacher competence into single, integrated training. Slamet (2002), one of the programme’s designers, suggested that this model would be more effective and efficient than those in the past which were regarded as partial and isolated in order to form an intact teachers’ competence. However, little is known about whether this training model has succeeded to achieve its goals.

During decentralization, there was also a tendency that local governments did not prioritize teachers’ education and professional development in their education related policies. This could be traced from the perception that there were only a small number of partnership programmes, aimed at professional development, among schools, higher education institutions and other appropriate entities, since decentralisation (Supriyoko, 2002b). Supriyoko suggests that recent low educational quality relates to the teachers’ insufficient opportunities to follow further qualification programme, training, seminars and workshops. Unsurprisingly, during decentralisation, data suggests that teachers’ unqualified and under trained cases remained high. MONE recent data showed that from 137,069 pre-school teachers, only 12,929 of them or 9.43 per cent were qualified to teach. Similarly, qualified teachers were only 50.67 per cent out of 625,710 primary teachers, 64.08 per cent out of 299,105 lower secondary teachers, and 63.02 per cent out of 377.673 upper secondary teachers (Suyanto, 2004).

Meanwhile, at the institution level, LEA and school’s bureaucratic and authoritarian system also hindered the teachers’ professional development. For instance, in my own personal experience it was not uncommon to find cases such as many practicing teachers who taught for many years without having a single training since recruitment, while some had different types of training because of bribing the LEA’s officials to get included the programme. Some the head teachers also had prevented some teachers to follow the programme due to ‘fear of rivalry’ for their leadership position at schools.

Teacher’s Status in Indonesia

Historically, Indonesian teachers have always been burdened by targets, policy changes and educational reforms from governments. One of the consequences of these continuous changes was degradation of the professional status, which left the profession considered a second rate, stressful, and unattractive walk of life. During the colonialism era, often perceived as the Golden Era of Indonesian teachers (Tilaar, 2001, Fatoni, 2005), the teachers - locally renowned as ‘guru‘ or noble and wise being - enjoyed high, sacramental status and, therefore, became the natural leaders in society (Tilaar, 2001). The gurus were even positioned as one of three highly respectable positions in the previous society: ‘guru, leader and elderly’ (Dananjaya, 2000).

The teaching profession was perceived to play an important role in promoting societal emancipation, humanizing society and constructing personal and national characters. Therefore, candidates for teaching were those who had high academic record in their previous study level and were trained in high profile teachers’ institutions. Teachers also received a high salary, twice what a doctor could earn (Tokoh Indonesia, 2004). Also their teaching profession could earn them better status or position in the society, for example, Indonesian first President, Soekarno, and Indonesian Prime Minister, Mohammad Natsir, used to be teachers before gaining their political power in the country (Adiartanto, 2002).

Although education was primarily used as a means for preparing skilled manpower for colonial government’s needs to run the country and its apparatus of production, however, Indonesian teachers also used education for educating indigenous people and promoting independence awareness among them. For instance, in the early 1920s some nationalistic and religion based schools (Taman Siswa or Students’ Garden schools and Muhammadiyah schools) were operating, and the teachers, especially at Taman Siswa schools, set their own curriculum by combining subjects from European schools (e.g. mathematics, geography, history, natural science) with Indonesian culture related subjects (e.g. language, literature, social custom and arts) (Bray and Thomas, 1998:14). It is obvious that during the colonial era, the teachers had the highest power their professions have had in Indonesian history.

In contrast, when the New Order governments came to power, the teaching status of teachers severely declined. The needs for national development such as preparing citizens and skilled manpower through universal basic education expansion, which required the training of a large number of teachers most in short time, led to the reduction of the standard of entry requirements for the teaching profession (Tilaar, 2001). This, in turn, declined the status of teachers as the teaching profession became a second rate job and those who entered teacher colleges were those who failed to get places in common institutions or failed to get employment they expected in the job markets. The remuneration the teachers received was also poor; they had to have second or third jobs or held demonstrations or strikes demanding for salary increase before parliament office in order to survive (Adiartanto, 2002).

Furthermore, their autonomy, professionalism and pedagogy were tightly controlled by the state through national curriculum and assessment, state legislation and government targets, and so on. The most dismaying fact, perhaps, is that teachers’ status became next to nothing since political oppression almost wrote off their great influence they used to have in the past.

Dananjaya, 2000 describes it as follows:
"… teachers became political assets …who were mobilised to support the ruling regime. This was systematically politicization that made even the most critical teachers lose their minds. Teachers became impotent and lost their creative energy. Teachers became submissive and spread their virus of self submission to the ruler’s power. Their self pride slumped dramatically, their charisma was weak. They lost their self esteem and lost their self pride of their profession. If there was sympathy for teachers, it was not given because of their professionalism, but rather a pity for to their unfortunate destiny".

Belajar dari reformasi pendidikan di Inggris (2002)

(Dicomot dari milis pribadi tahun 2002...)

