Total Pageviews

Saturday, May 15, 2010

FAKTA SEPUTAR UJIAN NASIONAL

Ujian Nasional dapat berdampak sbb:
1. Menambah beban belajar siswa
2. Membuat stress siswa dan keluarganya
3. Membuat sekolah sekolah kehilangan ruh sebagai tempat belajar
4. Menumpulkan kreativitas (guru & siswa)
5. Mendorong pendidikan hanya sekadar lulus ujian/ dapat ijazah semata
Noah and Eckstein (1992, hal 149)

http://www.tribunnews.com/2010/04/28/siswi-yang-bunuh-diri-itu-ternyata-peraih-nilai-tertinggi

6. Proses belajar mengajar disekolah tereduksi menjadi sekadar ‘teaching to the test’ atau mengajar apa yang diteskan dalam UN semata (Kesuma, 2001, hal 8)

7. Berasal atau meminjam model dari Negara maju (developed) yang belum tentu tepat untuk kondisi Negara berkembang (developing countries), suatu policy/ kebijakan di dukung sepenuhnya oleh World Bank (Bank Dunia) yang siap member hutangan bagi Negara yang membutuhkan. (Noah and Eckstein, 1992, Hal 4)

8. Tujuan UN yang hanya menilai kognitif siswa bertentantangan dengan tujuan pembelajaran menitik beratkan pengembangan dibidang kognitif, afektif dan psikomotorik anak/ siswa secara proporsional. Tidak kelihatan bedanya kerja keras siswa (value added achievement) dari sekolah pinggiran, dari keluarga tidak mampu dan sarana prasarana sekolah yang minim dengan siswa dari sekolah favorit, dari keluarga mampu dan sarana prasarana sekolah yang wah.

9. Kebijakan UN hanya terbatas pada melihat hasil akademik yang terbatas, ‘mengganggu’ penyelenggaran pembelajaran di sekolah, dan menggunakan jenis penilaian yang tidak memberikan motivasi (guru dan siswa) untuk belajar dengan sesungguhnya. (Broadfoot, 1988, hal 161-162)

10. Penilaian hasil belajar dengan cara pilihan ganda dan atau jawaban essay singkat sangat tidak reliable. Karena tidak dapat mengakses tingkat berpikir, kemampuan memecahkan masalah, kreativitas dan inisiatif siswa. (Davey and Neill, 1991)

11. Guru sibuk memborbardir siswa dengan soal-soal yang banyak, memperkenalkan ‘magic tricks’ bagaimana menjawab soal dengan efektif. Kelas menjadi tidak menyenangkan, mengajar menjadi serius dan jauh dari mengembangkan kreativitas. Guru menekan siswa untuk ‘menghafal’ isi kurikulum. Semakin menjelang UN, guru semakin sibuk dan tegang.

12. Siswa semakin stress dan sibuk karena semakin menjelang UN, semakin tegang untuk belajar lebih keras, mengikuti jam belajar extra lebih banyak, dan mengerjakan tugas atau PR lebih banyak dari gurunya. Hal ini membuat anak-anak terganggu secara fisik dan mental karena kecapaian, ketegangan, kegelisahan dan ketakutan tidak lulus UN.

13. Pemerintah pusat dan daerah menghabiskan banyak anggaran dengan jenis ujian yang tidak jelas tingkat efektivitasnya dalam meningkatkan standard dan kualitas pendidikan pendidikan nasional dan daerah. Kebanyakan sekolah bingung mencari dana untuk membiayai ujian nasional utama dan ulangan.

http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2010/03/18/brk,20100318-233447,id.html

14. Soal UN memiliki masalah validitas dan reabilitas. Meskipun kurikulum yang berlaku disekolah adalah KTSP atau bervariasi di setiap sekolah, namun SKL dan kisi-kisi masih dibuat dan ditentukan oleh pusat. Selanjutnya, tidak semua soal telah diteskan/ dipilotkan secara proporsional diseluruh wilayah Republik Indonesia. Contoh banyak soal yang menggunakan bahasa Metropolitan yang sama kepada semua siswa yang berbeda latar belakangnya (daerah terpencil, desa dan kota), soal banyak men-generalisir (menyamaratakan) kemampuan siswa yang berbeda-beda.

