Total Pageviews

Friday, September 10, 2010

Happy Eid Mubarak 1431 H

Assalaamu'alaykum wa rahmatullah wa barakatuh -
May God's peace and blessings be upon you

Wishing you a very Happy Eid Mubarak.

May the Mercy & Blessing's of the Almighty be with you, your family, and friends during this auspicious Eid Blessings Day and continue to be always, and May Allah (swt) have accepted all our prayers/duas during this blessed month of Ramadan, insha'Allah (God Willing).

May your year ahead continue to be filled with a healthy, wealthy, and prosperity life, and May you have a Joyous and Spirited Eid Mubarak (Blessings) day with all your dear ones, including people of all faiths and humanity, filled with Love, Peace, and Happiness .... Ameen

Have A Most Blessed Festival Of Nature.

All the best

Barlin

Wednesday, September 08, 2010

Why do Finland's schools get the best results?

Why do Finland's schools get the best results?

By Tom Burridge
BBC World News America, Helsinki

Last year more than 100 foreign delegations and governments visited Helsinki, hoping to learn the secret of their schools' success.

In 2006, Finland's pupils scored the highest average results in science and reading in the whole of the developed world. In the OECD's exams for 15 year-olds, known as PISA, they also came second in maths, beaten only by teenagers in South Korea.

Education in South Korea In South Korea, the school day is long and pupils have a much stricter study regime.

This isn't a one-off: in previous PISA tests Finland also came out top.

The Finnish philosophy with education is that everyone has something to contribute and those who struggle in certain subjects should not be left behind.

A tactic used in virtually every lesson is the provision of an additional teacher who helps those who struggle in a particular subject. But the pupils are all kept in the same classroom, regardless of their ability in that particular subject.

Finland's Education Minister, Henna Virkkunen is proud of her country's record but her next goal is to target the brightest pupils.

''The Finnish system supports very much those pupils who have learning difficulties but we have to pay more attention also to those pupils who are very talented. Now we have started a pilot project about how to support those pupils who are very gifted in certain areas.''

Late learners

According to the OECD, Finnish children spend the fewest number of hours in the classroom in the developed world.

This reflects another important theme of Finnish education.

Primary and secondary schooling is combined, so the pupils don't have to change schools at age 13. They avoid a potentially disruptive transition from one school to another.

Teacher Marjaana Arovaara-Heikkinen believes keeping the same pupils in her classroom for several years also makes her job a lot easier.

''I'm like growing up with my children, I see the problems they have when they are small. And now after five years, I still see and know what has happened in their youth, what are the best things they can do. I tell them I'm like their school mother.''

Children in Finland only start main school at age seven. The idea is that before then they learn best when they're playing and by the time they finally get to school they are keen to start learning.

Less is more

Education in the United States "If education is expensive, try ignorance"

Finnish parents obviously claim some credit for the impressive school results. There is a culture of reading with the kids at home and families have regular contact with their children's teachers.

Teaching is a prestigious career in Finland. Teachers are highly valued and teaching standards are high.

The educational system's success in Finland seems to be part cultural. Pupils study in a relaxed and informal atmosphere.

Finland also has low levels of immigration. So when pupils start school the majority have Finnish as their native language, eliminating an obstacle that other societies often face.

The system's success is built on the idea of less can be more. There is an emphasis on relaxed schools, free from political prescriptions. This combination, they believe, means that no child is left behind.
Story from BBC NEWS:
http://news.bbc.co.uk/go/pr/fr/-/2/hi/programmes/world_news_america/8601207.stm

Published: 2010/04/07 15:19:11 GMT

Saturday, May 15, 2010

FAKTA SEPUTAR UJIAN NASIONAL

Ujian Nasional dapat berdampak sbb:
1. Menambah beban belajar siswa
2. Membuat stress siswa dan keluarganya
3. Membuat sekolah sekolah kehilangan ruh sebagai tempat belajar
4. Menumpulkan kreativitas (guru & siswa)
5. Mendorong pendidikan hanya sekadar lulus ujian/ dapat ijazah semata
Noah and Eckstein (1992, hal 149)

http://www.tribunnews.com/2010/04/28/siswi-yang-bunuh-diri-itu-ternyata-peraih-nilai-tertinggi

6. Proses belajar mengajar disekolah tereduksi menjadi sekadar ‘teaching to the test’ atau mengajar apa yang diteskan dalam UN semata (Kesuma, 2001, hal 8)

7. Berasal atau meminjam model dari Negara maju (developed) yang belum tentu tepat untuk kondisi Negara berkembang (developing countries), suatu policy/ kebijakan di dukung sepenuhnya oleh World Bank (Bank Dunia) yang siap member hutangan bagi Negara yang membutuhkan. (Noah and Eckstein, 1992, Hal 4)

8. Tujuan UN yang hanya menilai kognitif siswa bertentantangan dengan tujuan pembelajaran menitik beratkan pengembangan dibidang kognitif, afektif dan psikomotorik anak/ siswa secara proporsional. Tidak kelihatan bedanya kerja keras siswa (value added achievement) dari sekolah pinggiran, dari keluarga tidak mampu dan sarana prasarana sekolah yang minim dengan siswa dari sekolah favorit, dari keluarga mampu dan sarana prasarana sekolah yang wah.

9. Kebijakan UN hanya terbatas pada melihat hasil akademik yang terbatas, ‘mengganggu’ penyelenggaran pembelajaran di sekolah, dan menggunakan jenis penilaian yang tidak memberikan motivasi (guru dan siswa) untuk belajar dengan sesungguhnya. (Broadfoot, 1988, hal 161-162)

10. Penilaian hasil belajar dengan cara pilihan ganda dan atau jawaban essay singkat sangat tidak reliable. Karena tidak dapat mengakses tingkat berpikir, kemampuan memecahkan masalah, kreativitas dan inisiatif siswa. (Davey and Neill, 1991)

11. Guru sibuk memborbardir siswa dengan soal-soal yang banyak, memperkenalkan ‘magic tricks’ bagaimana menjawab soal dengan efektif. Kelas menjadi tidak menyenangkan, mengajar menjadi serius dan jauh dari mengembangkan kreativitas. Guru menekan siswa untuk ‘menghafal’ isi kurikulum. Semakin menjelang UN, guru semakin sibuk dan tegang.

