Total Pageviews

Monday, December 26, 2011

CATATAN AKHIR TAHUN 2011: MASALAH ANGGARAN DAN GURU MASIH MENDOMINASI

Oleh Barlin Hady Kesuma (Praktisi pendidikan, Akademisi pada IKIP PGRI Kaltim dan Widya Gama Mahakam Samarinda, Sekretaris Umum Ikatan Guru Indonesia kota Samarinda).
http://kaltimpost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=121481
 
Jum'at, 30 Desember 2011 , 06:52:00

 
Catatan ini berasal dari unek-unek. Perlu dibaca dengan pikiran dingin dan hati yang terbuka, jauh dari apriori dan prasangka, agar bisa diambil hikmah dalam memandang tantangan dunia pendidikan ke depan.  Khususnya di Samarinda.

TAHUN 2011, dunia pendidikan di Samarinda penuh dengan dinamika. Ada hal-hal positif yang membuat kita berbahagia, ada pula ketidakberhasilan yang membuat mengurut dada. Berbicara soal prestasi pendidikan Kota Tepian tahun ini, kita patut bangga pada SMP 10 yang dinobatkan sebagai Sekolah Sobat Bumi dari Pertamina Foundation. Juga SD 021 Sungai Kunjang yang meraih Olimpiade UKS, SMA 8 mendapat Adiwiyata Pratama, dan kepala SMP 21 menyabet juara III guru berprestasi nasional.

Namun adapula berita-berita dari media yang membuat kita menjadi sedih.  Seperti masalah banyaknya bangunan sekolah yang rusak, macetnya pencairan dana bantuan operasional sekolah, serta maraknya narkoba, game online, dan tindakan asusila di kalangan pelajar. Tapi, soal anggaran dan problematik guru agaknya masih menjadi topik hangat yang lebih menonjol dibandingkan masalah pendidikan lainnya.

Siapapun tahu bahwa APBD Samarinda tahun 2009 hingga 2013 akan terserap untung membayar utang. Utang-utang pembangunan yang harus dibayar sebagai bagian multi years project, yang tak disadari sebelumnya ternyata mendatangkan dampak negatif;  menyandera dan mengurangi kemampuan pemkot untuk berinvestasi pada anggaran pro rakyat (public spending), terutama untuk pendidikan dan kesehatan.
Dengan motto pendidikan murah dan berkeadilan yang diusung duet Syaharie Jaang-Nusirwan Ismail, terkandung makna bahwa pemkot mendukung penyelenggaraan pendidikan yang berpihak kepada masyarakat kecil dan berekonomi lemah.




Namun ada yang perlu diluruskan tentang politisasi besaran angka dana anggaran pendidikan 20  persen APBD, yang tetap dipertahankan oleh pemkot. Karena seharusnya sejak rancangan peraturan daerah (raperda) disahkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) Pendidikan oleh DPRD Kaltim bulan Juli 2010 dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 13/PUU-VI I 2008 bahwa anggaran pendidikan digunakan untuk fungsi pendidikan. Tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan yang ongkosnya ditanggung pemerintah, maka baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota, harusnya ‘diwajibkan’ untuk benar-benar menganggarkan dana pendidikan 20 persen, dari total APBD mereka. Setelah terlebih dahulu dikurangi dengan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Nyatanya, keputusan-keputusan hukum yang telah disebutkan tersebut tetap saja dilanggar. Dana pendidikan pada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota  masih saja tidak identik dengan dana yang dikelola Dinas Pendidikan (Disdik), melainkan dibagi-bagi ke beberapa satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Ini penting untuk diluruskan. Karena bagi warga, media, dan anggota DPRD khususnya, komisi yang membidangi pendidikan, selalu berharap agar Disdik mampu mengelola dana pendidikan yang telah mencapai 20 persen di APBD. Padahal tidak semua dana tersebut di kantong Disdik.

Banyak SKPD lain yang justru ikut menerima dan mengelola anggaran pendidikan,  tapi tidak menanggung tanggung jawab sebesar Disdik.

Lihatlah anggaran untuk peningkatan SDM pegawai negeri sipil  (PNS) dan pejabat publik yang juga memakai nama anggaran pendidikan. Ironinya, pertanggungjawaban dana peningkatan SDM itu tidak pernah serumit birokrasi pemkot dalam menyalurkan dana BOS dan BOSDA yang menuntut sekolah memberikan laporan surat pertanggungjawaban mereka terlebih dahulu sebelum dicairkan. Meski begitu belum tentu juga cepat cair.