15. Hasil ujian tidak pernah dipakai sebagai feedback atau masukan untuk meningkatkan hasil belajar siswa dan memperbaiki pedagogis guru. Lebih sering sekolah ‘yang berhasil’ (biasanya sekolah favorit, dengan SDM guru yang lengkap dan sarana prasarana yang memadai) yang terus mendapat perhatian dan kucuran dana. Sementara sekolah yang ‘kurang berhasil’ tidak pernah mendapat perhatian.

16. Anggaran penyelenggaran UN setiap tahunnya sangat besar (Rp 524 M tahun 2010), tetapi tingkat efektivitasnya dalam memajukan pendidikan perlu dipertanyakan hasilnya.

http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=43015

Alternatif lain untuk penyelenggaraan UN adalah penilaian berbasis kinerja siswa (performance assessment), yaitu menilai apa yang siswa ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Sistem penilaian ini melibatkan observasi, dokumen (porto folio) dan analisis kerja/ projek siswa. Yang dinilai adalah produk dan projek yang dilakukan/ dibuat oleh siswa di dalam dan di luar kelas, hasil penelitian/riset, karya tulis/ esay, serta eksebisi/ pameran dilakukan oleh siswa.
Masalah yang ditimbulkan dari penyelenggaraan UN adalah:
1. Penekanan pada penilaian kognitif saja.
2. Guru kekehilangan kreativitas dalam pedagogis
3. Peningkatan stress yang dihadapi siswa, guru kepala sekolah, dan orang tua
4. Biaya penyelenggaran UN yang besar
5. Prosentasi siswa yang tidak dapat melanjutkan pendidikan di tingkat selanjutnya meningkat.

Di masa depan globalisasi dan kemajuan teknologi akan merubah tujuan belajar/ pendidikan dari sekadar peningkatan pengetahuan (knowledge) semata menjadi peningkatan kualitas kemampuan (attitude), keterampilan (skill) dan kualitas personal bagi siswa. Sementara pengetahuan yang menjadi target utama kurikulum selama ini akan semakin tidak relevan di dunia yang informasi dapat dengan mudahnya peroleh dengan hanya menekan tombol. Yang perlu dikembangkan adalah mengapa pengetahuan tersebut diperlukan, dimana mencarinya dan bagaimana menggunakannya secara tepat yang seharusnya menjadi sentral tujuan belajar bagi siswa.

Referensi:

http://bsnp-indonesia.org/id/?page_id=61

Broadfoot, P. (2000) ‘Assessment and Intuition’ in Atkinson, T. and Claxton, G. (2000) The Intuitive Practitioner: On the value of not always knowing what one is doing, p.199 – 218, Buckingham: Open University Press.

Broadfoot, P. (1992) ‘Towards Profiles of Achievement: Developments in Europe’ in Noah, H.J. and Eckstein, M.A. (1992) Examinations: Comparative and International Studies, p61 – 78, Oxford: Pergamon Press.

Broadfoot, P. (1988) ‘Research and Policy-making in Assessment: Some unanswered Questions’ in Black, H.D. and Dockrell, W.B. (Eds.) (1988) New Developments in Educational Assessment, p158 – 173, Edinburg: Scottish Academic Press.
Darminto (1999) BMPS Desak Ebtanas Dihapus (BPMS Urge the Elimination of Ebtanas), Kompas Daily, Jakarta, 11/2/1999.

Davey, Lynn & Neill, Monty (1991). The case against a national test. Practical Assessment, Research & Evaluation, 2(10). Available online: http://ericae.net/pare/getvn.asp?v=2&n=10

Kesuma, B. H. (2001) Questioning The Role of National Testing (EBTANAS) in Indonesian Compulsory Education Schools: Are They Effective For Achieving or Ruining Education Goals?

MOE (2000) Indonesian Ministry of Education, http://www.pdk.go.id/MainHome.html.