12. Siswa semakin stress dan sibuk karena semakin menjelang UN, semakin tegang untuk belajar lebih keras, mengikuti jam belajar extra lebih banyak, dan mengerjakan tugas atau PR lebih banyak dari gurunya. Hal ini membuat anak-anak terganggu secara fisik dan mental karena kecapaian, ketegangan, kegelisahan dan ketakutan tidak lulus UN.

13. Pemerintah pusat dan daerah menghabiskan banyak anggaran dengan jenis ujian yang tidak jelas tingkat efektivitasnya dalam meningkatkan standard dan kualitas pendidikan pendidikan nasional dan daerah. Kebanyakan sekolah bingung mencari dana untuk membiayai ujian nasional utama dan ulangan.

http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2010/03/18/brk,20100318-233447,id.html

14. Soal UN memiliki masalah validitas dan reabilitas. Meskipun kurikulum yang berlaku disekolah adalah KTSP atau bervariasi di setiap sekolah, namun SKL dan kisi-kisi masih dibuat dan ditentukan oleh pusat. Selanjutnya, tidak semua soal telah diteskan/ dipilotkan secara proporsional diseluruh wilayah Republik Indonesia. Contoh banyak soal yang menggunakan bahasa Metropolitan yang sama kepada semua siswa yang berbeda latar belakangnya (daerah terpencil, desa dan kota), soal banyak men-generalisir (menyamaratakan) kemampuan siswa yang berbeda-beda.

15. Hasil ujian tidak pernah dipakai sebagai feedback atau masukan untuk meningkatkan hasil belajar siswa dan memperbaiki pedagogis guru. Lebih sering sekolah ‘yang berhasil’ (biasanya sekolah favorit, dengan SDM guru yang lengkap dan sarana prasarana yang memadai) yang terus mendapat perhatian dan kucuran dana. Sementara sekolah yang ‘kurang berhasil’ tidak pernah mendapat perhatian.

16. Anggaran penyelenggaran UN setiap tahunnya sangat besar (Rp 524 M tahun 2010), tetapi tingkat efektivitasnya dalam memajukan pendidikan perlu dipertanyakan hasilnya.

http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=43015

Alternatif lain untuk penyelenggaraan UN adalah penilaian berbasis kinerja siswa (performance assessment), yaitu menilai apa yang siswa ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Sistem penilaian ini melibatkan observasi, dokumen (porto folio) dan analisis kerja/ projek siswa. Yang dinilai adalah produk dan projek yang dilakukan/ dibuat oleh siswa di dalam dan di luar kelas, hasil penelitian/riset, karya tulis/ esay, serta eksebisi/ pameran dilakukan oleh siswa.
Masalah yang ditimbulkan dari penyelenggaraan UN adalah:
1. Penekanan pada penilaian kognitif saja.
2. Guru kekehilangan kreativitas dalam pedagogis
3. Peningkatan stress yang dihadapi siswa, guru kepala sekolah, dan orang tua
4. Biaya penyelenggaran UN yang besar
5. Prosentasi siswa yang tidak dapat melanjutkan pendidikan di tingkat selanjutnya meningkat.

Di masa depan globalisasi dan kemajuan teknologi akan merubah tujuan belajar/ pendidikan dari sekadar peningkatan pengetahuan (knowledge) semata menjadi peningkatan kualitas kemampuan (attitude), keterampilan (skill) dan kualitas personal bagi siswa. Sementara pengetahuan yang menjadi target utama kurikulum selama ini akan semakin tidak relevan di dunia yang informasi dapat dengan mudahnya peroleh dengan hanya menekan tombol. Yang perlu dikembangkan adalah mengapa pengetahuan tersebut diperlukan, dimana mencarinya dan bagaimana menggunakannya secara tepat yang seharusnya menjadi sentral tujuan belajar bagi siswa.

Referensi:

http://bsnp-indonesia.org/id/?page_id=61

Broadfoot, P. (2000) ‘Assessment and Intuition’ in Atkinson, T. and Claxton, G. (2000) The Intuitive Practitioner: On the value of not always knowing what one is doing, p.199 – 218, Buckingham: Open University Press.

Broadfoot, P. (1992) ‘Towards Profiles of Achievement: Developments in Europe’ in Noah, H.J. and Eckstein, M.A. (1992) Examinations: Comparative and International Studies, p61 – 78, Oxford: Pergamon Press.

Broadfoot, P. (1988) ‘Research and Policy-making in Assessment: Some unanswered Questions’ in Black, H.D. and Dockrell, W.B. (Eds.) (1988) New Developments in Educational Assessment, p158 – 173, Edinburg: Scottish Academic Press.
Darminto (1999) BMPS Desak Ebtanas Dihapus (BPMS Urge the Elimination of Ebtanas), Kompas Daily, Jakarta, 11/2/1999.

Davey, Lynn & Neill, Monty (1991). The case against a national test. Practical Assessment, Research & Evaluation, 2(10). Available online: http://ericae.net/pare/getvn.asp?v=2&n=10

Kesuma, B. H. (2001) Questioning The Role of National Testing (EBTANAS) in Indonesian Compulsory Education Schools: Are They Effective For Achieving or Ruining Education Goals?

MOE (2000) Indonesian Ministry of Education, http://www.pdk.go.id/MainHome.html.