Bahkan elemen mahasiswa dan forum-forum guru perlu berdemo terlebih dahulu, agar sekolah dan guru mendapatkan hak-hak mereka dibayarkan.

Padahal dengan terlambatnya bantuan operasional rutin ke sekolah ini banyak kegiatan sekolah yang terkendala. Untuk itu jangan salahkan minimnya prestasi akademik di sekolah-sekolah negeri di Samarinda, karena dalam urusan dana sekolah swasta lebih lancar.

Keterlambatan ini pula yang menyebabkan maraknya berbagai pungutan di sekolah-sekolah. Dan tak bisa disalahkan sepihak, wong sekolah memang kekurangan dana untuk menjalankan kegiatan sebagaimana layaknya organisasi. 

Karenanya, kita perlu menyambut baik keputusan pemerintah pusat untuk mengembalikan model pencairan dana BOS pusat tahun depan kembali ke model tahun 2010. Yakni,  dana ditransfer dari kas umum negara ke kas umum provinsi kemudian langsung masuk ke rekening sekolah dalam bentuk hibah kepada sekolah negeri dan swasta.

Penyederhanaan rantai pendistribusian ini akan memastikan kegiatan sekolah tepat waktu untuk dilaksanakan, dan tentunya akan mengurangi adanya ekses-ekses yang tak diinginkan, seperti maraknya pungutan-pungutan yang berlebihan kepada siswa di sekolah-sekolah.

Selain itu, dari dana pendidikan yang dikelola Disdik, banyak yang  langsung disalurkan ke sekolah-sekolah dalam bentuk bantuan sekolah dan guru. Dengan demikian sudah sepantasnya sekolah dan guru sebagai pengelola dana dituntut untuk lebih transparan dan akuntable dalam mempertanggungjawabkan kewenangan mereka. Misalnya pada 2010/2011, dari Rp 215 miliar dana pendidikan yang diterima Disdik Samarinda, Rp 191 miliar di antaranya (88 persen) dibayarkan ke sekolah dalam bentuk bantuan rutin operasional sekolah (termasuk BOSDA) dan insentif guru. Dana sisa barulah dikelola Disdik untuk pendanaan rutin dan kegiatan peningkatan mutu.

Sabtu, 31 Desember 2011 , 07:09:00

Meski anggaran terbatas, adalah tugas pemkot dan Dinas Pendidikan (Disdik) Samarinda, untuk terus memenuhi kebutuhan pendidikan di Kota Tepian. Sebab, pendidikan dan kesehatan adalah dua hal yang tidak bisa ditunda-tunda dalam kehidupan modern saat ini.

TAK mungkin sekolah menolak memberikan “layanan” pendidikan kepada anak bangsa, karena soal kekurangan dana. Banyak hal yang dapat dilakukan. Mulai menaikkan dana pendidikan hingga betul-betul sesuai dengan kebutuhan real di lapangan, menghimpun dana corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan di Samarinda, serta melakukan rasionalisasi jumlah guru yang berhak mendapat insentif. Juga meminta penambahan subsidi yang diterima pemkot dari provinsi dan pusat.

Hanya dengan cara itu dapat diperoleh dana pendidikan yang cukup untuk memperbaiki fasilitas dan ruang yang rusak. Juga membangun gedung bagi sekolah yang selama ini menumpang, memberi beasiswa kepada siswa miskin, dan menyediakan buku pelajaran yang lebih lengkap.

Disdik perlu berbenah. Dengan melakukan reformasi internal pada struktur organisasi dan personel agar bisa meningkatkan kinerja dan capacity building. Juga wajib bekerja keras, efisien, dan kreatif dengan menerapkan fit and proper test juga penilaian kinerja kepada masing-masing staf di lembaganya. Dengan begitu, akan tercipta institusi yang profesional, akuntabel, dan kapabel dalam memenuhi beban tugas dan tuntutan masyarakat yang semakin kompleks. Tidak hanya menunggu petunjuk atau datangnya perubahan, tapi kreatiflah dengan memulai perubahan dari dirinya sendiri.