Noah, H. J. and Eckstein, M.A. (eds) (1992) Examinations: Comparative and International Studies, Oxford: Pergamon Press.

Tuesday, May 11, 2010

USULAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN BAGI KOTA SAMARINDA (2010)


Human Development Index (HDI) Malaysia (menurut UNDP, 2005) berada pada posisi ke-61, sedang Singapore pada posisi ke-25. Posisi Indonesia jauh lebih buruk karena berada pada posisi 110 atau kalah bersaing dengan Vietnam di posisi ke-108. Kita hanya lebih baik bandingkan  dengan Myanmar (129), Kambodja (130), dan Laos (133).
Mutu pendidikan kita diantara negara-negara Asia bahkan di ASEAN juga buruk, dalam hal prestasi MIPA di level internasional misalnya. Hasil tes TIMSS 2003 dan PISA 2003 menunjukan bahwa mata pelajaran matematika dan science penguasaan siswa Indonesia berada pada kelompok bawah, bahkan tergolong sangat terpuruk. Dalam TIMSS 2003 Indonesia menempati posisi 34 untuk matematika dan posisi 36 untuk IPA dari 46 negara peserta. Dalam PISA 2003 yang diikuti oleh 41 negara peserta, dalam kemampuan membaca dan matematika siswa kita ada pada urutan ke-39, sedangkan dalam kemampuan sains pada urutan ke-38.
Sejak konferensi dunia Education For All (EFA) yang diadakan di Jomtien, Thailand pada Maret 1990 dan Delhi Declaration pada tahun 1993, semua negara di dunia termasuk Indonesia sepakat untuk meneruskan visi dan komitmen untuk memasuki fase baru yaitu peluncuran program pendidikan tingkat dasar atau Wajar hingga tingkat SD/MI hingga SMP/MTs (7 s.d. 15 tahun) bagi setiap warga negaranya. Sebagai pengakuan bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia yang paling mendasar, Provinsi Kaltim dan Kotamadya Samarinda bahkan berkomitmen lebih yaitu menyediakan pendidikan dasar hingga ke tingkat menengah atas (SMA, MA dan SMK) bagi seluruh penduduknya.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah dengan UU No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Dearah, maka sejak tahun 2001, urusan-urusan dibidang pendidikan ini sudah menjadi urusan daerah (tingkat I & II). Kecuali urusan kurikulum, hampir semua program-program di bidang pendidikan sekarang menjadi urusan daerah Tk II.
Mutu Pendidikan di Samarinda
Hasil Ujian Nasional Utama tahun 2010 membangkitkan rasa keprihatinan yang sangat mendalam kepada warga kota Samarinda, mengingat tingkat ketidaklulusan siswa SMA/MA ternyata mencapai 25.73%, SMK mencapai 24.47 % dan SMP/Mts mencapai 49.22%. Dengan hasil ini menempatkan kota Samarinda sebagai salah satu daerah Tk II di Kaltim yang paling paling merosot tingkat kelulusannya dibandingkan daerah lain. Adanya hasil yang memprihatinkan ini semakin menambah  beban pekerjaan pemerintah kota Samarinda yang sudah menumpuk dari pekerjaan-pekerjaan rumah tahun sebelumnya yang juga belum terselesaikan. Seperti masih banyaknya sekolah menumpang, ruang-ruang kelas yang rusak berat, fakta bahwa 55% guru Samarinda tidak layak mengajar, dana BOSDA yang sudah 14 bulan belum terbayar (September 2010), dll maka sudah layak dan penting untuk segera memulai reformasi khusus terhadap policy atau kebijakan di bidang pendidikan di kota Samarinda. 
Tujuan dibuatnya usulan ini adalah sebagai framework dan pengingat arah prioritas kebijakan pendidikan kota Samarinda yang perlu dikembangkan di tahun-tahun selanjutnya.

TRANSFORMASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN SAMARINDA

A.      PERLUASAN AKSES PENDIDIKAN BAGI SEMUA ANAK USIA SEKOLAH (Providing equitable access and opportunity for school age children)
1.       Mencapai gross enrolment ration bagi pendidikan dasar dan menengah hingga 100% untuk usia 7 – 18 tahun

2. Prioritas kelompok sasaran pendidikan (priority target groups)
a.       Anak2 usia sekolah (7-18 th) diwajibkan bersekolah tanpa kecuali (diatur dalam Perda).
b.      Pemuda/i putus sekolah usia 11 – 18 th  diwajibkan untuk mengikuti Paket B & C dan mengikuti kursus keterampilan atau membuat program ijazah plus 1 sertifikat keterampilan (diatur oleh Perda). Perlu sinkronisasi antara pendidikan formal dan informal/ non formal.
c.       Anak jalanan (Street children) dan anak yang bekerja – perlu pembentukan satellite or mobile schools.
d.      Orang dewasa (diatas 18 tahun) tidak dapat membaca/ menulis.

3.       Program bina lingkungan, yaitu memberi kuota wajib kepada sekolah untuk memberikan minimal 5-10% dari daya tampung siswa barunya (berlaku untuk sekolah biasa, sekolah standar nasional dan RSBI/SBI) kepada anak-anak kurang mampu dalam radius 5 km dari sekolah.
4.       Adanya Perda yang mengatur sangksi yang jelas bagi orang tua/ wali yang dengan sengaja mengabaikan pendidikan anak2nya (denda atau hukuman community services)
5.       Pemkot memiliki program asuransi (kesehatan dan pendidikan) bagi semua anak usia  bersekolah.  


B.      PENDIDIKAN YANG BERMUTU (STANDARISASI & MINIMUM PELAYANAN) Improving quality of education services)
1.       Akreditasi sekolah - Kualitas (standar minimum pelayanan) sekolah negeri dan swasta harus sama. Artinya dana untuk peningkatan Hasil penilaian/ akreditasi harus didapat akses/diketahui oleh masyarakat luas
2.       Membuat target tahun 2014 semua guru tetap yang bekerja pada satuan pendidikan di Samarinda harus minimal S1. Pemkot dan dinas pendidikan dapat memberikan subsidi/beasiswa. Guru yang belum S1 pada tahun 2015 diarahkan untuk mencari sekolah atau diberi kemudahan mutasi ke luar kota Samarinda. Ini secara dramatis akan mengurangi prosentasi data bahwa 55% guru di Samarinda tidak layak mengajar itu.
[Kementrian Keuangan pimpinan Sri Mulyani menerapkan suatu reformasi personnel yang sangat efektif menekan tingkat ketidakdisiplinan, penyelewengan (korupsi dan suap) dan ketidakmampuan di lembaganya. Ratusan pegawai dipecat dan diberhentikan jika mereka tidak sesuai dengan kriteria yang digariskan oleh lembaganya. Terbukti Kementrian Keuangan perlahan tapi pasti lembaga yang bersih dan mampu bekerja secara efektif dan efisien. menjadi Hal serupa dapat diterapkan di lingkungan Pemkot Samarinda. Bila program perubahan untuk perbaikan dilakukan by design, maka kebijakan ini akan mendapat dukungan luas dari public kota Samarinda]. 
3.       Target tahun 2015, guru yang telah bersertifikasi di Samarinda mencapai minimal 60 % (meningkat 15% per tahun). Samarinda sekarang punya 11.200 pendidik, baru tetapi baru 1.659 orang sudah bersertifikasi (14%). Perbaikan data guru yang ada sekarang dan lobby perlu dilakukan kepada Kementrian Pendidikan Nasional cq Direkur Profesi Guru agar Samarinda dapat menambah kuota guru yang disertifikasi. Dengan semakin besarnya jumlah guru yang telah bersertifikasi, maka beban daerah untuk membayar insentif guru bisa berkurang dan dananya dapat dialihkan.
4.       Pengadaan bahan belajar disekolah perlu ada intervensi khusus dari Pemkot. Program textbook rental system kepada setiap siswa SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK disemua sekolah. Minimal 80 % siswa telah dilayani sistem yang memberi akses untuk meminjam/ menggunakan semua buku yang dipakai disekolah, minimal satu anak satu buku (per mata pelajaran), penambahan koleksi perpustakaan, pelatihan KKG/MGMP bagi guru untuk membuat sendiri bahan ajar mereka disekolah.
5.       Pengadaan fasilitas ICT bagi semua sekolah (minimal 10 komputer dan 5 laptops per sekolah di tingkat SD/MI dan dua kali lipat bagi tingkat SMP/MTs/SMA/MA/SMK). Fasilitas ICT ini dipergunakan oleh sekolah untuk PBM dan perpustakaan sekolah. 
6.       Pengadaan staff administrasi/ TU minimal 1 orang bagi SD/MI
7.        Jumlah murid per rombongan belajar (rombel) maksimal 30 orang pada tahun 2013 (secara bertahap perlu mengacu pada jumlah 24 per rombel menurut Permeniknas No 69/2009). Rombel yang memiliki siswa lebih dari 30 harus diampu 2 orang guru untuk mata-mata pelajaran tertentu (misalnya yang diunaskan dan ditambah khusus mata pelajaran ICT dan mata pelajaran keahlian/praktek).
8.       Sekolah wajib memberikan pelatihan atau mengikutsertakan guru dalam pelatihan (continuous perofessional development) yang diadakan oleh KKG/MGMP, LPMP, dan lembaga pendidikan ekternal lainnya minimal 2 x dalam satu tahun di dalam sekolah/ luar sekolah. Diperlukan training need analysis bagi guru oleh Dinas Pendidikan
9.       Setiap seminar/ workshops/ pelatihan untuk guru yang akan diadakan di kota Samarinda harus diberitahukan/didaftarkan terlebih dahulu kepada Dinas Pendidikan paling lambat 4 minggu sebelumnya. Ini agar Dinas dapat membantu mensosialisasi info pelatihan kepada para guru yang memerlukan serta dapat mengontrol kualitas dan kuantitas penyelenggaraan pelatihan guru. Pelatihan-pelatihan guru yang mengarah pada peningkatan pemahaman materi ajar per bidang studi dan metode mengajar harus lebih banyak daripada jenis pelatihan yang lain.
10.   Sekolah menyisihkan minimal 10 hari dalam jangka 1 tahun untuk program peningkatan pengetahuan & keterampilan bagi para guru dan tenaga kependidikannya.

