Beberapa tahun yang lalu, ketika Orde baru masih berkuasa, di masyarakat berkembang kesan yang sangat kuat kalau guru adalah profesi bagi mereka yang susah hidup, tidak 'menjanjikan' dll sbg, dan karenanya menjadi kurang diminati oleh para pemuda/i. Banyak yang memandang sebelah mata, apalagi pada saat Orde Baru masih dipuncak kesuksesannya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang stabil, sehingga kita di kenal salah satu Asian Tigers.
Tak heran saat itu, anak-anak yang 'pintar' banyak yang menghindari jurusan yang mengarah ke profesi guru, demikian juga di perguruan tingginya. Salah satu jurusan yang saat itu dianggap 'keren' atau menjanjikan ialah jurusan Perbankan terutama bagi yang bercita-cita berkerja di Bank dan mau banyak uang. Maka jadilah jurusan pendidikan di fakultas pendidikan diisi oleh mereka-mereka yang dikategorikan ‘gagal’ di jurusan lain atau mereka yang bercita-cita tidak lebih tinggi dibandingkan hanya menjadi Pak dan Bu guru di sekolah.
Trend seperti ituberlangsung hingga 1997/8, sebelum terjadinya krisis keuangan Asia (credit crunch) yang memaksa Indonesia terjerembab ke resesi ekonomi yang sangat parah, dengan inflasi mencapai ratusan persen dan banyak perusahaan yang tutup. Maka economy buble yang dibanggakan (booming) pun pecah (burst) yang memaksa pemerintah turun tangan menalangi para debtors dan akhirnya menutup bank-bank yang krisis likuiditas keuangannya.
Trend seperti ituberlangsung hingga 1997/8, sebelum terjadinya krisis keuangan Asia (credit crunch) yang memaksa Indonesia terjerembab ke resesi ekonomi yang sangat parah, dengan inflasi mencapai ratusan persen dan banyak perusahaan yang tutup. Maka economy buble yang dibanggakan (booming) pun pecah (burst) yang memaksa pemerintah turun tangan menalangi para debtors dan akhirnya menutup bank-bank yang krisis likuiditas keuangannya.
Ditengah situasi ekonomi sulit dan pengangguran yang meningkat tajam, ternyata angin segar bertiup ke arah lain. Satu-satunya profesi yang tahan di terpa krisis adalah profesi di pendidikan dan kesehatan. Para guru yang sebelumnya terpinggirkan mulai memetik hasilnya. Pemerintah Habibie menaikan gaji dan tunjungan mereka jauh dibandingkan sebelum Orde Baru berkuasa. Zaman reformasi mencatat setiap tahun gaji dan remuneration para guru dan dosen di tingkatkan paling sedikit 15 % untuk mengimbangi tingginya inflasi.
Beralihnya perhatian ke sektor pendidikan ini menjadi bukti nyata adanya shift policy atau U-turn dikalangan pembuat kebijakan yang dulunya 'hidup di menara gading'. Reformasi di bidang pendidikan dijadikan salah jalan keluar bagi banyak bangsa-bangsa yang jatuh untuk kembali bangkit dari krisis – terutama dibidang ekonomi - seperti ditunjukan oleh bangsa-bangsa yang dulunya hancur akibat perang dunia (PD), seperti Jepang dan Jerman.
Beralihnya perhatian ke sektor pendidikan ini menjadi bukti nyata adanya shift policy atau U-turn dikalangan pembuat kebijakan yang dulunya 'hidup di menara gading'. Reformasi di bidang pendidikan dijadikan salah jalan keluar bagi banyak bangsa-bangsa yang jatuh untuk kembali bangkit dari krisis – terutama dibidang ekonomi - seperti ditunjukan oleh bangsa-bangsa yang dulunya hancur akibat perang dunia (PD), seperti Jepang dan Jerman.
Di masa krisis moneter dan ledakan pengangguran tersebut, kita justru melihat banyak tenaga kerja yang di-PHK (sacked) terutama yang sarjana 'hijrah', beralih profesi menjadi guru bantu atau guru kontrak disekolah-sekolah. Kebutuhan akan guru yang sebelumnya tidak pernah terpenuhi berbalik menjadi rebutan bagi mereka yang dulunya memandang sebelah mata. Formasi pengangkatan guru/ PNS diperebutkan banyak pelamar, termasuk guru kontrak sekalipun. Profesi guru dipandang penyelamat ekonomi bagi banyak orang, banyak universitas yang menutup banyak program studinya karena tidak ada peminat/mahasiswanya.
Naik daunnya profesi guru, sudah jelas membuat orang tidak malu2 lagi mengaku ingin menjadi guru. Meskipun demikian harapan bahwa guru menjadi profesi professional masih jauh dari harapan. Setelah pemerintah 'berencana' menjalankan amandemen baru UUD 45 dan UU Sisdiknas, yang mewajibkannya pemerintah pusat dan daerah untuk menyisihkan 20 % anggaran untuk pendidikan - diluar gaji pegawai - pada tahun 2009 nanti, mereka yang berseragam guru semakin percaya diri. Namun dibalik kabar baik itu, tersembunyi banyak tantangan yang sangat berat. Bukankah semakin tinggi pohon semakin kencang tiupan angin menimpanya?
Naik-daun-nya profesi guru menyimpan bom waktu (time bomb) yang jika tidak diantisipasi oleh para guru maka akan menjadi bumerang dan pada gilirannya akan menjadi anti klimaks yang menghantarkan profesi itu kembali ke zaman sebelumnya. Para guru bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa di masa lalu, karena jasanya sudah mulai dihargai dan dibayar tinggi oleh negara dan masyarakat. Jika para guru tidak berusaha mencapai profesi yang professional, berprestasi dan mampu mengimbangi tuntutan masyarakat yang semakin kritis dan perkembangan zaman yang pesat, maka dua hal yang terakhir ini akan menelannya. Naiknya gaji harus diimbangi dengan semakin berkualitasnya produk akhir (end product). Para guru harus siap bekerja lebih keras agar mereka menghasilkan generasi yang lebih baik dari generasi mereka sendiri.
Masa bulan madu biasanya pendek, setelah tahun 2009 - mungkin tahun keemasan para guru, sudah menanti masa-masa berat. Ekonomi rakyat kita yang belum pulih paska krisis Asia akan semakin bertambah dengan ekonomi dunia yang mengarah pada resesi yang paling parah sejak 1930an. Disitu menunggu pekerjaan maha berat, mampukah para guru menuntun bangsa kita melewati masa-masa sulit itu dengan baik?
Time will tell....
No comments:
Post a Comment