Pada hari senin tanggal 18 Juli Juni yang lalu, Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim bekerja sama dengan Puspendik Jakarta mengadakan test kompetensi guru se- Kaltim. Koran Tribun Kaltim yang saya baca memberitakan bahwa sekitar 6000 guru (1.111 orang diantaranya berasal dari Samarinda) tingkat SD, SMP, SMA/SMK di 14 kabupaten/kota yang ada di Kaltim mengikuti kegiatan tersebut. Jika ada 50.000 guru yang ada di Kaltim, maka ini berarti 12 % dari total guru turut serta.
Adapun materi “Ujian” bagi guru Matematika, Fisika, Biologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan IPS adalah 2 jam test penguasaan materi mata pelajaran, dan 30 menit test kepribadian.
"Uji kompetensi ini untuk mengetahui kompetensi guru-guru di Kaltim. Setelah diuji, maka akan lebih mudah untuk meningkatkan kompetensi para guru," demikian kata Musyahrim, Kadis Pendidikan Kaltim, yang dikutip oleh Tribun Kaltim.
Besar harapan – baik dari masyarakat maupun dari kalangan guru sendiri - agar kegiatan “Uji Kompetensi” ini benar-benar akan mampu meningkatkan kualitas para pendidik yang berada di Kaltim. Bukan tanpa tindak lanjut alias sia-sia belaka. Sebenarnya hampir setiap tahun kegiatan semacam Uji Kompetensi ini dilakukan di Kaltim, baik itu dilakukan oleh pemerintah kota, provinsi atau pun pusat, tetapi sangat jarang – jika tidak sama sekali - hasil dari kegiatan tersebut dipublikasi kepada publik, termasuk memberi feedback kepada para guru yang telah mengikutinya.
Selain itu, sering tidak konsisten atau tidak jelas materi uji kompetensi yang di-test-kan. Menurut pengakuan beberapa guru, di tahun-tahun sebelumnya mereka di test tentang hal-hal yang bersifat umum, bahkan ditanyakan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan pendidikan. Jika demikian, public berhak ‘mempertanyakan’ efektivitas kegiatan ‘uji kompetensi’ tersebut, yang tentu saja membutuhkan dana yang besar dari proses pembuatan hingga pelaksanaannya.
Dari pengamatan sekilas yang saya lakukan pada kegiatan tersebut, dikalangan para guru sendiri, kegiatan tersebut sepertinya bukan menjadi hal yang ‘sakral’, artinya sesuatu yang mereka harus ikuti dengan semangat yang tinggi dan persiapan yang sungguh-sungguh. Sikap apatis ini muncul, tampaknya lebih disebabkan karena kegiatan yang sudah-sudah ternyata juga tidak pernah menjadi feedback atau rujukan pada penilaian kinerja ataupun kemampuan mengajar mereka sehari-hari. Yang berkembang dikalangan para guru itu sendiri adalah rumor-rumor atau komentar yang bernada negative. Misalnya seperti: ‘(guru) yang nilainya jelek, bakal dimutasi (ke sekolah jauh)’; ‘ah, inikan hanya proyek bagi-bagi uang transport’; ‘tidak perlu dikerjakan dengan serius, karena kalo hasilnya jelek, kita-kita akan dapat training massal lagi’, dll. Ada juga yang malah berasumsi, ‘ini (seharusnya) test bagi sekolah RSBI, jika hasilnya jelek, maka sekolahnya ditutup saja’. Semua komentar tersebut tentu tidak bisa disalahkan, mengingat para guru sering berpikir dan berbicara sesuai dengan pengalaman yang mereka hadapi sehari-hari.
Tapi ada juga guru mengikutinya dengan penuh semangat. Bahkan mereka protes manakala pengawasyang dengan tidak sengaja membuat kesalahan dengan memotong waktu pengerjaan test menjadi lebih cepat 30 menit. Akhirnya panitia pun membuat test ulang kepada para guru-guru yang protes itu.
