ENJOY: Walau mengajar di sekolah pinggiran, Barlin Hady Kesuma mengaku lebih enjoy.(faroq zamzani/kp)
Cinta pertama Barlin Hady Kesuma tertanam di SMP 12 Samarinda. Sekolah menengah pertama di pinggir kota. Kemapanan hidup di Inggris, tak menggodanya untuk berlama-lama di negara yang warganya “memuja” sepak bola.
KINI Barlin tak lagi bisa menyaksikan langsung klub favoritnya Aston Villa kala berlaga di markasnya yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya di Birmingham, Inggris. Salaman dengan Michael Owen, pemain gaek yang kini bergabung di Manchaster United pun hanya jadi sebuah cerita manis ketika di Inggris. Tawaran gaji GBP 40 ribu per tahun sebagai peneliti dan pengajar di Sixth Form College, Solihull, Inggris, yang dulu pernah disodorkan kepadanya, kini hanya ada di bayang-bayang.
Ayah dua anak itu memilih meninggalkan “kemewahan” itu untuk memilih kembali ke Samarinda. Kembali ke tanah kelahirannya. Kembali untuk bisa mengabdi untuk bangsa dan negaranya. Kembali untuk memperbaiki dunia pendidikan Indonesia yang menurutnya masih carut-marut. Walau kembalinya dia dan keluarganya itu harus menanggung setumpuk konsekuensi. Harus mau hidup pas-pasan. Mengajar di sekolah pinggiran. Gaji pokok guru yang sudah habis sebelum akhir bulan. Dan lainnya, dan lainnya, dan lainnya.
“Waktu saya mau kembali ke Indonesia, kawan-kawan saya di Inggris banyak yang menyesalkan. Mereka bilang di Indonesia masih belum jelas. Apa mau meninggalkan kehidupan yang sudah mapan di Inggris. Sudah ada mobil dan rumah. Kalau pulang, kata teman saya, gelar tak akan dihargai,” kata Barlin, panjang menjelaskan desakan kawan-kawan senegaranya di Inggris.
Keinginannya kembali itu tak hanya ditentang rekan. Keluarga, mertua, istri, anak-anaknya juga menyampaikan “protes”. “Yang paling berat memang protes dari anak saya. Anak saya yang pertama kan sudah sekolah di Inggris. Dia juga sudah mulai terbiasa dengan kehidupan di sana,” terangnya. Yuliati, istrinya, juga begitu, menolak rencana pindah sang suami. Karena, di Inggris keluarga kecil mereka sudah hidup berkecukupan. Mereka punya rumah yang hanya berjarak beberapa meter dari markas Aston Villa. Mereka juga sudah punya kendaraan roda empat. Bahkan, dengan gaji di negeri itu, keluarga Barlin masih bisa menyisihkannya untuk liburan tiap akhir pekan.
Bagaimana dia sampai ke Inggris, ini ceritanya. Ayah dua anak ini mengatakan, awalnya dia ke Inggris karena mendapat beasiswa S-2 dari Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) pada 2000 lalu. Dia kuliah di University of Birmingham, dan lulus pada 2001. Setelah lulus, teman-teman satu angkatannya banyak yang kembali ke Indonesia. Tapi Barlin tidak. Dia memilih menetap di negeri David Beckham itu untuk melanjutkan S-3. Dia kembali “berebut” untuk peluang beasiswa dari Kemendiknas. Saat itu, kata dia, banyak nama-nama populis di Jakarta yang menjadi pesaingnya untuk dapat beasiswa. Tapi, akhirnya dia lah yang menjadi salah satu penerima beasiswa S-3 untuk kuliah di universitas yang sama. Gelar doktor pun diraihnya pada 2006.
Saat berkuliah S-2 di Inggris, dia sudah nyambi bekerja sebagai tenaga pengajar di Sixth Form College. Sekolah itu terletak di pinggiran Birmingham. Sekolah itu prestisius karena 40 persen siswanya adalah Yahudiah. “Anak-anak Yahudi itu memang cerdas-cerdas,” tuturnya.
Setelah lulus S-3, dia juga ditawari membuat riset tentang persepsi muslim. Dia ditawari penghasilan GBP 40 ribu (kurs Rp 13 ribu = Rp 520 juta) per tahun dari pekerjaan itu. Bahkan, gajinya per bulan sebagai pengajar di Solihull saat itu sudah menyentuh angka Rp 65 juta per bulan. “Tapi enggak bisa disamakan antara gaji di Indonesia dan Inggris. Kalau dilihat memang gaji di Inggris besar, tapi biaya hidup juga besar,” jelasnya, lantas tertawa.
Barlin tak mengiyakan tawaran dengan pendapatan ratusan juta saat itu. Pada 2009 lalu dia memilih pulang. Pertimbangannya, selain ingin mengabdi untuk pendidikan di tanah kelahirannya, saat itu dia juga merasa tidak “nyaman” dengan kondisi Inggris yang sedang krisis.