[Fakta dilapangan bahwa meskipun telah diberikan cukup pelatihan kepada para guru, tidak ada jaminan serta merta para guru akan mengubah cara dan metode mengajarnya kepada siswa, menerapkan apa yang sudah diterimanya di dalam pelatihan. Selain karena alas an kesulitan menciptakan iklim atau suasana yang mendukung untuk terlaksananya innovasi pendidikan, juga dikarenakan ada budaya resistansi di kalangan para guru itu sendiri yang akan menolak semua faktor ekternal yang berpotensi akan merubah persepsi mereka tentang tugas dan fungsi guru yang sudah mendarah daging dan para guru sudah merasa nyaman dengan keadaan tersebut. Untuk itu, cara cerdas atau alternative yang harus dilakukan adalah memanfaatkan potensi siswa untuk belajar mengejar ketertinggalan secara mandiri. Dinas pendidikan bisa memanfaatkan teknologi seperti e-learning atau students’ self-help dimana siswa dapat mengakses bank soal, soal-soal ujian sekolah dan ujian nasional berikut pembahasannya secara mandiri dan online. Menempatkan seorang e-tutor yang bertugas membantu siswa secara online dalam pembahasan soal juga dapat membantu mempercepat pemahaman siswa terhadap masalah-masalah yang dihadapinya dalam belajar. Singkatnya, kalau susah merubah gurunya yang gaptek (gagap teknologi) dan tak mau berinnovasi, kenapa tidak langsung memberdayakan siswa agar bisa mandiri mencari memecahkan persoalan belajar mereka sendiri].