Noah, H. J. and Eckstein, M.A. (eds) (1992) Examinations: Comparative and International Studies, Oxford: Pergamon Press.

Tuesday, May 11, 2010

USULAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN BAGI KOTA SAMARINDA (2010)


Human Development Index (HDI) Malaysia (menurut UNDP, 2005) berada pada posisi ke-61, sedang Singapore pada posisi ke-25. Posisi Indonesia jauh lebih buruk karena berada pada posisi 110 atau kalah bersaing dengan Vietnam di posisi ke-108. Kita hanya lebih baik bandingkan  dengan Myanmar (129), Kambodja (130), dan Laos (133).
Mutu pendidikan kita diantara negara-negara Asia bahkan di ASEAN juga buruk, dalam hal prestasi MIPA di level internasional misalnya. Hasil tes TIMSS 2003 dan PISA 2003 menunjukan bahwa mata pelajaran matematika dan science penguasaan siswa Indonesia berada pada kelompok bawah, bahkan tergolong sangat terpuruk. Dalam TIMSS 2003 Indonesia menempati posisi 34 untuk matematika dan posisi 36 untuk IPA dari 46 negara peserta. Dalam PISA 2003 yang diikuti oleh 41 negara peserta, dalam kemampuan membaca dan matematika siswa kita ada pada urutan ke-39, sedangkan dalam kemampuan sains pada urutan ke-38.
Sejak konferensi dunia Education For All (EFA) yang diadakan di Jomtien, Thailand pada Maret 1990 dan Delhi Declaration pada tahun 1993, semua negara di dunia termasuk Indonesia sepakat untuk meneruskan visi dan komitmen untuk memasuki fase baru yaitu peluncuran program pendidikan tingkat dasar atau Wajar hingga tingkat SD/MI hingga SMP/MTs (7 s.d. 15 tahun) bagi setiap warga negaranya. Sebagai pengakuan bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia yang paling mendasar, Provinsi Kaltim dan Kotamadya Samarinda bahkan berkomitmen lebih yaitu menyediakan pendidikan dasar hingga ke tingkat menengah atas (SMA, MA dan SMK) bagi seluruh penduduknya.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah dengan UU No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Dearah, maka sejak tahun 2001, urusan-urusan dibidang pendidikan ini sudah menjadi urusan daerah (tingkat I & II). Kecuali urusan kurikulum, hampir semua program-program di bidang pendidikan sekarang menjadi urusan daerah Tk II.
Mutu Pendidikan di Samarinda
Hasil Ujian Nasional Utama tahun 2010 membangkitkan rasa keprihatinan yang sangat mendalam kepada warga kota Samarinda, mengingat tingkat ketidaklulusan siswa SMA/MA ternyata mencapai 25.73%, SMK mencapai 24.47 % dan SMP/Mts mencapai 49.22%. Dengan hasil ini menempatkan kota Samarinda sebagai salah satu daerah Tk II di Kaltim yang paling paling merosot tingkat kelulusannya dibandingkan daerah lain. Adanya hasil yang memprihatinkan ini semakin menambah  beban pekerjaan pemerintah kota Samarinda yang sudah menumpuk dari pekerjaan-pekerjaan rumah tahun sebelumnya yang juga belum terselesaikan. Seperti masih banyaknya sekolah menumpang, ruang-ruang kelas yang rusak berat, fakta bahwa 55% guru Samarinda tidak layak mengajar, dana BOSDA yang sudah 14 bulan belum terbayar (September 2010), dll maka sudah layak dan penting untuk segera memulai reformasi khusus terhadap policy atau kebijakan di bidang pendidikan di kota Samarinda. 
Tujuan dibuatnya usulan ini adalah sebagai framework dan pengingat arah prioritas kebijakan pendidikan kota Samarinda yang perlu dikembangkan di tahun-tahun selanjutnya.

TRANSFORMASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN SAMARINDA

A.      PERLUASAN AKSES PENDIDIKAN BAGI SEMUA ANAK USIA SEKOLAH (Providing equitable access and opportunity for school age children)
1.       Mencapai gross enrolment ration bagi pendidikan dasar dan menengah hingga 100% untuk usia 7 – 18 tahun

2. Prioritas kelompok sasaran pendidikan (priority target groups)
a.       Anak2 usia sekolah (7-18 th) diwajibkan bersekolah tanpa kecuali (diatur dalam Perda).
b.      Pemuda/i putus sekolah usia 11 – 18 th  diwajibkan untuk mengikuti Paket B & C dan mengikuti kursus keterampilan atau membuat program ijazah plus 1 sertifikat keterampilan (diatur oleh Perda). Perlu sinkronisasi antara pendidikan formal dan informal/ non formal.
c.       Anak jalanan (Street children) dan anak yang bekerja – perlu pembentukan satellite or mobile schools.
d.      Orang dewasa (diatas 18 tahun) tidak dapat membaca/ menulis.

3.       Program bina lingkungan, yaitu memberi kuota wajib kepada sekolah untuk memberikan minimal 5-10% dari daya tampung siswa barunya (berlaku untuk sekolah biasa, sekolah standar nasional dan RSBI/SBI) kepada anak-anak kurang mampu dalam radius 5 km dari sekolah.
4.       Adanya Perda yang mengatur sangksi yang jelas bagi orang tua/ wali yang dengan sengaja mengabaikan pendidikan anak2nya (denda atau hukuman community services)
5.       Pemkot memiliki program asuransi (kesehatan dan pendidikan) bagi semua anak usia  bersekolah.  