Membaca berita pendidikan di tanah air tentang target Mendiknas untukmenaikan posisi Indonesia dari ranking 16 ke 10 se-Asia Pasific ditahun 2004, saya ada rasa2 senang dan ada rasa2 skeptis juga.Senangnya kalo hal itu bisa terlaksana berarti kabar yang baik buatdunia pendidikan kita. Karena ada harapan bahwa perhatian pemerintahterhadap mutu anak didik dan SDM kita akan meningkat. Karena adatarget, berarti akan ada usaha khan begitu. Entah akan ada perbaikankurikulum atau perbaikan kesejahteraan guru, yang pasti akan adausaha kearah perbaikanlah.

Malah kalau melihat email tentang kegiatanter kini Depdiknas yang diforward-kan Pak Fatur (Note: Fahturahman, project planner di Depdiknas) kepada milis kita (Note: milis warta-pendidikan, sekarang sudah di hapus!) , seperti sedang berlangsungnya: piloting project terhadap kurikulumberbasis kompetensi dan program life skills di beberapa daerah, adanya pelatihan berbasis kompetensi, disusunnya kompetensi dasar buat kepsek, guru dan tenaga kependidikan lainnya serta diadakannya bahan ajar kontektual learning, kita secara jelas bisa `membaca' keseriusan pihak Depdiknas terhadap proses reformasi pendidikan. Namun bila melihat target tahun yang dipatok sangatlah mepet, saya menjadi sedikit skeptis. Dalam arti meragukan apa mampu dengan waktuyang sesingkat itu dan program2 yang sudah ada target Pak Malik (Note: Malik Fajar - Mendiknas waktu itu) tersebut bisa tercapai? Darimana dana mencapai target tsb bisa diperoleh sementara dana APBN buat pendidikan masih kurang dari 20%?

Saya malah berpikir barangkali program reformasi tsb ada baiknya daripada `diset' harus tercapai pada kurun waktu tertentu (pendek) lebih baik bersifat menyeluruh (jangka panjang), yang penting bersifat `sustainable' dan berkelanjutan saja. Karena kita sudah pernah mengalami `trauma' akan istilah `proyek', yang terjemahannya `mengejar tujuan jangka pendek' tanpa ada usaha `maintenance' terhadap kelanjutan hasil yang dicapai. Pertanyaanya kalau (ini secara positifnya aza) target 2004 itu tercapai, apa sudah sampai disitu saja target dunia pendidikan kita? Dan bagaimana kalau tidak tercapai? Siapa yang akan bertanggungjawab menanggung kegagalannya? Wah ini saya tidak tahu jawabannya. Maka saya lebih baik berbicara masalah reformasi terkini di Inggris saja…hehehe. Lebih aman…dan mungkin ada pelajaran yang bisa dipetik (Mungkin ada yang konteks yang sejenis dengan permasalahan di Tanah Air).

PM Tony Blair dan counsellor (menteri keuangan) Gordon Brown, baru saja mengumumkan 2002 Budget atau APBN-nya Inggris April ini. Seperti layaknya hal yang serupa di berbagai negara, semua media massa menyoroti masalah kenaikan anggaran buat mereformasi NHS scheme (program Asuransi kesehatan-nyaInggris memberi jaminan kesehatan gratis untuk semua warga tanpa kecuali) yang dianggarkan sampai 40-an billion pounds hingga 2007. Yang menjadi kecaman lawan2 politiknya adalah, reformasi tsb dilakukan dengan cara menaikan pajak kontribusi National Insurance (namanya sih asuransi untuk pembiayaan pelayanan nasional/negara untuk para warganya - tetapi pada hakekatnya adalah 'pajak' tambahan para pekerja), yang tentu saja membuat upset para tax-payers (sudah capek2 kerja, pendapatannya dikurangi lagi). Ada yangbilang partai Labour sudah `breaking their promises' kepada pada pemilihnya (biasalah politisi - umbar janji dulu saat kampanye - terus 'pura2' lupa saat sudah menduduki jabatan), mengingat dia pernah berjanji tidak ada kenaikan pajak dipemilu nasional th lalu.

Tapi Tony & Brown berkilah, kalau tidak `dengan menaikan pajak' bagaimana mungkin reformasi NHS dan lainnya bisa terlaksana sesuai harapan masyarakat banyak.Yang sedikit tidak tercover besar2an oleh massa disini, ternyata juga ada reformasi dibidang kesehatan tersebut bergandengan dengan kenaikan anggaran buat `schools and universities' juga. Tony Blair menekannya pentingnya pemerintah mempertahankan prinsip pentingnyakeberhasilan sektor ini, dengan mantra: education, education, education. Malah ada rumus, kegagalan di bidang pendidikan bisa menghancurkan agenda pemerintah secara keseluruhan. Dengan adanya kenaikan anggaran sekitar 20 billion tahun ini, maka budget yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan per siswa juga meningkat. Dari £1,000/ siswa di th 1996/7 menjadi £2,700 buat sekolah dasar dan £ 3,700 buat secondary.

