Tidak hanya di Indonesia, di Negara maju juga ada yang namanya sertifikasi guru. Di AS, untuk mendapatkan sertifikasi guru, guru perlu mengikuti yang namanya Praxis Test. Test yang menguji guru berdasarkan tingkat penguasaan materi pelajaran yang di ampunya, jadi guru Matematika di tes Matematika, guru bahasa Inggris di tes bahasa Inggris.
Sayangnya ‘sertifikasi guru’ ini hanya dipergunakan untuk tujuan akuntabilitas publik: so, ‘jika tidak lulus, tidak berarti guru tidak dapat mengajar (atau dihentikan mengajar sampai dia lulus tes)’. Tidak ada punishment seperti guru mesti berhenti mengajar, sampai dia mampu membuktikan kalau dia bisa lulus test. Hasilnya, pada bulan November 2004 diseluruh negeri Paman Sam - Amerika Serikat, 25 % atau seperempat guru gagal dalam test. Bahkan di salah satu Negara bagian Philadelphia, 50 % atau setengah guru yang ikut test hasilnya: gagal. Suatu hasil yang cukup menyeramkan tentu bagi Negara yang menjadi banyak panutan di Negara-negara maju dan berkembang lainnya.
Namun para kritikus Negara ini justru menyampaikan bahwa dari hasil guru yang sudah lulus, tidak berarti guru tersebut dapat mengajar kelas atau level apa saja. Artinya, guru SD yang lulus test Praxis tidak serta merta berarti bisa atau diperbolehkan mengajar di SMP, SMA/SMK atau pada level yang lebih tinggi.
Hal ini tentu masuk akal, mengingat untuk menjadi guru yang baik, tentu tidak hanya kompetensi intelligence-nya yang perlu diperhatikan, tapi kompetensi-kompetensi lainnya, seperti pedagogic, social dan prilakunya. Tetapi tentu aspek penguasaan materi secara benar tentu sangat penting untuk membantu siswa sukses dalam belajar. Analoginya, kalo gurunya sendiri nggak bisa mengerjakan perkalian, bagaimana bisa mengajar perkalian kepada siswa, ya khan?