B.      PENDIDIKAN YANG BERMUTU (STANDARISASI & MINIMUM PELAYANAN) Improving quality of education services)
1.       Akreditasi sekolah - Kualitas (standar minimum pelayanan) sekolah negeri dan swasta harus sama. Artinya dana untuk peningkatan Hasil penilaian/ akreditasi harus didapat akses/diketahui oleh masyarakat luas
2.       Membuat target tahun 2014 semua guru tetap yang bekerja pada satuan pendidikan di Samarinda harus minimal S1. Pemkot dan dinas pendidikan dapat memberikan subsidi/beasiswa. Guru yang belum S1 pada tahun 2015 diarahkan untuk mencari sekolah atau diberi kemudahan mutasi ke luar kota Samarinda. Ini secara dramatis akan mengurangi prosentasi data bahwa 55% guru di Samarinda tidak layak mengajar itu.
[Kementrian Keuangan pimpinan Sri Mulyani menerapkan suatu reformasi personnel yang sangat efektif menekan tingkat ketidakdisiplinan, penyelewengan (korupsi dan suap) dan ketidakmampuan di lembaganya. Ratusan pegawai dipecat dan diberhentikan jika mereka tidak sesuai dengan kriteria yang digariskan oleh lembaganya. Terbukti Kementrian Keuangan perlahan tapi pasti lembaga yang bersih dan mampu bekerja secara efektif dan efisien. menjadi Hal serupa dapat diterapkan di lingkungan Pemkot Samarinda. Bila program perubahan untuk perbaikan dilakukan by design, maka kebijakan ini akan mendapat dukungan luas dari public kota Samarinda]. 
3.       Target tahun 2015, guru yang telah bersertifikasi di Samarinda mencapai minimal 60 % (meningkat 15% per tahun). Samarinda sekarang punya 11.200 pendidik, baru tetapi baru 1.659 orang sudah bersertifikasi (14%). Perbaikan data guru yang ada sekarang dan lobby perlu dilakukan kepada Kementrian Pendidikan Nasional cq Direkur Profesi Guru agar Samarinda dapat menambah kuota guru yang disertifikasi. Dengan semakin besarnya jumlah guru yang telah bersertifikasi, maka beban daerah untuk membayar insentif guru bisa berkurang dan dananya dapat dialihkan.
4.       Pengadaan bahan belajar disekolah perlu ada intervensi khusus dari Pemkot. Program textbook rental system kepada setiap siswa SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK disemua sekolah. Minimal 80 % siswa telah dilayani sistem yang memberi akses untuk meminjam/ menggunakan semua buku yang dipakai disekolah, minimal satu anak satu buku (per mata pelajaran), penambahan koleksi perpustakaan, pelatihan KKG/MGMP bagi guru untuk membuat sendiri bahan ajar mereka disekolah.
5.       Pengadaan fasilitas ICT bagi semua sekolah (minimal 10 komputer dan 5 laptops per sekolah di tingkat SD/MI dan dua kali lipat bagi tingkat SMP/MTs/SMA/MA/SMK). Fasilitas ICT ini dipergunakan oleh sekolah untuk PBM dan perpustakaan sekolah. 
6.       Pengadaan staff administrasi/ TU minimal 1 orang bagi SD/MI
7.        Jumlah murid per rombongan belajar (rombel) maksimal 30 orang pada tahun 2013 (secara bertahap perlu mengacu pada jumlah 24 per rombel menurut Permeniknas No 69/2009). Rombel yang memiliki siswa lebih dari 30 harus diampu 2 orang guru untuk mata-mata pelajaran tertentu (misalnya yang diunaskan dan ditambah khusus mata pelajaran ICT dan mata pelajaran keahlian/praktek).
8.       Sekolah wajib memberikan pelatihan atau mengikutsertakan guru dalam pelatihan (continuous perofessional development) yang diadakan oleh KKG/MGMP, LPMP, dan lembaga pendidikan ekternal lainnya minimal 2 x dalam satu tahun di dalam sekolah/ luar sekolah. Diperlukan training need analysis bagi guru oleh Dinas Pendidikan
9.       Setiap seminar/ workshops/ pelatihan untuk guru yang akan diadakan di kota Samarinda harus diberitahukan/didaftarkan terlebih dahulu kepada Dinas Pendidikan paling lambat 4 minggu sebelumnya. Ini agar Dinas dapat membantu mensosialisasi info pelatihan kepada para guru yang memerlukan serta dapat mengontrol kualitas dan kuantitas penyelenggaraan pelatihan guru. Pelatihan-pelatihan guru yang mengarah pada peningkatan pemahaman materi ajar per bidang studi dan metode mengajar harus lebih banyak daripada jenis pelatihan yang lain.
10.   Sekolah menyisihkan minimal 10 hari dalam jangka 1 tahun untuk program peningkatan pengetahuan & keterampilan bagi para guru dan tenaga kependidikannya.

[Fakta dilapangan bahwa meskipun telah diberikan cukup pelatihan kepada para guru, tidak ada jaminan serta merta para guru akan mengubah cara dan metode mengajarnya kepada siswa, menerapkan apa yang sudah diterimanya di dalam pelatihan. Selain karena alas an kesulitan menciptakan iklim atau suasana yang mendukung untuk terlaksananya innovasi pendidikan, juga dikarenakan ada budaya resistansi di kalangan para guru itu sendiri yang akan menolak semua faktor ekternal yang berpotensi akan merubah persepsi mereka tentang tugas dan fungsi guru yang sudah mendarah daging dan para guru sudah merasa nyaman dengan keadaan tersebut. Untuk itu, cara cerdas atau alternative yang harus dilakukan adalah memanfaatkan potensi siswa untuk belajar mengejar ketertinggalan secara mandiri. Dinas pendidikan bisa memanfaatkan teknologi seperti e-learning atau students’ self-help dimana siswa dapat mengakses bank soal, soal-soal ujian sekolah dan ujian nasional berikut pembahasannya secara mandiri dan online. Menempatkan seorang e-tutor yang bertugas membantu siswa secara online dalam pembahasan soal juga dapat membantu mempercepat pemahaman siswa terhadap masalah-masalah yang dihadapinya dalam belajar. Singkatnya, kalau susah merubah gurunya yang gaptek (gagap teknologi) dan tak mau berinnovasi, kenapa tidak langsung memberdayakan siswa agar bisa mandiri mencari memecahkan persoalan belajar mereka sendiri].