Apakah reformasi ini benar2 `tulus' untuk `perbaikan rakyat', masih banyak meragukannya. Mengingat tgl 2 Mei ini,Inggris khan melakukan Pemilu lokal untuk memilih MP (member of parliament) barunya. Ada kesan ini merupakan `trick politik' untuk peolehan suara buat partai Labour semata. Namun kebijakan kenaikan anggaran yg luar biasa tsb tidak menyurutkan kritik dari masyarakat. Mengingat banyak permasalahan pendidikan yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan `sekadar kenaikan anggaran' dan `resep jitu' atau `panacea' dari pusat/ pemerintah semata.

Masalah semakin tingginya tingkat kenakalan remaja justru semakinmemprihatinkan. Bayangkan saja Home secretary, David Blankett, mensinyalir jalan2 di Inggris sudah tidak aman lagi, mengingat semakin meningkatnya kasus pencurian, perusakan dan perampokan yang kebanyakan dilakukan oleh kalangan `anak muda'. (Note: dari catatan tidak resmi saya selama tahun 2002 - 2004, sudah 3 orang Indonesia yang kerampokan di jalan serta 2 rumah - termasuk rumah saya yang kecurian, terutama menjelang Christmas dan New Year). Belum lagi masalah kecanduan obat dan ganja (cannabis dilegalkan oleh UU) yang lebih dari 50% dari anak2 muda usia 16 – 24 th mengaku mengkonsumsinya. (Jadi ingat ada berita anak usia 5 th mengkonsumsi narkoba di USA minggu lalu). Ini belum ditambah lagi tingkat aborsi remaja Inggris yang konon tertinggi diantara negara2 Eropa lainnya.

Singkatnya masalah moral generasi (bangsa Inggris) belakangan ini, sudah pada tahap memprihatinkan. Belum lagi meningkatnya kasus `unruly pupils in classrooms' yang membuat NUT (PGRI-nya/teacher union terbesar di Inggris) sampai2 meminta dibuatkan peraturan hukum (legal protection) yang akan melindungi para guru dari ancaman, agresi dan gangguan dari paramurid-nya di kelas. Anak2 dari tingkat nursery (pra sekolah/TK) hingga anak2 cacat/ terbelakang yang `menyerang' guru dengan pensil/pena dan `kata2' (swearing), termasuk diantara kasus yang dikatagorikan disruptive behaviours yang diusulkan harus ditindak. Ini menjadi dilemma para guru, mengingat `corporal punishment' atau hukuman fisik/ badan seperti cane atau cambuk kecil di tahun 1960an sudah tidak diperkenankan dilakukan di sekolah2 di Inggris (Note: Kalo di Indo, guru melotot aja murid sudah takut).

Pemerintah akhirnya berencana akan mengeluarkan peraturan keras yang isinya dapat menghukum dan mendenda para orangtua yangmemiliki anak2 yang katagori `bermasalah' seperti itu. Selanjutnyaanak2 tersebut akan dikatagorikan `sin bins' tersebut, harus dipisahkan dari teman2nya yang masih `baik'. Ide ini menurut polling-sudah 63% ditolak dan 37% menerima. Sekolah akhirnya akan meminta biaya tambahan sebesar 10 pounds kepada parents untuk mewujudkan ide tersebut.Malah ada ide (yang disodorkan diilhami oleh peristiwa September11th) untuk memberikan tugas tambahan para guru2 di kelas untuk menginformasikan anak2 yang memiliki bakat merusak. Menurut penelitian (bisa diragukan validity-nya), perilaku anak2 seusia dini -dari usia 3 th (reception/nursery) – sudah bisa diramalkan apakah akan menjadi `anak2 baik2' atau sebaliknya `anak bermasalah'. Bila ditemukan kasus yang demikian, maka anak2 tersebut akan diberikan `treatment' yang berbeda. (Wah, wah,wah sampai segitunya).

Untuk men-tackle masalah ini pula, akan ada program khusus yang akan diberikan kepada orang tua dan para calon orang tua (mungkin sasarannya kepada orangtua yang sedang mengandung dan atau yang belum menikah tapi punya pasangan) untuk mengikuti `program bagaimana menjadi orang tua yang baik'. Karena disinyalir ada pendapat (hasil penelitian juga) bahwaanak2 bermasalah tersebut berasal dari keluarga yang bermasalah pula. Juga perilaku anak bersumber dari perilaku social dimana dia tinggal, anak2 hanya mengadopsi saja. Dst…dll. (nggak saya teruskan). Wah, wah kalo di Inggris yang relatively peradabannya (ngakunya) lebih maju aja begitu bagaimana dengan yang masih primitif ya?

Saya cuma bisa berdoa dan berharap semoga kejadian itu tidak menyebar sampai ke kampung saya di pedalaman Kalimantan sana. Karena masih ada orang2 yang baik dan memiliki moral yang kuat. Entah kalo ada yang sudah merasa ikut2an bangsa Inggris, ya…..

Birmingham,25 April 2002

Friday, January 06, 2006

New Year

New Year 2006 has come! as well as new plans, ideas and hopes ... I left 2005 with struggling to balance between my study and work. Although it seems that the year saw my study reached its anti climax stage, while other was business as usual...

A teacher from Samarinda, East Borneo.