Saya memutuskan ikut menjadi anggota penulisan buku tentang Rintisan sekolah bertaraf Internasional atau RSBI. Sebelumnya memutuskan ikut saya mencoba mengutak utik dampak turut serta dalam penulisan ini. Betapa tidak RSBI menjadi semacam isu panas yang lagi hangat dan kerap dibicarakan di tengah masyarakat.
Dibeberapa milis pendidikan yang saya pantau, pro dan kontra terhadap program RSBI sudah sangat sengit bahkan ekstrim. Sebagai peneliti yang terkadang harus mengkritisi kebijakan program kerja pemerintah di sektor pendidikan, adalah dilema kalau saya hanya turut mencela program RSBI ini, tanpa membicarakan kelebihan/kekurangan dan memberikan alternatif2 solusinya. Sangat mudah dan aman sebenarnya kalau saya hanya turut mengkritik saja, karena toh sudah cukup banyak suara negative dari masyarakat yang bisa dijadikan acuan. Lumayan, kalau hanya bisa jadi ‘penyanyi’ di seminar2 dan menyajikan fakta2 sepihak saja.
Tapi saya memilih tidak ingin ikut2an arus yang menentang. Karena masih banyak sebenarnya sisi baiknya yang seharusnya harus diberi appresiasi secara positif. Itu kalau mau pendidikan kita tetap bergerak maju, meskipun mungkin sedikit, tapi khan lebih baik daripada tidak. Alasan saya adalah kondisi dan standard pendidikan Nasional kita memang kompleksnya, berbeda-beda alias tidak sama. Karenanya tidak ada 1 resep manjur yang cocok buat semua penyakit. Justru beragam innovasi dan terobosan yang berbeda tujuan dan pendekatannya perlu kita coba, untuk melihat mana yang cocok dan mana yang tidak. Kalau perkara akan menimbulkan kebingungan, ketidaksiapan dan resistansi dari elemen2 yang berbeda di masyarakat – itulah seni atau tantangan yang perlu ditaklukan dan dicari jalan keluar.
Saya yakin adaptasi terhadap tantangan dari luar/lingkungan (baca teknologi) adalah jalan terbaik untuk mengejar ketinggalan daripada sekadar hanya menolaknya, tapi tergilas. RSBi sekalipun tidak sempurna dan mungkin hanya mewarnai sekolam daripada sebegitu luasnya laut Indonesia tetap harus tetap dipandang sebagai terobosan yang perlu dianatara stagnansi innovasi pendidikan nasional saat ini. Siapa tahu dari sekolam bibit ini, bisa muncul hasil yang dapat membawa keunggulan bagi keseluruhan bangsa? Walahu alam, lebih baik berusaha daripada tidak (dan tergilas).
Why Sekolah Bertaraf Internasional? Why now?
Di Asia sendiri sekarang terjadi peningkatan trend dimana permintaan akan sekolah yang menggunakan bahasa Inggris (bilingual) dirasakan terus meningkat. Kecenderungan ini tidak hanya ditemui pada negara-negara bekas jajahan Inggris seperti India, Malaysia, dan Singapura, tapi juga di negara2 yang berekonomi kuat seperti Jepang, Thailand, Taiwan dan China. Para orang tua dan pemerintah mempunya alasan tersendiri mengapa 'demand' ini menjadi trend. Salah satunya adalah tantangan dunia global dan persaingan ekonomi yang semakin keras, membuat mereka berpikir salah satu cara menguasai ilmu dan teknologi secara cepat dan mempersiapkan generasi yang siap bersaing secara global adalah dengan menguasai bahasa (English) dan teknologi dari Barat.
Di tahun 2008 di Thailand, misalnya, tercatat lebih dari 100 sekolah bilingual atau bertaraf Internasional telah berdiri. Sementara Taiwan memiliki sedikitnya selusin sekolah bilingual, beberapa diantaranya sudah berdiri sejak 20 tahun lalu. Sementara di Korea, ribuan siswa sekolah dasar hingga menengah tingginya mengikuti program bahasa Inggris, beberapa diantaranya setingkat native speakers. Ditiga negara diatas yang dikategorikan ‘new economies’ di Asia, trend orang tua mengirim anak2nya ke sekolah berbahasa Inggris sangat meningkat tajam, sementara itu negara-negara yang sudah lama memberlakukan ‘bilingual’ seperti Singapura, Phillipina dan Hongkong (China) justru menunjukan trend penurunan (Good, 2005).
Tahun 2003, pemerintah Thailand merevisi undang2 mengenai kurikulumnya yang mendorong setiap anak untuk bisa belajar dalam bahasa dan memakai kurikulum apa saja. Pemerintahnya juga meluncurkan program dengan target minimal ada sekolah bilingual atau bertaraf Internasional di setiap provinsinya.
Di Taiwan para siswa sekolah hanya setengah hari kemudian mengikuti program pendalaman bahasa Inggris setelah jam sekolah usai.
Pengalaman yang berbeda justru terjadi di negara2 berbahasa Inggris seperti Britania Raya (UK) dan Amerika Serikat. Di Britania Raya, misalnya, sekolah-sekolah bilingual diperkenalkan justru untuk mengajarkan bahasa lain selain Inggris (English plus). Sekolah yang berpartisipasi program bilingual tersebut memperoleh kelebihan-kelebihan (benefit) daripada sekolah biasa yang hanya diajar dalam 1 bahasa saja (English) (Independent, 2006; BBC, 2008), khususnya dalam hasil ujian nasional. Adapun jenis bahasa-bahasa yang diajarkan sekolah-sekolah bilingual tersebut adalah bermacam-macam misalnya Perancis, Portugis, China, Bengali, Italia, Urdu, Polandia, dll. Di UK setidaknya ada hampir 1 juta anak yang berbahasa selain English di rumah mereka masing2. Pengalaman dari beberapa sekolah, awalnya memang terjadi kesulitan daya serap dan prestasi bagi siswa yang diajar dalam bahasa asing, namun kemudian hal ini pelan-pelan bia diatasi dan malah mendapat kelebihan-kelebihan lainnya, misalnya pengajaran kurikulum yang lebih innovatif dan menarik dari sebelumnya (BBC, 2006).
No comments:
Post a Comment