11.   Kepsek direkrut, diangkat, dipromosi, diberhentikan berdasarkan prestasi kerja, bukan dari sekadar lamanya pengabdian menjadi staf pengajar. Diadakan fit proper test dan evaluasi berbasis kinerja secara reguler oleh pengawas sekolah, dinas pendidikan dan perwakilan orang tua/ komite. Untuk pertanggungjawaban kepada public, hasilnya penilaian wajib di publikasikan kepada masyarakat.

12.   Kepsek berprestasi diberikan reward khusus (misalnya menjadi Kepsek RSBI/SBI, beasiswa, dll.) Lembaga independent dapat dilibat untuk mendapatkan kepsek RSBI/SBI yang benar-benar kompeten, visioner dan berprestasi. Para kepsek baru (beginning head teachers) yang innovative dipromosikan menjadi kepsek sekolah standard nasional.
13.   Pemkot punya data baseline yang online (real time) tentang keadaan siswa, guru dan tenaga kependidikan untuk keperluan projeksi, kontrol, monitoring dan evaluasi. Misalnya dalam membuat (a) analisis kebutuhan siswa, guru dan tenaga kependidikan saat ini dan dimasa datang, (b) sejauh mana daya serap siswa dalam mengikuti materi PBM atau target kurukulum di sekolah dan (c) projeksi jumlah tenaga kerja yang akan dihasilkan dan akan terserap pasar, dll.
14.   Pemkot dan dinas pendidikan mempermudah birokrasi mutasi/perpindahan guru (antar sekolah, anatar rayon, anatar kota dan anatar provinsi) untuk mengurangi penumpukan atau kekurangan guru pada sekolah-sekolah dan daerah-daerah tertentu (pemerataan).
15.   Penilaian kualitas kinerja guru harus berdasarkan pengalaman, prestasi dan training yang diikutinya. Tingkat kemangkiran guru dalam mengajar ditargetkan dibawah 5% setiap bulannya, monitoring & sangksi bagi yang absen tanpa alasan diperketat. 
16.   Pengembangan program e-learning/ e-tutor, Bilingual & ICT pada tingkat SD/MI, SMP/MTs & SMA/MA/SMK.
17.   Sekolah melaksanakan program Bimbingan Belajar persiapan Ujian Nasional sejak dini atau sejak kelas 4 SD/MI, kelas I SMP/Mts dan kelas I SMA/MA/SMK. Semoga kegiatan praktek mata pelajaran sedapat mungkin dilakukan atau selesai dilakukan pada kelas II SMP/Mts, SMA/MA/SMK.
18.   Ada 24 sekolah masih menumpang di Samarinda, ratusan ruang kelas rusak berat hingga ringan serta puluhan perpustakaan sekolah yang tidak layak pakai yang belum tersentuh oleh anggaran pendidikan 20 % APBD Samarinda. Faktanya dana 20 % tersebut masih harus dibagi-bagi lagi bersama 5 SKPD diluar dinas pendidikan, sehingga secara real dinas pendidikan hanya mengelola Rp 23 M dana pendidikan - yang kesemuanya diperuntukan untuk peningkatan mutu pendidikan - sedang bantuan langsung untuk sekolah dan insentif guru mencapai Rp 194 M. Logika ini perlu dirubah dan tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Untuk itu penyusunan anggaran ke depan harus menjamin adanya peningkatan dana yang diperuntukan untuk peningkatan mutu pendidikan (diluar insentif guru dan bantuan langsung ke sekolah) secara signifikan dan adanya jaminan bahwa pengucuran dana untuk pendidikan tidak akan terhambat atau terlambat dicairkan (karena akan berdampak langsung pada penurunan mutu pendidikan kota Samarinda).   
19.   Pemkot memfasilitasi dan atau subsidi pengadaan internet bagi sekolah-sekolah bekerja sama dengan Pustekkom (Jardiknas) dan pihak ketiga yang peduli dengan pendidikan.

[Pengalaman di Gresik, sekolah-sekolah disana sudah terhubung dengan dengan internet atas kerja sama dengan Speedy PT Telkom (dengan memakai dana community development PT TELKOM). Dalam hal ini Pemkot Gresik dan PT Telkom membuat MOU sehingga sekolah-sekolah dapat akses internet.  Program-program yang bisa dilakukan jika sekolah sudah dapat terhubung dengan internet adalah Global classrooms, virtual teachers centre & materi online. Target tambahan tingkat kehadiran/absensi bagi staf, guru dan siswa dikontrol secara online pada 2015. PT INDOSAT di Samarinda baru-baru ini menawarkan program kepada orang tua dapat mengontrol anak-anaknya apakah hadir disekolah dengan hanya mengirim sms ke INDOSAT. Apabila Pemkot dan PT INDOSAT dapat membuat MOU, hal ini dapat membantu menekan tingkat ketidakhadiran siswa dan guru, sekaligus untuk perbaikan control dan monitoring di sekolah-sekolah.]