Pada tahun itu, beberapa rekannya sesama pengajar banyak yang diputuskan hubungan kerja (PHK) oleh sekolah. Tapi dia justru tidak. Kontraknya malah akan diperpanjang. “Saya tak di-PHK karena bisa mengajar semua mata pelajaran. Fisika, biologi, dan kimia. Cuma, sebagai orang asing di negeri orang, kita bekerja sedangkan orang asli tidak, ini tentu menimbulkan perasaan risih bagi saya,” jelasnya.
Saat kembali ke Indonesia, awalnya dia sempat menetap sesaat di Jakarta. Di ibu kota itu dia bertemu dengan Ahmad Dasuki dari Kemendiknas. Dasuki menawarkannya sebuah pekerjaan yang cukup menggiurkan. Menjadi konsultan proyek Kemendiknas yang kerja sama dengan beberapa negara. Saat itu, dia ditawarkan menjadi orang yang menjembatani Kemendiknas dengan rekanan-rekanan tersebut. Tapi, tawaran itu tak diambilnya. Dia lebih memilih kembali ke Kaltim.
Sebelum ke Samarinda, dari Jakarta saat itu dia bersama keluarga kecilnya mampir dulu di Tarakan. Di kota itu dia kembali mendapat tawaran yang sulit ditolak. Wali Kota Tarakan, kata dia, menawarinya bekerja sebagai kepala di sekolah internasional di kota itu. Dia juga akan mendapat fasilitas mobil, rumah, dan tunjangan gaji di luar gaji pokok sebesar Rp 5 juta tiap bulan.
“Waktu itu kepada Pak Wali Kota saya bilang, saya mau pulang dulu ke Samarinda untuk konsultasi dengan keluarga,” kata ayah dari Balqis dan Sarah itu. Tawaran itu pun tak diambilnya.
Dia juga pernah ditawari untuk sebuah posisi yang wah sebagai peneliti di Universitas Teknologi Malaysia. Rekannya yang sudah duluan kerja di situ yang menyarankannya untuk ke negeri jiran itu. Tawaran juga pernah datang dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). “Tawaran memang banyak. Tapi semua itu kembali ke tesis saya. Carut marutnya pendidikan hanya bisa baik kalau gurunya dulu diperbaiki. Karena itu, saya punya keinginan memperbaiki pendidikan di Indonesia, di Samarinda khususnya,” katanya.
Sampai saat ini dia menilai guru di Indonesia masih belum maksimal diperhatikan. Pemerintah, kata dia, sibuk memperbaiki sistem pendidikan. Tapi guru tidak. Padahal harusnya yang diperbaiki adalah guru terlebih dahulu. Karena, sosok itulah yang menjalankan sistem pendidikan itu. “Kita sudah berapa kali ganti sistem. Dulu ada kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) ada juga KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), tapi tidak berhasil juga,” tutur pria yang juga mengajar di IKIP PGRI dan Universitas Widya Gama Samarinda itu.
Hingga saat ini, yang tak pernah direformasi justru guru. Wajah pendidikan di Indonesia ini bisa baik menurutnya, jika guru yang diperbaiki. “Sekarang ini guru seperti tukang listrik, ada lampu mati diganti diperbaiki. Mindset itu harus diubah,” jelasnya. Guru harus menjadi sosok yang bekerja karena keinginan hati nurani mereka. Bekerja karena panggilan jiwa. Bukan guru yang hanya datang mengajar setelah itu pulang. Lalu mengharap gaji pada akhir bulan. Barlin menyebutnya itu guru upahan.
Karena itu, kesejahteraan guru harus diperhatikan. Jika para guru sudah sejahtera, maka dia akan mengajar dengan hati, tanpa harus memikirkan hal lainnya. Tapi, faktanya, masih banyak guru yang harus nyambi bekerja di tempat lain untuk mendapatkan tambahan penghasilan.
Sepulang dari Inggris saat itu, dia memilih kembali menjadi guru di SMP 12 di pinggiran Kota Samarinda. Dia jadi guru mata pelajaran Bahasa Inggris plus guru Bimbingan Konseling. Dia tercatat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dengan Golongan IIIa. “Saya sudah lama tidak naik golongan, sebentar lagi saya IIIb,” katanya.