Dengan data jumlah guru di Samarinda yang mencapai 11.290, banyak pekerjaan rumah (PR) yang perlu diselesaikan pemkot dan Disdik tahun depan. Dengan asumsi jumlah siswa dari tingkat TK hingga sekolah menengah di Samarinda sekira 125 ribu orang (2010 dan 2011) atau malah 150 ribu orang (data Disdik di berbagai media), maka rasio guru dengan siswa di ibu kota Kaltim sudah mencapai 1:11 atau 1:13. Sangat jauh di atas rata-rata nasional.

Ini berarti Samarinda sudah kelebihan jumlah guru. Dengan adanya berbagai laporan bahwa beberapa sekolah yang masih kekurangan guru berarti ada masalah dalam pemerataan distribusi guru. Di beberapa tempat jumlah guru berlebihan, di tempat lain masih kekurangan.

Dengan rasio guru yang  tinggi, dapat menjadi pisau bermata dua bagi dunia pendidikan di Samarinda.
Yang pertama tingginya jumlah guru berarti menjadi beban bagi anggaran pendidikan, karena anggaran pendidikan yang seharusnya dinikmati anak bangsa (maaf) “tersandera” untuk membayar insentif guru.
Insentif guru telah mencapai Rp 95 miliar per tahun atau 44 persen dari total anggaran Rp 215 miliar untuk Disdik.

Di sini diperlukan kearifan, ketegasan, dan keberanian Pemkot untuk menuntaskan masalah guru. Jika memang memiliki tekad agar kue anggaran pendidikan yang dapat dirasakan oleh masyarakat menjadi lebih besar. Mengutip temuan Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra), di Indonesia terdapat 124 Pemda yang 60 persen lebih APBD-nya untuk belanja pegawai. Jika kondisi keuangan ini dibiarkan berlarut-larut, kebangkrutan Pemda diperkiraan mengancam daerah dalam 2 hingga 3 tahun mendatang. Idealnya, belanja pegawai kurang dari 50 persen dari APBD. Jika melebihi, atau setiap tahun belanja pegawai mengalami kenaikan hingga menghilangkan rasionalitas struktur APBD, yang dirugikan adalah rakyat.

Kembali ke masalah guru tadi. Yang diperlukan adalah rasionalisasi. Jika jumlah insentif guru yang perlu diperketat, maka Disdik harus memastikan bahwa insentif guru diterima oleh yang berhak, misalnya benar-benar diberikan kepada guru yang belum disertifikasi dan telah mengajar 24 jam per minggu. Guru dan sekolah yang tidak jujur perlu diberikan sanksi yang tegas, seperti penghentian bantuan langsung ke sekolah atau penurunan pangkat bagi guru PNS, agar anggaran pemkot tepat sasaran. Selain itu dengan mendorong sebanyak-banyaknya jumlah guru yang dapat disertifikasi secara nasional, berarti Pemkot tidak perlu mengeluarkan dana untuk insentif sebanyak sekarang.

Untuk itu perlu secara serius melakukan lobi tambahan kuota sertifikasi bagi guru Samarinda ke pemerintah pusat, yaitu di atas jatah kuota 5 persen per tahun. Dengan demikian dana untuk insentif bisa dihemat dan disalurkan ke hal-hal lain yang lebih mendesak.

Jika jumlah gurunya yang perlu dirasionalisasi (penentuan jumlah ideal) maka perlu ada formula khusus untuk menghitungnya. Misalnya jika jumlah yang dipakai adalah rasio guru dan murid 1:20, maka idealnya di Samarinda hanya perlu sekitar 6.250 guru atau 55 persen dari jumlah sekarang ini.

Namun rasionalisasi kedua ini sangat berat untuk dilakukan mengingat ‘jumlah guru’ sudah masuk ke ranah politis. Salah-salah membuat kebijakan tidak popular terhadap guru, seperti ‘pemangkasan’ jumlah guru besar-besaran seperti yang terjadi di negara maju dapat menimbulkan persoalan sosial dan keresahan di masyarakat.

Cara yang dapat ditempuh adalah pendekatan persuasif dari pemerintah agar jumlah guru, terutama yang non-PNS, yang berlebihan di Samarinda mau dengan suka rela pindah untuk bekerja di luar Samarinda. Misalnya,  ke daerah-daerah pemekaran baru di utara dan selatan provinsi Kaltim yang masih memerlukan pegawai baru.

Di sini peran lembaga seperti Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), serta organisasi profesi seperti PGRI, untuk memberikan informasi kebutuhan pegawai di luar Samarinda menjadi sangat penting.