11.   Kepsek direkrut, diangkat, dipromosi, diberhentikan berdasarkan prestasi kerja, bukan dari sekadar lamanya pengabdian menjadi staf pengajar. Diadakan fit proper test dan evaluasi berbasis kinerja secara reguler oleh pengawas sekolah, dinas pendidikan dan perwakilan orang tua/ komite. Untuk pertanggungjawaban kepada public, hasilnya penilaian wajib di publikasikan kepada masyarakat.

12.   Kepsek berprestasi diberikan reward khusus (misalnya menjadi Kepsek RSBI/SBI, beasiswa, dll.) Lembaga independent dapat dilibat untuk mendapatkan kepsek RSBI/SBI yang benar-benar kompeten, visioner dan berprestasi. Para kepsek baru (beginning head teachers) yang innovative dipromosikan menjadi kepsek sekolah standard nasional.
13.   Pemkot punya data baseline yang online (real time) tentang keadaan siswa, guru dan tenaga kependidikan untuk keperluan projeksi, kontrol, monitoring dan evaluasi. Misalnya dalam membuat (a) analisis kebutuhan siswa, guru dan tenaga kependidikan saat ini dan dimasa datang, (b) sejauh mana daya serap siswa dalam mengikuti materi PBM atau target kurukulum di sekolah dan (c) projeksi jumlah tenaga kerja yang akan dihasilkan dan akan terserap pasar, dll.
14.   Pemkot dan dinas pendidikan mempermudah birokrasi mutasi/perpindahan guru (antar sekolah, anatar rayon, anatar kota dan anatar provinsi) untuk mengurangi penumpukan atau kekurangan guru pada sekolah-sekolah dan daerah-daerah tertentu (pemerataan).
15.   Penilaian kualitas kinerja guru harus berdasarkan pengalaman, prestasi dan training yang diikutinya. Tingkat kemangkiran guru dalam mengajar ditargetkan dibawah 5% setiap bulannya, monitoring & sangksi bagi yang absen tanpa alasan diperketat. 
16.   Pengembangan program e-learning/ e-tutor, Bilingual & ICT pada tingkat SD/MI, SMP/MTs & SMA/MA/SMK.
17.   Sekolah melaksanakan program Bimbingan Belajar persiapan Ujian Nasional sejak dini atau sejak kelas 4 SD/MI, kelas I SMP/Mts dan kelas I SMA/MA/SMK. Semoga kegiatan praktek mata pelajaran sedapat mungkin dilakukan atau selesai dilakukan pada kelas II SMP/Mts, SMA/MA/SMK.
18.   Ada 24 sekolah masih menumpang di Samarinda, ratusan ruang kelas rusak berat hingga ringan serta puluhan perpustakaan sekolah yang tidak layak pakai yang belum tersentuh oleh anggaran pendidikan 20 % APBD Samarinda. Faktanya dana 20 % tersebut masih harus dibagi-bagi lagi bersama 5 SKPD diluar dinas pendidikan, sehingga secara real dinas pendidikan hanya mengelola Rp 23 M dana pendidikan - yang kesemuanya diperuntukan untuk peningkatan mutu pendidikan - sedang bantuan langsung untuk sekolah dan insentif guru mencapai Rp 194 M. Logika ini perlu dirubah dan tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Untuk itu penyusunan anggaran ke depan harus menjamin adanya peningkatan dana yang diperuntukan untuk peningkatan mutu pendidikan (diluar insentif guru dan bantuan langsung ke sekolah) secara signifikan dan adanya jaminan bahwa pengucuran dana untuk pendidikan tidak akan terhambat atau terlambat dicairkan (karena akan berdampak langsung pada penurunan mutu pendidikan kota Samarinda).   
19.   Pemkot memfasilitasi dan atau subsidi pengadaan internet bagi sekolah-sekolah bekerja sama dengan Pustekkom (Jardiknas) dan pihak ketiga yang peduli dengan pendidikan.