C.      PENDIDIKAN YANG BERKEADILAN
1.       Pembiyaan rutin, subsidi, bantuan langsung, insentif harus memperhatikan prinsip keadilan dan berbasis kinerja (‘reward & punishment’).
2.       Seleksi penerimaan siswa baru untuk RSBI/ SBI diadakan secara fair dan transparan (budaya siswa titipan tidak berlaku lagi/dihapuskan), misalnya dengan membuka pendaftaran online. Para guru RSBI/ SBI diseleksi ketat, dan setiap 5 tahun harus diseleksi ulang agar terjamin mutu dan kualitas pengajar hanya bagi guru/ pengajar yang berkompeten dan innovative.
3.       Sekolah kecil, pinggiran, baru berdiri dan yang masih kurang memiliki sarana prasarana (resources) pendidikan yang standar harus mendapat prioritas (dana rutin yang diterima sekolah selain berdasarkan dari jumlah siswa juga ditambah indikator2 lain, misalnya jumlah siswa kurang mampu yang diterimanya, jumlah kekurangan guru/ staff, ada tidaknya fasilitas dasar disekolah (perpustakan/ workshop/laboratorium (science/computer/bahasa dan sebagainya).
4.       Pemberian insentif guru, pengawas, kepala sekolah (misalnya transport, tunjangan, dll) harus berdasarkan kriteria yang terukur (misalnya semakin jauh dari pusat kota, semakin besar).
5.       Food for Education Programme – makanan tambahan gratis bagi anak2 kurang mampu. Anak yang yang menerima minimal harus minimal 85% hadir di sekolah per bulannya.
6.       Stipend programme – ongkos ke sekolah anak2 yang tinggal jauh dari sekolah di tanggung/ diganti oleh pemerintah.
7.        Sebagai upaya memaksimalkan pengadaan sumber/ resources dan outcome bagi pendidikan, bisa ditempuh dengan cara:
·         Memperbaiki rasio guru – siswa (1 mata pelajaran 2 guru)
·         Memastikan semua bahan belajar anak betul2 digunakan, tanpa tersia-siakan dan dijaga dengan sungguh2
·         Mendorong agar setiap instansi di tingkat II dan swasta yang ada dilingkungan kota Samarinda untuk berinvestasi di sektor pendidikan (menjadi partner penyelenggaran pendidikan di sekolah)
·         Mendorong kerjasama dengan organisasi non pemerintah agar mendukung program pendidikan
8.       Peningkatan manajemen sektor pendidikan
·         Penyederhanaan (mata rantai) birokrasi di disdik kota
·         Pelatihan bagi staf dinas pendidikan
·         Peningkatan profesionalisme administrator di disdik
·         Peningkatan budaya manajemen
·         Koordinasi lintas sektoral dalam lingkungan pemkot yang lebih efisien
·         Tersusunnya target program kinerja yang jelas dan penujukan pejabat yang capable & accountabel untuk melaksanakannya.
 Demikian usulan ini saya buat di Samarinda, 11 Mei 2010.
Hormat saya,
Dr Barlin Hady Kesuma, M.Ed

Silahkan baca/download versi lengkap di link blog ini.
http://www.ziddu.com/download/9818313/ProgramuntukSamarinda2010.docx.html

Wednesday, January 13, 2010

Link Mendownload Soal-soal Ujian Nasional

Pada awal Januari saya diundang untuk membedah SKL ujian nasional berdasarkan Permen 75/2009 didepan siswa SMP, SMA & SMK di Loa Kulu, Kutai Kartanegara. Sebagaimana yang dikutip oleh Sapos dan Humas Protokol Kukar di web mereka:

http://www.sapos.co.id/berita/index.asp?IDKategori=278&id=3198
http://humas.kutaikartanegarakab.go.id/index.php/read/barlin-k-siswa-harus-punya-strategi-khusus-menghadapi-ujian/

dipertemuan tsb saya menyampaikan bahwa:
“... siswa harus mempunyai stategi khusus untuk menghadapi ujian. Hal paling penting adalah stategi belajar yang baik, salah satunya siswa harus mempunyai kisi-kisi soal yang kira-kira keluar di ujian mendatang.
"Kita tidak usah belajar semua pelajaran, cukup meringkas pelajaran dengan menggunakan kisi-kisi, sehingga akan lebih mudah memahami," ujarnya.
Banyak cara bisa dilakukan untuk belajar pada jaman modern ini, seperti internet. Dengan menggunakan internet, siswa dapat mencari soal-soal baru untuk belajar. Cukup dengan waktu yang singkat dan harga yang terjangkau siswa sudah bisa banyak mendapat soal-soal untuk mengasah kemampuannya. Dengan adanya internet siswa di daerah terpencil pun dapat bersaing dengan siswa-siswa yang ada di kota besar”.

Untuk mendapatkan soal-soal UN bagi siswa (dan guru) yang saya usulkan diatas, siswa perlu menggunakan waktu yang ada ini untuk mengunduhnya di internet. Contohnya untuk men-download Bank Soal Bahasa Inggris tahun 1985 – 2007, bisa di unduh di website berikut ini:

http://mohammadihsan.com/view.php?subaction=showfull&id=1226425666&archive=&start_from=&ucat=9&

Semoga bermanfaat.

Tuesday, January 12, 2010

Jenis-jenis Knowledge Economy & Knowledge Society

Knowledge Economy and Knowledge Society

1. Ekonomi Pasar Modal/ Pemegang Saham


Kata kunci : kapitalis pasar modal, komoditi.

Ciri-ciri: memberikan primasi kepada mekanisme pasar dan melindungi hak2 para investor, menyeimbangkan antara hak2 pemegang saham (stockholders) dan non pemegang saham (stakeholders) lainnya baik dalam aktivitas (enterprise) maupun dalam masyarakat (society), penyeimbangan/ koreksi terhadap dampak pasar dilakukan melalui regulasi.

Innovasi dan daya saing nasional dicapai melalui:
- pasar & tenaga kerja yang fleksible
- regulasi tenaga kerja & pasar: sedikit/ terbatas
- tingkat employment yang tinggi
- waktu bekerja lebih panjang
- tingkat social expenditure rendah.

Negara2 dalam kategori ini: USA, UK, Canada, Australia, New Zealand (Anglo-Saxon countries/ negara2 berbahasa Inggris).

Kelebihan/ dampak positif:
- tingkat pertumbuhan (ekonomi) relatif tinggi
- produktivitas (kerja) relatif tinggi.