“Sekolah itu (SMP 12) adalah cinta pertama saya,” lanjutnya. Karena, dia sudah diterima sebagai pegawai di sekolah itu pada 1997 silam. Di sisi lain dia juga ingin merasakan bagaimana jadi guru sebenarnya. Tiap pagi harus jalan lebih awal dari rumahnya di Jalan AW Syahrani ke sekolahnya itu dengan kendaraan roda dua. “Saya ada mobil, tapi istri saya yang pakai. Saya mau pakai motor aja biar merasakan bagaimana guru di Indonesia ini kebanyakan,” terangnya. Pria kelahiran 7 Maret 1974 ini menyebutkan, dirinya memang memilih membangun pendidikan di kawasan pinggiran, karena jika dia sukses di tengah kota, baginya itu hal biasa. Dia akan merasa ada nilai lebih jika bisa membangun pendidikan di kawasan yang termarginalkan. Di kawasan pinggiran.
Walhasil, setidaknya kini dia sudah bisa merengkuh itu. SMP 12 tempatnya mengajar kini sudah tak lagi dianggap pinggiran. Sekolah itu tak lagi menjadi pilihan nomor dua bagi para orangtua. SMP 12 kini menjelma menjadi sekolah dari pinggiran yang siap bersaing dengan sekolah-sekolah unggulan di tengah kota. “Setidaknya, guru dan murid di SMP itu tidak lagi berpikiran kami ini sekolah pinggiran,” katanya.(*)
Saya pernah mendapatkan sebuah cerita dari seorang teman saya. Beliau adalah seorang pengajar di sebuah TK yang sangat sederhana. Bila dilihat dari gedung, tentu akan sangat jauh bila dibandingkan dengan gedung-gedung sekolah yang ada di kota. Teman saya bercerita bahwa, dia memiliki seorang siswa yang selalu diantar dengan menggunakan BMW saat ke sekolah. Saat mengantar ke sekolah, orang tua anak ini tidak pernah menghentikan mobilnya di depan sekolah. Mereka selalu menghentikan mobilnya di jalan raya, sebelum masuk gang sekolah. Teman saya memang belum pernah menanyakan kepada orang tua anak ini, mengapa mereka lebih memilih menyekolahkan di sekolah teman saya apalagi bertanya mengapa mereka selalu menghentikan mobilnya di jalan raya, sebelum masuk gang sekolah. Satu hal yang saya tahu, TK tempat teman saya bekerja ini memang bukanlah sekolah yang mahal pada umumnya. Namun TK ini memang sangat menonjolkan moralitas dan keagamaan mereka, selain sisi akademisnya. Guru-guru yang mengajarkan terlihat sangat sederhana, namun memiliki hati untuk benar-benar menyayagi anak didik mereka. Sehingga anak didik pun menjadi lebih nyaman dan damai baik dalam belajar maupun bersosialisasi dengan teman dan guru mereka. Semua menjadi lebih baik lagi, karena sekolah tersebut juga memiliki pendidikan agama yang baik pula. Sumber: http://lagu2anak.blogspot.com/2010/11/cara-paud-dan-tk-sederhana-mensiasati.html
5 comments:
Saya pernah mendapatkan sebuah cerita dari seorang teman saya. Beliau adalah seorang pengajar di sebuah TK yang sangat sederhana. Bila dilihat dari gedung, tentu akan sangat jauh bila dibandingkan dengan gedung-gedung sekolah yang ada di kota. Teman saya bercerita bahwa, dia memiliki seorang siswa yang selalu diantar dengan menggunakan BMW saat ke sekolah. Saat mengantar ke sekolah, orang tua anak ini tidak pernah menghentikan mobilnya di depan sekolah. Mereka selalu menghentikan mobilnya di jalan raya, sebelum masuk gang sekolah. Teman saya memang belum pernah menanyakan kepada orang tua anak ini, mengapa mereka lebih memilih menyekolahkan di sekolah teman saya apalagi bertanya mengapa mereka selalu menghentikan mobilnya di jalan raya, sebelum masuk gang sekolah. Satu hal yang saya tahu, TK tempat teman saya bekerja ini memang bukanlah sekolah yang mahal pada umumnya. Namun TK ini memang sangat menonjolkan moralitas dan keagamaan mereka, selain sisi akademisnya. Guru-guru yang mengajarkan terlihat sangat sederhana, namun memiliki hati untuk benar-benar menyayagi anak didik mereka. Sehingga anak didik pun menjadi lebih nyaman dan damai baik dalam belajar maupun bersosialisasi dengan teman dan guru mereka. Semua menjadi lebih baik lagi, karena sekolah tersebut juga memiliki pendidikan agama yang baik pula.
Sumber: http://lagu2anak.blogspot.com/2010/11/cara-paud-dan-tk-sederhana-mensiasati.html
А! Simple and sweet. I’m thinking of starting another blog or five pretty soon, and I’ll definitely consider this theme. Keep ‘em coming!
显然有很多知道这一点。我想你在某些功能的优点也。继续工作,非常出色!
Terima kasih. Semoga ini berguna bagi anda juga. 谢谢。但愿这是给你有用。
I usually don’t post in Blogs but your blog forced me to, amazing work.. beautiful ….
Post a Comment