Keseriusan pemerintah di daerah untuk menggunakan data-data tersebut untuk kegiatan tindak lanjut memang sangat penting, mengingat provinsi Kaltim sedang mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya melalui sector pendidikan. Jika para pengampu pendidikannya ternyata masih terseok-seok, jangan berharap ada ‘quantum leap’ pada hasil pendidikan anak-anak didik di Kaltim. Data tentang kemampuan para pendidik kita tersebut perlu dibuka, agar public dan pembuat kebijakan tahu kemampuan kita yang sebenarnya. Juga bukan malah disikapi negative seperti ‘buruk muka, cermin dibelah’ atau ‘mencari kambing hitam kegagalan kita’. Seperti hasil-hasil UN, jika itu buruk, maka itulah potret kita yang harus kita terima dan carikan jalan untuk perbaikan ke depan, jangan pula melempar tanggung jawab yang seharusnya kita pikul.
Pada tahun 2009 lalu, penulis sempat mengetahui bahwa ada data tentang kompetensi guru di Kaltim yang dipegang oleh Dewan Pendidikan Kaltim. Sayangnya data tersebut tidak pernah di sampaikan di public secara terbuka, atau bisa jadi publik tidak peduli dengan hasil itu, sehingga tidak ada reaksi apa pun tentang hasilnya. Yang saya dengar, bahwa jika di rangking, maka hasilnya adalah guru-guru di kota Balikpapan yang ‘terbaik’ di Kaltim, diikuti oleh Bontang, PPU, Samarinda, dst. Sayang data tersebut tidak pernah jatuh ke public, padahal banyak hal atau kajian yang bisa dilakukan. Misalnya, mengapa kota Samarinda yang menjadi kota pusat pendidikan di Kaltim, hasil kompetensinya guru-gurunya bisa tersalib oleh kota-kota lain secara umum.
Sebenarnya Kadisdik kota Samarinda, Harimurti, pada suatu seminar pendidikan tgl 8 Mei 2010 di Hotel Mesra sempat mengakui bahwa berdasarkan data; 55 % guru di kota Samarinda belum kompeten. Sayangnya statement tentang data tersebut tidak menjadi headline media massa di Samarinda, ataupun membuka mata pemerintah kota Samarinda termasuk DPRD-nya untuk membuat menjadikan data ini menjadi suatu tindak lanjut yang kongkret hingga saat ini.
Inilah yang menjadi kesimpulan saya bahwa sikap apatis bisa jadi sudah sedemikian besar di masyarakat kita, bahkan bisa jadi data-data baru tentang hasil uji kompetensi guru yang baru nanti pun tidak akan menjadikan kita menjadi lebih peduli dengan kualitas pendidikan kita. Mudah-mudahan saya salah!
Banyak dari kita tentu setuju dengan statement bahwa “Teacher is the heart of education quality”, masalahnya untuk mencapai itu jalan yang tempuh tentu terjal dan berliku. Tetapi jika ada niat untuk membuat perbaikan, mestinya kita akan berusaha ke depan membuat tindak lanjut, perencanaan yang matang untuk perbaikan kualitas para guru kita dulu, baru berbicara tentang hasil pendidikan anak-anak kita.
Samarinda, 31/07/2011, 4.45 P.M.
Catatan:
Hingga akhir tahun 2011 ini, hasil tes kompetensi guru ini ternyata tidak juga dibuka atau disampaikan secara terbuka kepada publik. Dengan demikian, hampir dapat dipastikan data tentang guru ini ini lagi-lagi menjadi 'misteri' yang berlanjut. Apa hasilnya? apa langkah-langkah yang harus dilakukan menyikapinya? dll, tidak akan pernah terangkat ke publik. Sayang, dengan dana APBD yang pasti cukup besar itu, hasilnya lagi-lagi tak terlihat dan terasakan. Ini semakin menguatkan menggoyahkan kepercayaan publik terhadap program-program pemerintah. Semoga saya salah !
Catatan:
Hingga akhir tahun 2011 ini, hasil tes kompetensi guru ini ternyata tidak juga dibuka atau disampaikan secara terbuka kepada publik. Dengan demikian, hampir dapat dipastikan data tentang guru ini ini lagi-lagi menjadi 'misteri' yang berlanjut. Apa hasilnya? apa langkah-langkah yang harus dilakukan menyikapinya? dll, tidak akan pernah terangkat ke publik. Sayang, dengan dana APBD yang pasti cukup besar itu, hasilnya lagi-lagi tak terlihat dan terasakan. Ini semakin menguatkan menggoyahkan kepercayaan publik terhadap program-program pemerintah. Semoga saya salah !
No comments:
Post a Comment