Kekurangan/ dampak negatif:
- pelayanan publik buruk
- tingkat inequality besar (pendapatan dan pendidikan)
- social cohesion rendah.

Pendidikan:
- kebijakan pendidikan ada pada pemerintah pusat dan sekolah2
- tingkat otonomi sekolah tinggi (dalam hal bujet, mengangkat dan memberhentikan guru/staff, diversity sekolah & school choice).
- tipe sekolah dasar dan menengah umumnya komphensif (bukan selektif)
- mendorong terjadinya spesialisasi dan individualisasi dalam pembelajaran & skill
- sistem ujian tidak terintigrasi (tidak terpusat) dan menggunakan sistem kredit.

Terjadi polarisasi yang luar biasa dalam hal jumlah mereka yang berketerampilan tinggi (high skilled) dan mereka yang tidak (low skilled labour forces). Proporsi rata2 profesi berketerampilan tinggi (high skilled jobs) adalah terendah diantara negara2 maju.



2. Ekonomi Model Sosial

Kata kunci : stake holder/ Rhine model capitalism, communities.

Ciri-ciri: berlawanan dengan diatas.

Innovasi dan daya saing nasional dicapai melalui:
- pasar tenaga kerja yang tidak fleksible
- regulasi tenaga kerja dan pasar lebih banyak
- tingkat orang bekerja cukup rendah (tingkat penggangguran cukup besar)
- waktu bekerja lebih pendek
- tingkat social expenditure/ social cost tinggi.

Negara2 dalam kategori ini: Jerman, Austria, Swiss, Prancis, Belgia dan Belanda (Core Europe/ negara2 Eropa utama).

Kelebihan/ dampak positif:
- pelayanan publik relatif baik
- tingkat equality besar (pendapatan dan pendidikan)
- tingkat social cohesion baik.

Kekurangan/ dampak negatif:
- tingkat pertumbuhan (ekonomi) relatif rendah
- produktivitas (kerja) relatif rendah.

Pendidikan:
- ada perbedaan struktur yang relatif besar diantara negara2 Eropa utama
- sangat sentralis (seperti di Yunani & Portugal)
- pemerintah pusat mengontrol ujian nasional, tetapi otonomi terbatas diberikan kepada pemerintah daerah (seperti di Prancis, Spanyol, Italia).
- tipe sekolah dasar dan menengah komprehensif.
- pemerintah pusat mengangkat dan mengaji guru/ staff, serta menempatkan dan menginspeksi mereka disekolah.
- regulasi dan kontrol pendidikan ada di daerah (Jerman, Austria, Swiss dan Belanda).
- menerapkan sistem magang (apprenticeship), tipe sekolah menengah yang selektif (sekolah yang berbeda bagi siswa dengan kemampuan yang berbeda).
- tingkat spesialisasi dan individualisasi pembelajaran & skill sangat tinggi.
- ujian sekolah akhir ada ditangan lembaga lokal/ tidak sentralis.
- mayoritas tenaga kerja berkualifikasi keterampilan menengah (intermediate levels).

Proporsi rata2 profesi berketerampilan tinggi (high skilled jobs) agak rendah diantara negara2 maju (tetapi bukan yang terendah).


3. Ekonomi Sosial Demokratik Model


Ciri-ciri: kombinasi.

Innovasi dan daya saing nasional dicapai melalui:
- tingkat orang bekerja sangat tinggi (tingkat penggangguran kecil)
- tingkat social expenditure/ social cost tinggi.

Dampak: tingkat produktivitas umum tinggi, tingkat pendidikan dan pendapatan (income) tinggi, tingkat social cohesion tinggi.

Negara2 dalam kategori ini: Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia (negara2 Skandinavia).

Pendidikan:
- Otonomi dan regulasi pendidikan berada di tingkat local/ regional, tetapi berada dalam framework pemerintah pusat yang berfungsi ‘steering by goal’.
- System pengajaran mixed ability (multi kemampuan/ level) di sekolah wajib
- Kurikulum luas (broad curricula)
- Pendidikan bagi orang dewasa di biayai oleh Negara.

Proporsi rata2 profesi berketerampilan tinggi sangat tinggi (diantara negara2 maju).


Kesimpulan: adanya korelasi antar negara yang kuat antara aggregat tingkat literasi (literacy level) dengan proporsi tenaga kerja berketerampilan tinggi.

Sunday, January 03, 2010

Meningkatkan Keterampilan Membaca: Pengalaman dari Russia

Baru-baru ini (tahun 2009), saya membaca kabar bahwa menurut penelitian Internasional, anak2 Russia usia 10 tahun ditempatkan dirangking teratas dalam hal keterampilan membaca. Mereka mengumpulkan 565 poin dalam tes PIRLS (Progress in Internasional Reading Literacy Study) dari

Mengapa anak2 Russia usia 10 tahun terbaik didunia dalam soal membaca? Tampaknya sekolah2 Russia sangat menganggap penting membaca bagi siswa itu, sejak dini mereka menjadikan mata pelajaran ini (Reading/ membaca) terpisah dari pelajaran menulis. Pelajaran membaca ini dapat menjadi 3 atau 4 kali dalam satu minggunya. Selain frekwensinya, mereka juga menekankan pada: membaca yang terstruktur dan lebih intensif. Anak2 kelas 4 SD, misalnya, menurut kurikulum nasional harus menamatkan 3 buku teks yang totalnya berisi 500 halaman cerita2 (pendek) dan puisi. Anak2 juga diharuskan menghapal puisi2 yang lumayan cukup panjang. Tak heran bila anak2 sekolah dasar Russia ini terbaik di dunia dalam soal membaca.