Untuk apa bekerja sebagai PPT dan berharap suatu saat dapat diangkat PNS di Samarinda, jika bisa menjadi PNS di kabupaten lain di Kaltim dan luar Kaltim.

 (Contoh di PPU sekarang memerlukan 600an PNS, sumber: http://kaltim.tribunnews.com/2012/01/03/ppu-kekurangan-689-pns, atau Berau yang kekurangan 903 PNS baru, sumber: http://kaltim.tribunnews.com/2012/01/01/berau-kekurangan-903-pegawa dimana 400 diantaranya adalah kekurangan tenaga guru, sumber : Samarinda Pos http://www.sapos.co.id/index.php/berita/detail/Rubrik/15/29474 ).

Kemudian masalah “menumpuknya” guru PNS di sekolah-sekolah tertentu (biasanya sekolah besar, transportasi mudah diakses dan favorit) menjadi permasalahan tersendiri bagi dunia pendidikan. Karena banyak sekolah-sekolah pinggiran yang kekurangan tenaga pengajar tanpa bisa apa-apa. Disdik mengaku sedang melakukan pemetaan tentang beban kerja para guru di seluruh Samarinda saat ini, dengan maksud guru-guru yang tidak memenuhi beban minimal (misalnya 24 jam/minggu) maka akan dimutasi ke tempat yang masih memerlukan/kekurangan. Kendalanya menurut temuan beberapa pengawas kota Samarinda adalah banyaknya guru-guru yang akan menolak untuk dipindahkan dari sekolahnya dengan berbagai alasan.
Sebagian dari guru-guru ini bahkan akan menggunakan faktor “kedekatan” mereka dengan pejabat pemkot agar bisa lolos dari upaya pendistribusian ulang ini. Menyikapi hal ini, pada 2012, diperlukan ketegasan pemkot dan pejabatnya untuk mendukung program pemerataan distribusi guru hingga ke pelosok Samarinda. Mereka perlu memberlakukan aturan yang adil bagi siapa saja, tanpa melihat latar belakang kedekatan atau balas jasa tertentu.

Seharusnya analogi penempatan seorang guru sama dengan penempatan tenaga kesehatan bagi masyarakat, harus siap melayani masyarakat yang membutuhkan jasa pendidikan tanpa membeda-bedakan tempat dan fasilitas serta sesuai dengan kaidah kode etik profesi guru yang mulia. Pengalaman di negara-negara berkembang lainnya, untuk menanggulangi tingginya angka putus sekolah (drop out) adalah dengan cara menempatkan guru ke daerah-daerah yang memerlukan. Jangan mau kalah dengan gerakan Indonesia Mengajar yang dicetuskan Anies Baswedan, di mana para pengajar muda dikirim untuk mengajar di pulau-pulau terluar, pedalaman, dan terisolasi di Indonesia. Karena secara moral guru PNS sebagai orang-orang terdidik juga memiliki tugas utama untuk mencerdaskan anak bangsa dimana pun mereka berada.

Sebagai penutup catatan ini saya menggarisbawahi kurangnya penempatan distribusi anggaran pendidikan yang tepat dan mata rantai birokrasi yang masih menjadi kendala utama dalam pengelolaan dunia pendidikan di Samarinda. Dua beban ini jika berlanjut pada tahun mendatang,  maka akan semakin menambah PR dan beban bagi pemkot. Untuk itu kita perlu pemimpin kota yang berani melakukan hal-hal yang benar, meskipun harus membuat kebijakan yang tidak populis, untuk menyelamatkan persoalan pendidikan. Satu lagi, motto untuk dunia pendidikan Samarinda pro rakyat perlu ditambah menjadi: pendidikan murah, berkeadilan, dan bermutu. Karena dengan masuknya kata bermutu dalam pendidikan Samarinda maka kita sudah maju selangkah untuk menjadikan prestasi-prestasi dan kualitas menjadi bagian dari dunia pendidikan kita. Semoga ada secercah harapan yang terbit bersama datangnya tahun 2012. (far)

 (*) Praktisi pendidikan, Akademisi pada IKIP PGRI Kaltim dan Widya Gama Mahakam Samarinda. Sekretaris Umum Ikatan Guru Indonesia, Kota Samarinda

1 comment:

jam tangan said...

artikel yang menarik pak, semoga yg berwenang membaca dan tergerak hatinya. salam semangat :)