Total Pageviews

Saturday, November 13, 2010

Management of Change: Mengajar di Sekolah 'Pinggiran'



Kaltimpost, Sabtu, 13 November 2010


ENJOY: Walau mengajar di sekolah pinggiran, Barlin Hady Kesuma mengaku lebih enjoy.(faroq zamzani/kp)
Cinta pertama Barlin Hady Kesuma tertanam di SMP 12 Samarinda. 
Sekolah menengah pertama di pinggir kota. Kemapanan hidup di Inggris, 
tak menggodanya untuk berlama-lama di negara yang warganya “memuja” 
sepak bola.   
KINI Barlin tak lagi bisa menyaksikan langsung klub favoritnya Aston Villa 
kala berlaga di markasnya yang hanya berjarak beberapa meter dari 
rumahnya di Birmingham, Inggris. Salaman dengan Michael Owen, 
pemain gaek yang kini bergabung di Manchaster United pun hanya jadi 
sebuah cerita manis ketika di Inggris. Tawaran gaji GBP 40 ribu per tahun 
sebagai peneliti dan pengajar di Sixth Form College, Solihull, Inggris, yang 
dulu pernah disodorkan kepadanya, kini hanya ada di bayang-bayang.

Ayah dua anak itu memilih meninggalkan “kemewahan” itu untuk memilih 

kembali ke Samarinda. Kembali ke tanah kelahirannya. Kembali untuk bisa 
mengabdi untuk bangsa dan negaranya. Kembali untuk memperbaiki dunia 
pendidikan Indonesia yang menurutnya masih carut-marut. Walau kembalinya 
dia dan keluarganya itu harus menanggung setumpuk konsekuensi. Harus 
mau hidup pas-pasan. Mengajar di sekolah pinggiran. Gaji pokok guru yang 
sudah habis sebelum akhir bulan. Dan lainnya, dan lainnya, dan lainnya.

“Waktu saya mau kembali ke Indonesia, kawan-kawan saya di Inggris 

banyak yang menyesalkan. Mereka bilang di Indonesia masih belum jelas. 
Apa mau meninggalkan kehidupan yang sudah mapan di Inggris. Sudah 
ada mobil dan rumah. Kalau pulang, kata teman saya, gelar tak akan 
dihargai,” kata Barlin, panjang menjelaskan desakan kawan-kawan 
senegaranya di Inggris.


Sunday, November 07, 2010

Profesi Guru Bergeser: Hanya Mengajar, Tak Lagi Mendidik

Senin, 1 November 2010

Profesi Guru Bergeser

Hanya Mengajar, Tak Lagi Mendidik

PROFESI guru semakin dipertanyakan. Guru yang setianya dikenal sebagai pendidik, semakin kehilangan jati diri. Itulah yang diungkapkan Sekretaris Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kota Samarinda, DR Barlin Hadi Kesuma SPd Med.
"Cobalah, kita bertanya pada orangtua kita dahulu. Betapa mulianya profesi guru. Tapi, sekarang terjadi pergeseran profesi guru. Saat ini, guru hanya mengajar bukan lagi sebagai pendidik. Maka, kita jangan heran apabila guru tidak lagi dihormati siswa," ungkap Barlin.
Menurutnya, untuk menyelesaikan masalah pendidikan, tidak bisa diselesaikan satu pihak. Untuk itu, yang utama kata Barlin, adalah mengubah mental guru terlebih dahulu.
"Kalau saya melihat, banyak guru-guru kita yang sudah merasa hebat dan merasa pintar. Minim sekali guru yang mau belajar lagi. Padahal, tidak ada guru yang super," kata guru SMPN 12 lulusan Master of Education (S2) dan Doctor of Education (S3) di University of Birmingham ini.
Karena merasa hebat inilah, menurut Barlin, timbul perasaan bangga dan sombong. Hal inilah yang membuat mental guru menjadi rendah. 
Saat mengajar di The Sixth Form College, Solihull, United Kingdom, banyak pengalaman berharga yang bisa didapatkan Barlin.
Menurutnya, guru di Indonesia termasuk beruntung karena telah memiliki kurikulum dan tinggal mengembangkannya.
"Saya berteman dengan beberapa profesor dari Inggris, Amerika, Mesir hingga Afganistan. Dan guru di Afganistan itu, harus membuat kurikulum sendiri, membuat materi sendiri dan mengembangkan sendiri. Bayangkan, betapa sulitnya mereka yang tinggal di daerah konflik. Karena itu, kita patut bersyukur," kata Barlin.
Pendidikan yang bisa diadopsi dari luar negeri adalah pentingnya pendidikan karakter. Menurutnya, karakter anak didik akan menentukan masa depan bangsa.
Tidak heran, apabila Barlin setuju dengan program pemerintah yang menggalakkan pendidikan karakter.
"Di luar negeri, salah satunya Inggris, pendidikan karakter yang utama. Karena, kita ini ada dua kurikulum yaitu yang tertulis dan tidak terulis," paparnya.
Kurikulum tertulis, yang dimaksud Barlin adalah kurikulum dari pemerintah. Sementara yang tidak tertulis adalah pendidikan karakter.
"Misalnya, tidak membuang sampah sembarangan hingga prilaku hidup sehat. Itu kan tidak tertulis di kurikulum," tambahnya.
Karena itu, menurut Barlin, sebagai panutan guru harus menjadi contoh.
"Kalau guru meminta siswa disiplin, harus dimulai dari gurunya sendiri. Seperti di tempat saya mengajar di Inggris. Guru, meminta siswa menghemat energi dan guru pun memberikan contoh dengan mengendarai sepeda ke sekolah," pungkas Barlin. (ici)