[Pengalaman di Gresik, sekolah-sekolah disana sudah terhubung dengan dengan internet atas kerja sama dengan Speedy PT Telkom (dengan memakai dana community development PT TELKOM). Dalam hal ini Pemkot Gresik dan PT Telkom membuat MOU sehingga sekolah-sekolah dapat akses internet.  Program-program yang bisa dilakukan jika sekolah sudah dapat terhubung dengan internet adalah Global classrooms, virtual teachers centre & materi online. Target tambahan tingkat kehadiran/absensi bagi staf, guru dan siswa dikontrol secara online pada 2015. PT INDOSAT di Samarinda baru-baru ini menawarkan program kepada orang tua dapat mengontrol anak-anaknya apakah hadir disekolah dengan hanya mengirim sms ke INDOSAT. Apabila Pemkot dan PT INDOSAT dapat membuat MOU, hal ini dapat membantu menekan tingkat ketidakhadiran siswa dan guru, sekaligus untuk perbaikan control dan monitoring di sekolah-sekolah.]


C.      PENDIDIKAN YANG BERKEADILAN
1.       Pembiyaan rutin, subsidi, bantuan langsung, insentif harus memperhatikan prinsip keadilan dan berbasis kinerja (‘reward & punishment’).
2.       Seleksi penerimaan siswa baru untuk RSBI/ SBI diadakan secara fair dan transparan (budaya siswa titipan tidak berlaku lagi/dihapuskan), misalnya dengan membuka pendaftaran online. Para guru RSBI/ SBI diseleksi ketat, dan setiap 5 tahun harus diseleksi ulang agar terjamin mutu dan kualitas pengajar hanya bagi guru/ pengajar yang berkompeten dan innovative.
3.       Sekolah kecil, pinggiran, baru berdiri dan yang masih kurang memiliki sarana prasarana (resources) pendidikan yang standar harus mendapat prioritas (dana rutin yang diterima sekolah selain berdasarkan dari jumlah siswa juga ditambah indikator2 lain, misalnya jumlah siswa kurang mampu yang diterimanya, jumlah kekurangan guru/ staff, ada tidaknya fasilitas dasar disekolah (perpustakan/ workshop/laboratorium (science/computer/bahasa dan sebagainya).
4.       Pemberian insentif guru, pengawas, kepala sekolah (misalnya transport, tunjangan, dll) harus berdasarkan kriteria yang terukur (misalnya semakin jauh dari pusat kota, semakin besar).
5.       Food for Education Programme – makanan tambahan gratis bagi anak2 kurang mampu. Anak yang yang menerima minimal harus minimal 85% hadir di sekolah per bulannya.
6.       Stipend programme – ongkos ke sekolah anak2 yang tinggal jauh dari sekolah di tanggung/ diganti oleh pemerintah.
7.        Sebagai upaya memaksimalkan pengadaan sumber/ resources dan outcome bagi pendidikan, bisa ditempuh dengan cara:
·         Memperbaiki rasio guru – siswa (1 mata pelajaran 2 guru)
·         Memastikan semua bahan belajar anak betul2 digunakan, tanpa tersia-siakan dan dijaga dengan sungguh2
·         Mendorong agar setiap instansi di tingkat II dan swasta yang ada dilingkungan kota Samarinda untuk berinvestasi di sektor pendidikan (menjadi partner penyelenggaran pendidikan di sekolah)
·         Mendorong kerjasama dengan organisasi non pemerintah agar mendukung program pendidikan
8.       Peningkatan manajemen sektor pendidikan
·         Penyederhanaan (mata rantai) birokrasi di disdik kota
·         Pelatihan bagi staf dinas pendidikan
·         Peningkatan profesionalisme administrator di disdik
·         Peningkatan budaya manajemen
·         Koordinasi lintas sektoral dalam lingkungan pemkot yang lebih efisien
·         Tersusunnya target program kinerja yang jelas dan penujukan pejabat yang capable & accountabel untuk melaksanakannya.
 Demikian usulan ini saya buat di Samarinda, 11 Mei 2010.
Hormat saya,
Dr Barlin Hady Kesuma, M.Ed

Silahkan baca/download versi lengkap di link blog ini.
http://www.ziddu.com/download/9818313/ProgramuntukSamarinda2010.docx.html