Bagaimana kalau model Russia ini diterapkan disekolah2 kita di Indonesia? Saya hanya bisa membayangkan, mungkin bisa jadi ‘keributan besar’ kalau model kurikulum ini diterapkan disekolah2 kita. Para orang tua bisa-bisa protes keras, bila anak2nya diharuskan menamatkan bacaan seperti Cerita Rakyat ini dan itu. (Maklum anak2 Indonesia sangat dimanjakan orangtuanya, mereka lebih gemar menonton TV dan bermain games daripada membaca buku. Waktu menonton dan bermain pun bisa seharian dilakukan anak, tetapi kalau disuruh membaca 1 halaman saja bisa butuh beberapa hari. Belum lagi apresiasi orang tua yang terkadang yang rendah kalau anaknya belajar membacakan puisi). Belum lagi disekolah, para guru2nya bisa-bisa mogok kerja gara2 kerepotan mengecek kemampuan membaca anak2 (menambah kerjaan aja, bayangkan ada 40 anak dikelas, bagaimana mengontrol kemampuan membaca anak dikelas besar??). Ah, tapi itu khan cuman pikiran negatif saya saja, belum lamunan saya tentu benar khan??

Balik ke negeri Beruang Merah, para guru2 di Russia yakin bila model belajar mereka ini akan dapat mengasah otak, mendorong anak2 untuk mengapresiasi ritme bahasa dan membawa rasa senang dan kebanggaan jika dapat membawakan puisi dengan baik (Kalau dipikir2 sih, benar juga, tapi mengapa buat apa ya?). Disisi lain, ini dapat menjadi jembatan antar generasi, manakala para orang tua langsung mengenali bermacam2 puisi2 (dan cerita) yang biasa mereka baca dan ingat sejak masih kecil. Selain itu, budaya ini juga dapat menumbuhkan keakraban antar generasi, karena para orang tua siswa di rumah pun dapat membantu langsung anaknya membaca atau membaca bersama keluarga. Demikian sedikit cerita dari negeri seberang.

Hm...gimana menurut anda?

Tuesday, July 28, 2009

Perbedaan sekolah dan kelas (classroom) pada abad 20 dan 21:

20th Century:

- Berbasis waktu.
- Siswa dipersiapkan untuk menghadapi situasi tertentu dalam hidupnya.
- Fokus pada menghafal fakta2 yang sudah dibakukan.
- Kecerdasan (intelligent) bisa diukur/ ditentukan.
- Pelajaran fokus pada pengetahuan, pendalaman dan aplikasi saja.
- Sumber utama belajar: textbook.
- Belajar secara pasif.
- Siswa terisolasi belajar, dibatasi 4 dinding kelas.
- Fokus pada guru: guru sebagai pusat perhatian dan pemberi pengetahuan/ informasi.
- Kebebasan siswa: dari tidak ada hingga sedikit
- Ada masalah disiplin : Guru tidak percaya dengan murid dan sebaliknya. Tidak ada motivasi siswa.
- Kurikulum tersekat2, berdiri sendiri2.
- Hasil belajar dirata2.
- Harapan pada siswa terbatas (Low expectations).
- Sekolah sangat homogen (sama secara kultural).
- Sekolah memiliki batasan2 yang kaku dan jelas.
- Guru satu2nya pemberi nilai siswa. Tidak ada orang lain yang melihat hasil kerja siswa.
- Kurikulum dan sekolah sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan oleh siswa.
- Alat belajar dan penilaian memakai media tercetak.
- Tugas dan fungsi telah dengan jelas ditentukan dan dipilah-pilah.
- Keanekaragaman yang ada pada siswa tidak diperhatikan.
- Aksara (literacy) hanya terbatas pada membaca,menulis dan matematika.
- Sekolah dan guru bekerja secara otonomi.
- Sekolah beroperasi seperti model pabrik.
- Pendidikan siswa bergantung kepada siapa yang menyediakannya.

21st Century:
- Berbasis pada hasil belajar.
- Tujuan akhir pembelajaran siswa sangat dinamis dan berbeda-beda.
- Fokus pada apa yang siswa tahu & dapat lakukan (tidak terlalu men-detail).
- Kecerdasan itu multi-dimensi (multiple intelligence).
- Pelajaran fokus pada sintesa, analisis dan evaluasi (termasuk didalamnya pengetahuan, pendalaman dan aplikasi).
- Sumber utama belajar: riset.
- Belajar secara aktif.
- Siswa belajar ter-kolaborasi dengan siswa di kelasnya dan diluar kelasnya (Global classroom).
- Fokus pada guru: guru sebagai fasilitator/ pelatih.
- Kebebasan siswa: sangat besar.
- Tidak ada masalah disiplin: Guru dan siswa sama saling menghargai sebagai sesama “pelajar”. - Motivasi siswa tinggi.
- Kurikulum terintegrasi dan antar disiplin.
- Hasil belajar berdasarkan apa yang telah dipelajari.
- High expectations. (Semua siswa sukses belajar pada tingkat yg sulit, bahkan beberapa dari mereka lebih dari itu).
- Sekolah (dalam hal budaya dan latar belakang) sangat heterogen.
- Pendidikan sepanjang hayat bagi setiap siswa.
- Penilaian diberikan oleh guru yang bersangkutan, guru yang lain dan pihak luar.
- Kurikulum sesuai dengan minat,pengalaman, bakat siswa dan dunia luar.
- Alat belajar dan penilaian hasil belajar memakai berbagai macam media.
- Tugas dan fungsi tidak ditetapkan secara kaku dan dapat saling mengisi.
- Kurikulum dan perangkat belajar diarahkan untuk mengatasi perbedaan pada siswa.
- Multi aksara (multiple literacies) yang mengakomodir tantangan hidup dan bekerja di zaman globalisasi.
- Sekolah dan guru bekerja dalam network yang kompleks.
- Pendidikan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
- Pendidikan bergantung kepada si pengguna (user).